MENTERI Luar Negeri kita berdebat dengan tokoh parlemen kita.
Siapa bilang di Indonesia tak ada demokrasi? Sang tokoh parlemen
bahkan menyebut kata "pikun" untuk sang Menteri. Dan orang-orang
Amerika yang jadi turis di sini pada mengangguk-angguk kagum
"Seperti seorang Senator yang menggenjot Henry Kissinger atau
Cyrus Vance saja", konon kata seorang dari mereka.
Tentu saja di sini yang diperdebatkan berbeda. Bukan perkara
strategi "global policy" atau akibat krisis energi bagi
"detente" Kita 'kan bukan negara liberal-kapitalis. Jadi yang
diperdebatkan sang Menteri Luar Negeri dengan sang tokoh
Parlemen adalah soal keterlibatan masing-masing dalam "bursa
komoditi", yang (menurut pemerintah) mirip dengan perjudian dan
dilarang.
Tapi mengapa sampai begitu "kasar" bahasa yang dipergunakan?
Mengapa pakai kata "pikun"? Mengapa disindir soal nama --
"Syekh" atau "Johny"?
Dalam hal ini, seorang yang tak mau hanya bicara yang negatif
bisa menunjukkan: bahasa "kasar" itu mungkin memang kurang
terhormat. Tapi hahasa semacam itu enak bagi wartawan. Menarik
untuk dikutip dan gurih bagi pembaca. Tak membosankan. Sebab
akan siallah para wartawan dan juga para pembaca yang budiman
(maupun yang kurang budiman), seandainya "debat" antara sang
Menlu dengan sang tokoh DPR berlangsung dalam bahasa "tertib"
seperti ini:
Menlu: "Bursa komoditi itu sesuatu yang harus ditinjau dalam
rangka mensukseskan Repelita, dan tidak bertentangan dengan
Pancasila dan UUD '45" Sang tokoh DPR: "Justru bursa komoditi
itu harus dinilai dalam rangka amanat penderitaan rakyat,
cita-cita nasional yang sesuai dengan Pancasila dan UUD '45,
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat seperti yang
digariskan oleh GBHN". Jawab Menlu pula: "Ya, tetapi kita perlu
meningkatkan kewaspadaan. Perbedaan pendaat harus sesuai dengan
asas kebebasan yang bertanggungjawab". Sang tokoh DPR: "Menurut
saya, kita malah harus menjaga stabilitas yang dinamis, dalam
rangka ketahanan nasional".
Dapat dilihat di situ: yang terjadi bukanlah suatu dialog yang
terbuka, melainkan suatu monolog yang dilakukan secara
bergiliran. Bila dialog bisa mempertajam dan memperjelas
masalah, maka kalimat-kalimat "tertib" di atas malah membikin
tak jelas apa pun. Apa sebenarnya beda pendapat antara keduanya,
melihat bahasa mereka yang nyaris seragam? Mungkin beda itu
tersembunyi di kepala masing-masing. Tapi, seperti halnya beda
antara Harian Bakyat dengan Bendera Merah di Peking,
masing-masing pihak berlindung di balik bahasa yang uniform.
Keseragaman itu jadi facade. Bahasa jadi bahasa dinas, seperti
jaket Mao atau baju safari pejabat. Adanya sangkutan antara
bahasa itu dengan diri pribadi kita tak ditampakkan. Apa yang
hidup dalam masing-masing kita jadi terselubung. Kita takut
membuka diri -- atau kita memang tak punya kekayaan jiwa dan
hati Dan bila kata-kata tak nampak sangkutannya dengan batin,
maka kata-kata itu bisa jadi kedok kemunafikan.
Juga, membosankan. Hubungan manusia jadi formil, tanpa warna,
seperti hubungan dari belakang meja kerja atau kursi tamu. Dalam
situasi itu tak mengherankan jika pribadi-pribadi yang bebas
dari bahasa seragam menjadi sangat menarik lalu memikat. Dia tak
melontarkan imagenya sebagai birokrat. Dia menampakkan
"personalitas".
Mungkin itulah sebabnya orang berbondong datang ke pembacaan
puisi Rendra. Bukan hanya karena puisinya, tapi karena
"personalitas" itu ada di sana. Dia mungkin burung merak. Dia
superstar.
Tapi adakah kita tak perlu superstar?
Bintang-bintang di langit terlalu bermiripan. Malam bisa jadi
jemu. Orang banyak selalu butuh sebuah wajah yang hidup, gilang
gemilang, bukan sebuah daftar nama dan angka, bukan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini