LEDAKAN reaktor nuklir Uni Soviet Chernobyl, kembali menarik perhatian. Pekan lalu telah berlangsung pertemuan internasional tentang tenaga nukhr dan pencarian kesepakatan perihal pengamanannya di Wina, Austria. Dan kasus ledakan Chernobyl April lalu itu segera saja menjadi topik utama. Khususnya karena Uni Soviet tampak lebih terbuka memberikan laporan-laporan, baik mengenai sebab-sebab meledaknya reaktor Chernobyl maupun korban-korban yang jatuh. Valery Legasov, ketua delegasi yang berjumlah 28 orang dan membawa laporan setebal 300 halaman, menjelaskan kepada pers beberapa hal yang belum pernah dikonfirmasikan pihak Uni Soviet sebelumnya. Ledakan, menurut Legasov terjadi karena kecerobohan pekerja di reaktor, yang mencoba mengatasi keadaan tanpa mempedulikan ketentuan yang sudah ditetapkan. Antara lain mematikan alat kontrol otomatis ketika mengetes sistem pendinginan reaktor, yang sebenarnya juga tidak diperbolehkan dengan tes sembarangan. Pengetesan inilah, yang oleh pihak Barat dianggap liar dan tak masuk akal, yang menyebabkan timbulnya ledakan besar. Para pekerja, yang langsung melaksanakan tes itu, menurut Legasov berjumlah 31 orang, segera tewas karena ledakan. Korban dalam lingkaran selanjutnya tak diuraikan secara langsung. Namun, Legasov secara samar mengakui angka 2.000. Para ahli kesehatan Amerika Serikat tak mempercayai angka yang disodorkan delegasi Uni Soviet. Mereka mengingatkan, 135.000 penduduk di sekitar reaktor dalam areal 300 mil persegi -- diungsikan menghindari akibat radiasi. Kadar radiasi di kawasan itu mencapai 2.500 kali di atas ambang aman. Di antara para pengungsi yang kini bermukim di Distrik Makarov di barat Kota Kiev, menurut ahli-ahli Amerika, sudah 5.000 orang meninggal akibat radiasi. Sebagian besar akibat kanker ganas. Sementara itu, 10.000 kasus kanker kelenjar thyroid dalam waktu dekat akan menekan korban mati sekitar 1.500 lagi. Radiasi akibat ledakan nuklir, yang merupakan getaran elektromagnetik dan pelepasan berkas partikel-partikel padat berkecepatan tinggi, mengubah semua zat menjadi zat lain dan melepaskan radiasi pula. Radiasi itu juga mengubah unsur-unsur kimia dan senyawa kimia di dalam inti sel. Lalu mengubah sel-sel pada jaringan tubuh menjadi sel-sel kanker. Sel-sel jaringan yang paling rawan menghadapi radiasi ini adalah sel-sel sumsum tulang. Kanker yang muncul di sumsum tulang akibat radiasi segera mengganggu produksi sel-sel baru dan juga sistem kekebalan tubuh, karena sumsum tulanglah yang memproduksi sel-sel yang diperlukan dalam sistem pertahanan tubuh. Untung, perkembangan ilmu kedokteran sudah menemukan terapi mengatasi kanker sumsum tulang yang dicobakan sejak tahun 1984. Di masa kini, belum banyak ahli mampu melakukan pengobatan canggih ini. Satu di antara sedikit ahli yang mampu mengerjakannya adalah Dr. Robert P. Gale dari Universitas California, Amerika Serikat. Mei lalu, dekat dengan terjadinya malapetaka Chernobyl, Uni Soviet diam-diam mengundang ahli ini, kendati kehadiran Gale di Kiev akhirnya bocor juga. Gale, dengan dedikasi tinggi berusaha keras menolong korban radiasi. Ia sebenarnya bahkan minta masuk ke lingkaran paling dalam, tapi pemerintah Uni Soviet tidak memperkenankannya. Pada pertemuan di Wina pekan lalu, Gale tampil pula melaporkan kemajuan yang dlcapainya. Ia mengutarakan, 13 penderita kanker sumsum tulang yang ditolongnya bisa dipastikan sembuh, sementara beberapa ratus masih dalam keadaan parah. Pertolongan yang diberikan Gale dikenal sebagai pencangkokan sumsum tulang. Teknik ini ditemukan setelah ahli imunologi Tucker LeBien mengisolasi antibodi monoklonal khusus untuk kanker sumsum tulang. Antibodi monoklonal adalah antibodi khas yang memerangi suatu penyakit khusus -- prinsip pembuatannya ditemukan dua ahli Inggris, Cesar Milstein dan Georges Kohler. Dengan antibodi monoklonal penemuan LeBien, dua ahli dari Universitas Minnesota, Amerika Serikat, John Kersey dan Norma Ramsay mengembangkan teknik pencangkokan sumsum tulang. Pada awal terapi pencangkokan ini, dokter menyedot sumsum tulang yang tak terkena radiasi, khususnya dari tulang-tulang besar di tubuh. Sumsum tulang yang dikeluarkan itu kemudian dibersihkan di luar tubuh dengan antibodi monoklonal dan beberapa jenis protein darah. Pada proses pembersihan ini, antibodi monoklonal memerangi sel-sel yang rusak akibat radiasi, yang jumlahnya tidak banyak. Sementara itu, sel-sel sumsum tulang yang terkena radiasi dibiarkan berada dalam tubuh dan dibunuh dengan obat-obatan dan terapi radiasi bertenaga tinggi. Proses ini dilakukan berulang-ulang hingga tubuh bersih dari sel-sel kanker yang ganas. Proses selanjutnya, tubuh tanpa sumsum tulang ditempatkan dalam sebuah kapsul besar yang steril. Ini harus dilakukan karena tanpa sumsum tulan, tubuh tak memiliki kekebalan menghadapi penyakit, sebuah infeksi kecil bisa berakibat fatal. Tahap akhir pada terapi ini, sumsum tulang yang sudah dibersihkan di luar tubuh dimasukkan kembali. Dalam beberapa minggu, sumsum tulang yang masih mengandung antibodi monoklonal tumbuh. Selain berkembang, juga membunuh sisa-sisa sel yang rusak. Setelah perkembangan jumlah sel sumsum tulang dinilai baik, tubuh pun dikeluarkan dari kapsul pelindung. Awal percobaan klinis terapi ini pada tahun 1984 menunjukkan sukses cukup baik. Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini