SEBUAH pembunuhan terjadi di Singapura, 11 Maret 1823. Waktu itu baru sekitar empat tahun orang Inggris, di bawah Raffles dan Farquhar, mendirikan pos perdagangannya di sana -- dan mengubah, dengan cepat, wilayah setengah primitif itu jadi sebuah permukiman yang sibuk oleh perdagangan. Pada saat yang sama, kekuasaan lama pun diganti dengan kekuasaan baru yang asing. Pembunuhan itu menyangkut soal utang-piutang, tapi mengobarkan api dalam sekam yang lebih luas. Syahdan, begitulah kisahnya dalam Hikayat Abdullah, ada seorang sayid dari Pahang, bernama Sayid Yasin, yang datang ke Singapura. Ia memperoleh barang yang diutangnya dari Pangeran Syarif Umar, seorang asal Palembang. Ketika Pangeran Syarif menagih, cekcok terjadi. Maka, bangsawan pedagang dari Palembang itu pun mengadu kepada Farquhar, kolonel Inggris yang secara de facto mengatur tertib hukum di Singapura. Sayid Yasin diperiksa. Ia memang terbukti berutang. Tapi ia minta penangguhan. Pangeran Syarif menolak. Kolonel Farquhar menegaskan kepada Sayid Yasin bahwa kalau ia bisa mendapat seorang yang mau menjamin pembayaran utangnya, ia akan dilepaskan. Kalau tidak, ia akan dikurung. Yasin, seorang asing di Singapura, tentu saja tak bisa mendapatkan penjamin. Pada pukul dua siang hari, ia pun dikurung dalam sel oleh pejabat kepolisian, F.J. Bernard. Kesalahan Bernard ialah bahwa ia tak menggeledah Yasin. Padahal, pedagang dari Pahang ini menyembunyikan sebilah keris di balik bajunya. Pada pukul lima sore hari, Sayid Yasin mendapat akal. Ia minta izin kepada Bernard untuk pergi ke rumah Pangeran Syarif untuk mengatur penundaan utangnya. Bernard mengizinkannya, asal Yasin pergi disertai seorang agen polisi. Yasin dan agen itu pun sampai ke rumah Pangeran Syarif menjelang hari gelap. Sang sayid menyuruh si agen menunggu saja di luar, sementara ia sendiri masuk. Pada detik itu, Pangeran Syarif menampaknya, dan melihat Sayid Yasin membawa keris. Syarif buru-buru menghilang dari rumah, dan mendatangi kediaman Kolonel Farquhar. Gelap sudah turun. Kemudian ternyata, Sayid Yasin, yang gagal menikam Pangeran Syarif, membunuh agen polisi yang mengawalnya. Ia pun bersembunyi di bawah rumah yang berada di halaman itu, ketika melihat Kolonel Farquhar tiba, disertai anak, menantunya, dan empat tentara menyandang bedil. Farquhar memang mendatangi tempat itu untuk mencari Sayid Yasin. Tapi lama mereka tak menemukannya. Tiba-tiba, ketika Farquhar menyodok-nyodokkan tongkat ke lantai rumah tempat Yasin bersembunyi, sebuah keris menancap ke dadanya. Darah muncrat. Farquhar roboh. Tapi anaknya, Andrew, yang berada di sampingnya, segera mencabut pedang dan menghantam Yasin. Terkena pada muka. Empat tentara yang mengawal Farquhar pun menyerbu dengan bayonet. Yasin tewas. Kegaduhan terjadi. Farquhar segera diobati, dan nyawanya terselamatkan. Tapi kemarahan melanda orang-orang Inggris. Semua orang putih datang, begitulah tulis Abdullah bin Abdulkadir Munsyi yang menyaksikan sendiri kejadian itu. Mereka menikam serta mencincang mayat Yasin hingga tak bisa dikenali lagi. Sekitar 400 orang prajurit dengan segera bersiaga. Mereka mengepung daerah yang ditempati orang-orang Melayu. Dari sini terasa, ketegangan sudah hadir lama antara orang Melayu dan orang Inggris di Singapura waktu itu -- lebih sengit ketimbang yang dikesankan seluruh kitab Hikayat Abdullah. Esok harinya Raffles mengadakan pertemuan dengan Tumenggung Abdul Rahman dan Sultan Husain Shah, serta ribuan orang lain. Di depan majelis itu, Raffles bertanya kepada Sultan, hukuman apa menurut adat Melayu, yang dijatuhkan biia ada seorang sahaya berkhianat kepada penguasa. Jawab Sultan, "Tuan, orang itu, keluarganya, dan sanak saudaranya harus dibunuh sampai habis, rumahnya dibongkar, dan tanah tempat rumah itu tegak dibuang ke laut". Mendengar itu, Raffles pun menjawab, "Itu tidak adil. Siapa yang melanggar hukum harus dipidana. Tapi kenapa istri dan anak-anaknya harus dibunuh?" Pada saat itulah Raffles memperkenalkan undang-undangnya. Menurut hukum Inggris, seorang pengkhianat harus digantung, meskipun ia sudah kedapatan mati. Tapi Kompeni akan menjamin hidup istri dan anak-anaknya. "Itulah hukum orang putih," ujar Raffles. Lebih buruk atau baikkah "hukuman orang putih" itu dibanding hukum Melayu? Jawabnya ternyata hanya penolakan yang tersembunyi. Di zaman ini kita mungkin merasakan betapa kejamnya sebuah dendam, ataupun teror, yang disebar ke arah orang-orang tak bersalah. Tapi di zaman ini pun kita masih mempersoalkan dari mana datangnya hukum -- Barat atau Timur, asli atau tidak -- bukan baik buruknya hukum itu. Tubuh Yasin, atas perintah Raffles, tetap digantung dalam kerangka besi, di sebuah tempat di Teluk Ayer, setelah dikelilingkan kota dengan pedati yang ditarik kerbau. Sepuluh hari kemudian mayat itu diturunkan. Sultan memintanya, kemudian menguburkannya dengan upacara dan doa-doa. Konon, makam Sayid Yasin orang Pahang yang berutang itu, kemudian jadi sebuah makam keramat. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini