Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Berita Tempo Plus

Dampak Buruk Penggunaan Buzzer bagi Pemerintah

Abie Besman

Abie Besman

Dosen Hukum dan Etika Pers Universitas Padjadjaran, peneliti Komunikasi Politik, Fulbright Visiting Scholar di Texas Tech University.

 

dan Fulbright Visiting Scholar 2024.

Penggunaan buzzer dan influencer sebagai juru propaganda pemerintah kian masif. Merugikan pemerintah dalam jangka panjang.

25 Februari 2025 | 06.00 WIB

Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko
material-symbols:fullscreenPerbesar
Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Penggunaan buzzer serta influencer akan menciptakan kebingungan, ketidakpercayaan, dan bahkan delegitimasi bagi penggunanya.

  • Strategi utama yang digunakan oleh buzzer dan influencer dalam permainan politik informasi adalah menciptakan kebingungan melalui misinformasi dan distraksi.

  • Komunikasi publik yang dilakukan oleh para pejabat pun sering kali tidak meyakinkan.

DALAM lanskap politik modern, penggunaan pendengung (buzzer) dan pemengaruh (influencer) sebagai alat propaganda telah menjadi strategi yang makin dominan. Pemerintah, partai politik, bahkan korporasi, menggunakan figur-figur ini untuk membentuk opini publik, mendominasi wacana di ruang digital, dan yang lebih kontroversial memusingkan alur informasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Namun, seperti pedang bermata dua, strategi ini tidak hanya dapat memperkuat legitimasi kekuasaan, tapi juga dapat berbalik arah, menciptakan kebingungan, ketidakpercayaan, dan bahkan delegitimasi terhadap aktor yang menggunakannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Fenomena ini sebenarnya bukan hal baru dalam sejarah politik global. Sejak era Perang Dingin, teknik manipulasi informasi telah digunakan oleh berbagai rezim untuk membentuk persepsi publik. Uni Soviet menerapkan strategi dezinformatsiya sebagai bagian dari operasi intelijen mereka, menyebarkan narasi yang membingungkan dan merusak kepercayaan terhadap pemerintah di negara-negara Barat.

Di sisi lain, Amerika Serikat juga menggunakan propaganda melalui media dan operasi psikologis dalam perang dingin ideologi. Dengan munculnya era digital, taktik ini berevolusi menjadi lebih canggih dan sulit dideteksi, terutama dengan hadirnya media sosial yang mampu mempercepat dan memperluas jangkauan propaganda dalam hitungan detik.

Buzzer bekerja secara sistematis dengan algoritma media sosial, memproduksi narasi tertentu, menyerang oposisi, atau bahkan menyebarkan disinformasi yang membuat publik kesulitan membedakan antara fakta dan opini yang telah dikonstruksi. Sementara itu, influencer berperan lebih subtil. Dengan pengaruh yang luas dan daya tarik personal, mereka sering kali menyisipkan narasi politik dalam konten mereka, baik secara terang-terangan maupun terselubung.

Politisasi influencer makin nyata ketika pemerintah atau aktor politik menggandeng mereka sebagai alat komunikasi publik, seperti yang terlihat dalam berbagai kampanye kebijakan di era Prabowo-Gibran. Dalam beberapa kasus, peran mereka bukan sekadar menyampaikan informasi, tapi juga membentuk persepsi dengan cara yang lebih emosional dan relatable bagi audiens.

Salah satu strategi utama yang digunakan oleh buzzer dan influencer dalam permainan politik informasi adalah menciptakan kebingungan melalui misinformasi dan distraksi. Metode ini sering kali disebut sebagai firehose of falsehood, sebuah konsep yang diidentifikasi oleh Christopher Paul dan Miriam Matthews dalam laporan RAND Corporation pada 2016.

Mereka menjelaskan bagaimana strategi ini digunakan untuk menyebarkan propaganda melalui volume informasi yang sangat besar, cepat, tidak konsisten, dan tak peduli dengan kebenaran faktual. Intinya, firehose of falsehood bertujuan untuk membanjiri ruang publik dengan begitu banyak narasi hingga masyarakat menjadi bingung dan tidak lagi mampu membedakan antara fakta dan propaganda.

Strategi ini dapat diamati dalam berbagai peristiwa politik, di mana informasi yang mendiskreditkan pemerintah sering kali dilawan dengan arus besar informasi lain yang membelokkan perhatian publik.

Misalnya, ketika terjadi skandal atau kebijakan kontroversial, diskursus di media sosial tiba-tiba dipenuhi dengan narasi tandingan yang memancing emosi, seperti nasionalisme, ancaman asing, atau isu personal figur publik tertentu. Hasilnya, masyarakat menjadi sibuk memperdebatkan hal-hal yang justru menjauhkan mereka dari isu utama yang lebih substansial.

Namun ada pertanyaan mendasar yang perlu diajukan. Apakah pemerintah sebenarnya ingin mengkomunikasikan sesuatu secara jelas kepada rakyatnya? Jika benar bahwa pemerintah berupaya untuk memenangkan kepercayaan publik, mengapa cara yang digunakan justru cenderung membingungkan dan mengikis kepercayaan itu sendiri?

Dampak jangka panjang dari strategi ini tidak bisa dianggap sepele. Penggunaan buzzer dan influencer yang berlebihan tidak hanya menciptakan kebingungan sesaat, tapi juga membentuk pola pikir masyarakat dalam jangka panjang. Ada tiga konsekuensi utama dari fenomena ini.

Pertama, normalisasi disinformasi. Ketika masyarakat terbiasa dengan kebingungan dan banjir informasi yang saling bertentangan, mereka cenderung makin skeptis terhadap berita dan wacana politik secara keseluruhan. Hal ini menciptakan lingkungan di mana kebenaran bukan lagi sesuatu yang obyektif, melainkan sesuatu yang relatif tergantung dari mana seseorang mendapatkan informasi.

Kedua, meningkatnya apatisme politik. Jika setiap hari masyarakat disuguhi narasi yang berubah-ubah dan tak ada yang bisa dipercaya, banyak yang akhirnya memilih untuk tidak peduli. Mereka merasa percuma mencari kebenaran karena selalu ada informasi yang berlawanan di tempat lain. Fenomena ini berbahaya karena demokrasi membutuhkan keterlibatan aktif dari masyarakat, bukan sekadar konsumen pasif dari propaganda yang tidak jelas arahnya.

Ketiga, hilangnya kepercayaan terhadap institusi negara. Ketika pemerintah terus-menerus menggunakan strategi ini, masyarakat akan makin ragu terhadap setiap kebijakan yang diumumkan. Bahkan, dalam situasi darurat atau krisis yang membutuhkan kepercayaan publik, pemerintah bisa kesulitan meyakinkan rakyatnya karena kredibilitas mereka telah lama terkikis. Ini tak hanya berbahaya bagi oposisi atau kelompok kritis, tapi juga bagi pemerintah itu sendiri yang pada akhirnya kehilangan legitimasi.

Selain itu, peran media massa arus utama dalam ekosistem informasi patut dipertanyakan. Di satu sisi, media seharusnya berfungsi sebagai penjaga demokrasi yang menyaring dan mengklarifikasi informasi. Namun, dalam praktiknya, banyak media justru terjebak dalam arus propaganda yang sama.

Beberapa media massa justru tunduk karena tekanan ekonomi dan politik, sementara yang lain memilih untuk tetap netral tapi gagal menawarkan klarifikasi yang tajam terhadap kebingungan yang ada. Ini menciptakan dilema sehingga masyarakat tidak lagi tahu harus mencari informasi dari mana.

Tidak hanya bergantung pada buzzer dan influencer, komunikasi publik yang dilakukan oleh para pejabat pemerintah pun sering kali tidak meyakinkan. Sebagian besar pejabat, dari tingkat menteri hingga juru bicara, sering kali tidak memiliki kemampuan komunikasi yang baik. Alih-alih menjelaskan situasi dengan transparan dan logis, mereka justru sering mengeluarkan pernyataan yang tidak masuk akal, bertentangan satu sama lain, atau bahkan sekadar mengulang propaganda tanpa substansi.

Lihat saja berbagai respons pejabat terhadap kritik publik. Alih-alih menjawab dengan data dan argumentasi yang solid, mereka lebih sering menggunakan pendekatan defensif yang emosional, atau bahkan memainkan peran sebagai korban. Ketika kebijakan dipertanyakan, jawabannya sering kali berkisar pada kalimat klise seperti "Ini sudah dipikirkan matang-matang", "Rakyat harus percaya kepada pemerintah", atau yang paling buruk, menuding kritik sebagai bagian dari narasi negatif yang diembuskan pihak oposisi.

Apakah ini sekadar ketidakmampuan atau justru kesengajaan? Apakah pemerintah memang sengaja membiarkan komunikasi publiknya kacau agar publik makin bingung dan pada akhirnya kehilangan arah? Jika ya, strategi ini bisa disebut sebagai bentuk kontrol informasi yang lebih halus. Bukan dengan sensor langsung, melainkan dengan menciptakan lautan kebingungan yang membuat masyarakat menyerah untuk mencari kebenaran.

Apa yang dilakukan pemerintah saat ini adalah upaya meyakinkan publik bahwa semuanya baik-baik saja. Namun, dalam banyak kasus, narasi yang mereka bangun tidak lebih dari sekadar kebohongan yang dibungkus dengan jargon teknokratis dan propaganda digital.

Ketika harga pangan melonjak, pemerintah bilang ekonomi stabil. Ketika polusi udara memburuk, pemerintah bilang kualitas udara masih dalam batas aman. Ketika ada skandal politik, pemerintah bilang itu hanya hoaks. Ketika rakyat berteriak soal ketidakadilan, pemerintah bilang ini bagian dari demokrasi.

Setelah sekian lama melakukan hal ini, sekarang pemerintah ingin masyarakat percaya bahwa semua baik-baik saja? Mengutip Pak Presiden, "Ndasmu!"

Redaksi menerima artikel opini dengan ketentuan panjang sekitar 7.500 karakter (termasuk spasi) dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan profil singkat.
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus