Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Literasi Dampak Polusi Udara

Mengapa promosi kesehatan soal dampak polusi udara belum mencapai perubahan perilaku masyarakat seperti yang diharapkan?

5 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • WHO rutin meninjau semua hasil penelitian mengenai dampak polutan udara.

  • Hasil penelitian tersebut belum menjadi tema yang mencolok dalam promosi kesehatan.

  • Perlu strategi lain dalam mengangkat hasil penelitian.

Perigrinus H. Sebong

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Sejak 1987, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara berkala meninjau semua hasil penelitian ilmiah mengenai dampak polusi udara terhadap kesehatan dan memberikan rekomendasi kepada negara-negara di dunia. Sayangnya, hal tersebut belum menjadi tema yang mencolok dalam promosi kesehatan.

Sekalipun sudah banyak skenario komunikasi sains tentang polusi udara, saat ini sebanyak 92 persen penduduk dunia masih tinggal di wilayah yang melebihi standar atau batas aman polutan udara yang direkomendasikan WHO. Pendekatannya pun masih mengandalkan komunikasi risiko secara umum, yang terkesan kuno dan satu arah. Yang lebih mencengangkan, bukti-bukti ilmiah yang tersedia atau beredar di platform media sosial dan digital belum apa-apa sudah diklaim sebagai strategi promosi atau kampanye publik kesehatan yang adaptif. Masyarakat seakan-akan dianggap mampu memahami pesan promosi itu dalam sekejap. Padahal, kenyataannya, masih banyak warganet yang tidak mampu melakukannya karena melimpahnya informasi yang kontradiktif di jagat maya, terutama di media sosial.

Meskipun platform digital tentang kesehatan masyarakat terus bertambah, penggunaannya yang efektif memerlukan pengetahuan dan keterampilan masyarakat, dari pengetahuan tentang terminologi kesehatan hingga cara menggunakan media elektronik secara efektif. Di sisi lain, keterbatasan kemampuan penggunaan media untuk akses informasi masih banyak terjadi di kalangan warganet. Hal ini kemudian memperbesar kesenjangan antara masyarakat yang dapat dan yang tidak dapat menyerap manfaat dari penyebaran informasi kesehatan tersebut.

Kondisi itu dapat dikupas dari beberapa hal penting sebagai berikut. Pertama, praktik komunikasi sains dalam promosi kesehatan belum memiliki positioning yang jelas. Dampak polutan udara terhadap kesehatan seyogianya harus lebih memperhatikan aspek ilmu pengetahuan dan tren komunikasi sains. Namun pola komunikasi sains itu tidak secara signifikan mempersempit kesenjangan antara bukti ilmiah yang tersedia dan pemahaman masyarakat. Banyak temuan penting dari riset tentang polusi udara dan dampak kesehatan yang hanya tersimpan rapi di lemari arsip.

Kedua, komunikasi sains untuk promosi kesehatan masih bersifat atas-bawah dan cenderung berfokus pada sebagian kecil ranah literasi kesehatan. Promosinya juga cenderung berfokus hanya pada satu perilaku pada satu waktu, seperti perilaku menghindari sumber polusi atau polutan udara, sehingga tidak banyak ruang keterlibatan masyarakat.

Strategi personalisasi pesan polusi udara berdasarkan preferensi individu, misalnya menekankan pada dampak kesehatan, sosial, lingkungan, atau ekonomi, belum dilakukan secara konsisten. Variabel masyarakat masih cenderung diobservasi terbatas pada karakteristik sosio-demografi, seperti usia, jenis kelamin, pendapatan, dan tingkat pendidikan. Padahal setiap kelompok masyarakat memiliki nilai-nilai dan tujuan berbeda. Perbedaan identitas sosial ini belum dieksplorasi secara serius untuk mendorong keterlibatan dan perubahan perilaku sehingga sulit menentukan tolok ukur pemahaman atau perubahan perilaku kelompok masyarakat yang diharapkan. Akibatnya, terjadi disengagement karena pendekatan komunikasi sains terlalu bernuansa risiko tapi minim solusi, yang ujung-ujungnya menciptakan kekhawatiran dan kecemasan berlebihan masyarakat terhadap polusi udara.

Ketiga, sebelum munculnya media digital, komunikasi sains dalam kesehatan pada dasarnya merupakan proses yang melibatkan berbagai aktor, seperti peneliti, institusi (sains), dan jurnalis. Peneliti berperan sebagai penemu atau produsen pengetahuan. Sedangkan institusi sains, seperti kampus, sebagai pembahas yang menguji kebermanfaatan dari hasil riset untuk masyarakat dan pengembangan ilmu. Adapun jurnalis atau media massa membantu mempopulerkan informasi dari hasil riset tersebut. Namun hampir 70 persen masyarakat sekarang memburu informasi tentang kesehatan dari Internet, seperti media sosial, yang memungkinkan terjadinya keterputusan peran para peneliti dan jurnalistik.

Tiga hal di atas memperjelas masalah desain komunikasi sains yang terjadi sekarang. Belum terlihat portofolio standar untuk para peneliti, kampus, dan media massa dalam mengembangkan serta menerapkan strategi komunikasi yang jitu sekaligus menampung minat dan kebutuhan informasi masyarakat mengenai polusi udara dan kesehatan pada umumnya.

Sains tentang polusi udara dan dampak kesehatan sering kali rumit untuk dijelaskan dalam bahasa awam. Bagaimanapun, informasi yang akurat dan valid secara ilmiah haruslah disampaikan kepada publik. Sikap seperti cyber skeptic, yaitu kepekaan terhadap klaim kesehatan yang tidak masuk akal; bahasa yang tidak jelas; dan sumber yang tidak valid harus menjadi basis baru dalam komunikasi sains.

Tradisi memperlakukan masyarakat hanya sebagai penerima informasi mesti diganti dengan pendekatan partisipatif. Tujuannya untuk memberdayakan, menumbuhkan rasa kepemilikan, serta mendorong peran masyarakat dalam menangani masalah kesehatan. Pada akhirnya adalah membuat informasi tersebut relevan bagi khalayak, memakai kosakata awam, dan sesuai dengan kebutuhan mereka. Semua ini memerlukan kolaborasi lintas disiplin dan multi-pemangku kepentingan, termasuk masyarakat, praktisi, serta pemerhati sains.

Peneliti dan pengguna pengetahuan, dalam hal ini praktisi promosi kesehatan serta pembuat kebijakan, bisa duduk bersama untuk memproduksi bersama-sama, bertukar informasi, dan menerjemahkan pengetahuan ilmiah sebagai respons terhadap dampak polusi udara yang lebih signifikan. Misi pentingnya adalah membantu masyarakat agar bergerak menuju hidup yang lebih sehat, lebih baik, dan dalam jangka waktu yang lebih lama.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Perigrinus H. Sebong

Perigrinus H. Sebong

Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus