Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Balada Si Pandir Kelana

Memberantas penyelundupan dan penyelewengan di pelabuhan Tanjung Priok perlu tegas, total, konsepsional, nasional, tidak insidental. Tim Walisongo dibentuk untuk mengatasi kebobrokan di Tanjung Priok.

2 Juli 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mukamu memang cakep dan tampan Peluru panser pun tak kan mempan Terlanjur sudah berkulit badag Bertambah tua, bertambah serakah Sumpahmu kau anggap sampah *** ITULAH sebagian dari 17 baris puisi berjudul Ballada Untukmu, Setan-setan Siluman. Pemllisnya Mayjen Slamet Danusudirdjo (dengan nama samaran Pandir Kelana), 52 tahun, yang rupanya tak mau kalah menulis puisi protes seperti halnya penyair Rendra. Ditulis 24 Juni lalu, itulah cerminan kejengkelan Ketua tim 'Walisongo' yang juga duduk sebagai salah satu Deputi Pappenas. Tak biasa bicara banyak, pekan lalu ia benar-benar jengkel menghadapi penyelundupan dan pungutan liar di pelabuhan Tanjungpriok, Jakarta. Itu wajar. Sebab 4 tahun sebelumnya, ketika Tanjungpriok sibuk dengan operasi bersih, ia juga menulis sajak. Judulnya Si Denok Bandarwati, yang melukiskan Priok sebagai pelabuhan yang sedang berbenah mempercantik diri menyambut masa depan. Menyambut ulang tahun ke 100 pelabuhan tersebut pertengahan bulan lalu sekali lagi Slamet menulis puisi. Kali ini ditulis bersama Pj. Gubernur DKI Ali Sadikin, Dirjen Perla Haryono Nimpuno dan Administratur Pelabuhan Tanjungpriok JE Habibie. Bagaikan prasasti, puisi yang diabadikan pada selembar logam kuning emas ukuran 35 x 25 senti dan tebal 5 senti itu dimaksud sebagai pesan untuk generasi 100 tahun mendatang. Isinya tak jauh dari harapan agar Tanjungpriok jadi pelabuhan yang "bersih". Prasasti yang kemudian dimasukkan dalam kotak setebal 30 senti itu ditanam di sebuah lobang ukuran 1 meter persegi di tepi dermaga container yang pada peringatan 100 tahun Tanj-mgpriok pekan lalu diresmikan. Lubang itu lalu ditutup dengan beton cor setebal 30 senti. Baru kemudian ditindih dengan batu alam seberat 1 ton yang bertuliskan: "Dalaun rangka peringatan 100 tahun harijadi pelabuhan Tanjungpriok, pada hari ini 17 Juni 1977, di tempat ini ditanamkan sebuah prasasti untuk generasi 100 tahun yang akan datang". Slamet Danusudirdjo mengakui usahanya memberantas uang siluman "tak berhasil samasekali". Tapi mengusir setan-setan siluman itu memang tak: akan berhenti sampai di pantun. Itulah sebabnya Jenderal Slamet menegaskan: "Sudah saatnya penyakit menular itu ditanggulangi secara total, konsepsionil, nasional dan tidak lagi secara lokal dan insidentil". Siap Tempur Pembentukan 'Walisongo' -- yang terdiri dari 9 orang itu terdorong oleh keadaan Tanjungpriok yang brengsek. Kongesti di gudang-gudang, dermaga Pelabuhan I sampai III maupun Pelabuhan Nusantara dan penerimaan kas negara sangat merosot. Maka tim dibentuk, bertugas menggariskan langkah-langkah-langkah operasionil yang harus dilakukan oleh departemen yang bersangkutan untuk menertibkan arus lalu-lintas pemasukan barang dan mengamankan pemasukan keuangan negara. "Yang perlu sekarang ini ialah kampanye secara nasional total, serempak, terus-menerus, tak kenal menyerah berdasarkan konsepsi yang matang, program yang jelas dan langkah yang mantap", katanya lagi. Rupanya Jenderal ini sudah siap tempur. Sebab ia juga "tidak peduli" apabila tersandung oleh orang-orang tertentu yang "kebal". Katanya, "itu sudah saya pikirkan, sebab yang penting saya melaksanakan tugas negara lewat Keputusan Presiden". Meski begitu ia toh mengakui, untuk tahap sekarang ia kalah sementara. "I lost the battle, but not yet the war (saya kalah dalam pertempuran tapi belum kalah dalam perang)", tambahnya. Keputusan Presiden yang ia maksud itu minggu lalu memang menjadi berita utama di surat-surat kabar: Instruksi kepada Kas Kopkamtib untuk segera membersihkan pungutan liar. Intruksi itu kontan ditanggapi oleh Pj Gubernur DKI Ali Sadikin, Sabtu minggu lalu. "Kalau pemerintah hendak menghapuskannya, harus dimulai dari atas", seru Bang Ali. "Sebab contoh yang tidak baik ini datangnya juga dari atas. Kalau mau menyikat habis juga harus dari atas", tambahnya. Ia menegaskan, "jangan hanya mengejar mereka yang memungut Rp 200 atau Rp 500 di jalan-jalan raya saja, sementara pungutan dalam jumlah milyar rupiah dibiarkan". Kepada TEMPO, Jenderal Slamet menyatakan, bahwa sikapnya yang keras itu tepat pada waktunya. Menganggap setan siluman sebagai enemy number one (musuh nomor wahid), baginya semua yang terlihat sebagai siluman, itulah musuh. "Saya tak hanya menyebut penyelundup saja, tapi juga mereka yang memberi peluang untuk itu. Mereka yang memeras, apakah itu namanya Hansip atau Bea Cukai", katanya lagi. Selama ini, koordinasi Tim Walisongo secara operasionil dianggapnya sudah baik. "Tapi dalam sistim itu yang masih jadi persoalan", tambahnya. Selama ini sudah ada penyederhanaan pintu dokumen di Tanjungpriok dari 16 menjadi 10 pintu. "Tapi soalnya bukan pintunya. Biar ada 2 pintu kalau memang ada iktikad tidak memperlancar ya percuma", jawabnya. Menurut Slamet, soalnya sekarang kembali pada para petugasnya sendiri. "Orang yang mampu ada, kebutuhan materiil cukup, semua persyaratan juga cukup. Cuma soalnya terbentur pada aparatur", katanya. "Tapi saya juga ingin mengingatkan, masih banyak 'mutiara-mutiara' yang saya temukan di pelabuhan. Mereka hidup sederhana dan tak tergoda, hanya, mereka tak ambil pusing, malah saling tenggang dengan mereka yang saya sebut setan-setan siluman itu". Sang setan ternyata memang ganas. Sampai-sampai Harsono RM, ketua DPP Organda mengeluh, selama tahun 1975/1976 pengusaha angkutan yang tergabung dalam Organda terpaksa merelakan uang Rp 10 milyar untuk melayani pungutan liar itu. "Sulit bagi pengusaha angkutan untuk tak melayani, selama petugas yang melakukan pungutan liar menganggap kendaraan sebagai sapi perahan", kata Harsono yang juga ketua Komisi IV DPR yang antara lain mengurusi soal perhubungan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus