Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Privatisasi Pulau Kecil dan Dampak Lingkungan

Bagaimana privatisasi pulau-pulau kecil berdampak pada lingkungan dan masyarakat setempat.

12 Januari 2023 | 00.00 WIB

Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Muhamad Karim
Dosen di Universitas Trilogi serta peneliti di Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Kasus pelelangan Kepulauan Widi di Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, di situs web Sotheby's Concierge Auctions di New York, Amerika Serikat, sedang menjadi sorotan. Kasus ini melibatkan PT Leadership Islands Indonesia (LII), yang bermitra dengan pemerintah daerah Halmahera Selatan sejak 2015. Tujuannya untuk mengembangkan ekowisata di Widi. Tapi, sejak penandatanganan perjanjian kerja sama hingga kini, belum ada kemajuan berarti. Belakangan tiba-tiba Widi dilelang. Untunglah, setelah diprotes di sana-sini, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. akhirnya membatalkan perjanjian kerja sama antara pemerintah Halmahera Selatan dan PT LII menyangkut pengelolaan Kepulauan Widi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Sejengkal pulau kecil di negeri ini merupakan eksistensi dan kedaulatan negara kita. Hak kepemilikannya adalah hak negara atau menegara (state property right) alias bukan milik pribadi (private property right). Sungguh amat berbahaya bila pulau-pulau kecil berubah menjadi milik asing secara pribadi. Jika dibiarkan, hal ini berpotensi mengancam eksistensi dan kedaulatan Indonesia. Kasus ini bukan pertama kali di Indonesia. Tapi, sayangnya, penanganan berbagai kasus serupa jarang tuntas. Pemerintah pusat dan daerah juga kerap lepas tangan.

Privatisasi kini tak hanya merambah sektor publik, tapi juga sumber daya kelautan, seperti pulau kecil. Carothers dan Chambers (2012) mendefinisikan privatisasi sektor kelautan sebagai proses mengalokasikan dan memberikan hak akses ataupun kontrol sumber daya kelautan yang bersifat akses terbuka dan milik publik ataupun negara kepada pihak swasta/korporasi. Tindakan ini tergolong praktik neoliberalisme dalam pengelolaan sumber daya alam dengan cara meliberalkan pengelolaannya lewat mekanisme kelembagaan.

Di Indonesia, privatisasi pulau kecil sudah berlangsung lama. Dalihnya antara lain untuk mendongkrak investasi dan kontribusi sektor kelautan terhadap perekonomian nasional. Ada beberapa modus yang digunakan. Pertama, klaim kepemilikan sebuah pulau mengatasnamakan pribadi. Contohnya, pada 2015, Alam Kulkul mengklaim telah memiliki sertifikat kepemilikan Pulau Mawang di Nusa Tenggara Timur, yang merupakan zona rimba Taman Nasional Komodo (TNK). Perusahaan ini milik Haji Feisol Hasin asal Malaysia, pemilik PT Jaytasha Putrindo Utama, perusahaan yang menguasai 49 persen saham PT Putri Naga Komodo, yang mengantongi izin pengelolaan kawasan TNK selama 30 tahun (2004-2034).

Kedua, kasus jual-beli pulau. Setidaknya berbagai situs web asing memuat informasi penjualan hingga pelelangan pulau kecil milik Indonesia. Contohnya, situs web Privateislandonline.com di Kanada menawarkan Pulau Makaroni, Pulau Kandui, dan Pulau Siloinak pada 2009. Sotheby's Concierge Auctions melelang Kepulauan Widi.

Ketiga, privatisasi pulau kecil untuk kepentingan ekowisata. Salah satu kasus yang belum tuntas hingga kini adalah perampasan Pulau Pari di Kepulauan Seribu oleh PT Bumi Pari Asri dan PT Bumi Griya Nusa, yang berada di bawah PT Bumi Raya Utama Group. Laporan Ombudsman menemukan bahwa terjadi maladministrasi dalam penerbitan 62 sertifikat hak milik (SHM) dan 14 sertifikat hak guna bangunan (SHGB) kepada perusahaan tersebut (Walhi, 2020). Apakah ada udang di balik batu? Ingat, masyarakat Pulau Pari telah mendiami pulaunya sebelum Indonesia merdeka.

Keempat, terbitnya izin mengelola pulau kecil oleh swasta dalam jangka panjang (100 tahun). Pulau-pulau itu antara lain Pulau Gili Tangkong seluas 6,8 hektare di Nusa Tenggara Barat (NTB), Pulau Ayam seluas 119 hektare di Kepulauan Riau, sepasang pulau kecil seluas 64 hektare di Kepulauan Riau, dan Pulau Panjang seluas 13 hektare di NTB.

Hal ini terjadi lantaran peraturan perundang-undangannya kerap ambigu. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, misalnya, mengizinkan investasi asing di pulau kecil. Model pemanfaatannya berbentuk izin yang dikeluarkan Menteri Kelautan dan Perikanan dengan mengutamakan kepentingan nasional serta direkomendasikan oleh bupati atau wali kota. Memang tak ada ketentuan "menguasai pulau" dalam aturan ini, tapi menjadi ambigu karena ia membolehkan zona inti konservasi diubah menjadi kawasan eksploitasi.

Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil Terluar juga melarang penguasaan pulau oleh asing. Yang diperbolehkan adalah orang perorangan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Menurut Undang-Undang Pokok Agraria, warga negara Indonesia yang hendak memiliki pulau kecil wajib mengantongi sertifikat kepemilikan dan mengalokasikan sebagian dari lahan untuk kawasan konservasi.

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau mengatur luasan maksimal kepemilikan pulau kecil sebesar 70 persen. Adapun 30 persen luas pulau dikuasai langsung oleh negara dan digunakan untuk kawasan lindung, area publik, atau kepentingan masyarakat. Aturan itu juga mewajibkan 30 persen luas pulau untuk kawasan lindung. Dengan demikian, sebetulnya orang hanya memiliki separuh luasan tanah, sedangkan separuhnya lagi sebagai kawasan konservasi.

Di satu sisi, aturan-aturan itu hendak mengakomodasi investasi asing dengan melegalkan eksploitasi dan ekstraksi di pulau kecil, seperti pertambangan mineral dan bisnis pariwisata. Bahkan pemerintah Indonesia mengkategorikan kegiatan tersebut sebagai ekonomi biru (blue economy). Di sisi lain, regulasi itu juga berusaha mengakomodasi kepentingan konservasi demi menjamin keberlanjutan ekosistem dan sumber dayanya.

Dalam Eco-Capitalism: Carbon Money, Climate Finance, and Sustainable Development (2018), Robert Guttmann menyebut sikap ganda ini sebagai model kapitalisme berorientasi ekologi atau ekokapitalisme, yaitu kapitalisme yang diproduksi lewat kebijakan berbasis pasar untuk mengatasi problem lingkungan.

Guttmann ragu akan keberhasilan konsep tersebut karena sulit membayangkan bagaimana ekokapitalisme menjamin keberlanjutan ekosistem pulau kecil beserta sumber dayanya. Pasalnya, kedua hal itu kontradiktif dan asimetris.

Privatisasi pulau kecil dan aktivitas ekstraktif sumber dayanya tak akan menciptakan kesejahteraan masyarakat di sana. Mereka justru kehilangan sumber mata pencarian akibat hak akses dan hak kelola dirampas korporasi dengan cara mengeksklusi ruang laut serta sumber dayanya. Imbasnya, akses masyarakat lokal dan adat tertutup (ocean grabbing) (Bennet et al, 2015). Sudah saatnya pemerintah pusat dan daerah beserta Dewan Perwakilan Rakyat menghentikan privatisasi kepulauan sembari merevisi regulasi yang ambigu tersebut.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Muhamad Karim

Muhamad Karim

Dosen Universitas Trilogi Jakarta dan peneliti Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus