Mukamu memang cakep dan tampan
Peluru panser pun tak kan mempan
Terlanjur sudah berkulit badag
Bertambah tua, bertambah serakah
Sumpahmu kau anggap sampah
***
ITULAH sebagian dari 17 baris puisi berjudul Ballada Untukmu,
Setan-setan Siluman. Pemllisnya Mayjen Slamet Danusudirdjo
(dengan nama samaran Pandir Kelana), 52 tahun, yang rupanya tak
mau kalah menulis puisi protes seperti halnya penyair Rendra.
Ditulis 24 Juni lalu, itulah cerminan kejengkelan Ketua tim
'Walisongo' yang juga duduk sebagai salah satu Deputi Pappenas.
Tak biasa bicara banyak, pekan lalu ia benar-benar jengkel
menghadapi penyelundupan dan pungutan liar di pelabuhan
Tanjungpriok, Jakarta. Itu wajar. Sebab 4 tahun sebelumnya,
ketika Tanjungpriok sibuk dengan operasi bersih, ia juga menulis
sajak. Judulnya Si Denok Bandarwati, yang melukiskan Priok
sebagai pelabuhan yang sedang berbenah mempercantik diri
menyambut masa depan.
Menyambut ulang tahun ke 100 pelabuhan tersebut pertengahan
bulan lalu sekali lagi Slamet menulis puisi. Kali ini ditulis
bersama Pj. Gubernur DKI Ali Sadikin, Dirjen Perla Haryono
Nimpuno dan Administratur Pelabuhan Tanjungpriok JE Habibie.
Bagaikan prasasti, puisi yang diabadikan pada selembar logam
kuning emas ukuran 35 x 25 senti dan tebal 5 senti itu dimaksud
sebagai pesan untuk generasi 100 tahun mendatang. Isinya tak
jauh dari harapan agar Tanjungpriok jadi pelabuhan yang
"bersih".
Prasasti yang kemudian dimasukkan dalam kotak setebal 30 senti
itu ditanam di sebuah lobang ukuran 1 meter persegi di tepi
dermaga container yang pada peringatan 100 tahun Tanj-mgpriok
pekan lalu diresmikan. Lubang itu lalu ditutup dengan beton cor
setebal 30 senti. Baru kemudian ditindih dengan batu alam
seberat 1 ton yang bertuliskan: "Dalaun rangka peringatan 100
tahun harijadi pelabuhan Tanjungpriok, pada hari ini 17 Juni
1977, di tempat ini ditanamkan sebuah prasasti untuk generasi
100 tahun yang akan datang".
Slamet Danusudirdjo mengakui usahanya memberantas uang siluman
"tak berhasil samasekali". Tapi mengusir setan-setan siluman itu
memang tak: akan berhenti sampai di pantun. Itulah sebabnya
Jenderal Slamet menegaskan: "Sudah saatnya penyakit menular itu
ditanggulangi secara total, konsepsionil, nasional dan tidak
lagi secara lokal dan insidentil".
Siap Tempur
Pembentukan 'Walisongo' -- yang terdiri dari 9 orang itu
terdorong oleh keadaan Tanjungpriok yang brengsek. Kongesti di
gudang-gudang, dermaga Pelabuhan I sampai III maupun Pelabuhan
Nusantara dan penerimaan kas negara sangat merosot. Maka tim
dibentuk, bertugas menggariskan langkah-langkah-langkah
operasionil yang harus dilakukan oleh departemen yang
bersangkutan untuk menertibkan arus lalu-lintas pemasukan barang
dan mengamankan pemasukan keuangan negara.
"Yang perlu sekarang ini ialah kampanye secara nasional total,
serempak, terus-menerus, tak kenal menyerah berdasarkan konsepsi
yang matang, program yang jelas dan langkah yang mantap",
katanya lagi. Rupanya Jenderal ini sudah siap tempur. Sebab ia
juga "tidak peduli" apabila tersandung oleh orang-orang tertentu
yang "kebal". Katanya, "itu sudah saya pikirkan, sebab yang
penting saya melaksanakan tugas negara lewat Keputusan
Presiden".
Meski begitu ia toh mengakui, untuk tahap sekarang ia kalah
sementara. "I lost the battle, but not yet the war (saya kalah
dalam pertempuran tapi belum kalah dalam perang)", tambahnya.
Keputusan Presiden yang ia maksud itu minggu lalu memang menjadi
berita utama di surat-surat kabar: Instruksi kepada Kas
Kopkamtib untuk segera membersihkan pungutan liar. Intruksi itu
kontan ditanggapi oleh Pj Gubernur DKI Ali Sadikin, Sabtu minggu
lalu.
"Kalau pemerintah hendak menghapuskannya, harus dimulai dari
atas", seru Bang Ali. "Sebab contoh yang tidak baik ini
datangnya juga dari atas. Kalau mau menyikat habis juga harus
dari atas", tambahnya. Ia menegaskan, "jangan hanya mengejar
mereka yang memungut Rp 200 atau Rp 500 di jalan-jalan raya
saja, sementara pungutan dalam jumlah milyar rupiah dibiarkan".
Kepada TEMPO, Jenderal Slamet menyatakan, bahwa sikapnya yang
keras itu tepat pada waktunya. Menganggap setan siluman sebagai
enemy number one (musuh nomor wahid), baginya semua yang
terlihat sebagai siluman, itulah musuh.
"Saya tak hanya menyebut penyelundup saja, tapi juga mereka yang
memberi peluang untuk itu. Mereka yang memeras, apakah itu
namanya Hansip atau Bea Cukai", katanya lagi. Selama ini,
koordinasi Tim Walisongo secara operasionil dianggapnya sudah
baik. "Tapi dalam sistim itu yang masih jadi persoalan",
tambahnya. Selama ini sudah ada penyederhanaan pintu dokumen di
Tanjungpriok dari 16 menjadi 10 pintu. "Tapi soalnya bukan
pintunya. Biar ada 2 pintu kalau memang ada iktikad tidak
memperlancar ya percuma", jawabnya.
Menurut Slamet, soalnya sekarang kembali pada para petugasnya
sendiri. "Orang yang mampu ada, kebutuhan materiil cukup, semua
persyaratan juga cukup. Cuma soalnya terbentur pada aparatur",
katanya. "Tapi saya juga ingin mengingatkan, masih banyak
'mutiara-mutiara' yang saya temukan di pelabuhan. Mereka hidup
sederhana dan tak tergoda, hanya, mereka tak ambil pusing, malah
saling tenggang dengan mereka yang saya sebut setan-setan
siluman itu".
Sang setan ternyata memang ganas. Sampai-sampai Harsono RM,
ketua DPP Organda mengeluh, selama tahun 1975/1976 pengusaha
angkutan yang tergabung dalam Organda terpaksa merelakan uang Rp
10 milyar untuk melayani pungutan liar itu. "Sulit bagi
pengusaha angkutan untuk tak melayani, selama petugas yang
melakukan pungutan liar menganggap kendaraan sebagai sapi
perahan", kata Harsono yang juga ketua Komisi IV DPR yang
antara lain mengurusi soal perhubungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini