Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ada lebih dari 1.000 penangkapan orang Papua pada 2019 dan 418 penangkapan pada Oktober 2020 hingga September 2021.
Di Indonesia, pasal-pasal makar sering digunakan untuk menyasar orang Papua yang memperjuangkan hak-hak mereka.
Orang asli Papua yang tinggal di luar Papua Barat menghadapi diskriminasi dan rasisme dalam memperoleh akses ke pekerjaan, pendidikan, ataupun tempat tinggal.
SETIAP 10 Desember, kita memperingati Hari Hak Asasi Manusia. Pada momentum peringatan Hari HAM Sedunia ini, Indonesia masih menghadapi banyak persoalan dalam urusan hak asasi manusia, terutama dalam hal bagaimana Indonesia memperlakukan orang asli Papua. Berbagai insiden yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir memperlihatkan bagaimana rasisme dan diskriminasi masih terus terjadi terhadap orang Papua.
Papuans Behind Bars, situs web yang memantau penangkapan dengan motivasi politik di Papua Barat, mencatat ada lebih dari 1.000 penangkapan pada 2019 dan 418 penangkapan pada Oktober 2020 hingga September 2021. Setidaknya 245 orang dihukum karena berbagai tuduhan kejahatan, termasuk 109 orang karena pasal makar. Di Indonesia, pasal-pasal makar sering digunakan untuk menyasar orang Papua yang memperjuangkan hak-hak mereka.
Sebuah video yang diunggah pada Maret 2024 menunjukkan tiga tentara memukuli Definus Kogoya, seorang pemuda Papua, yang tangannya diikat di belakang, dan memasukkannya ke dalam drum berisi air serta mengejeknya dengan makian rasis.
Pasukan keamanan Indonesia terlibat dalam penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, pembunuhan di luar proses hukum, serta pemindahan paksa secara besar-besaran, tapi jarang dimintai pertanggungjawaban. Para militan pro-kemerdekaan Papua Barat terlibat dalam pembunuhan pendatang dan orang asing, termasuk menyandera Phillip Mark Mehrtens, seorang pilot asal Selandia Baru.
Di Jakarta, pada Juni 2022, Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan undang-undang kontroversial, yang memekarkan dua provinsi—Papua dan Papua Barat—menjadi enam provinsi. Banyak orang asli Papua percaya bahwa pembentukan provinsi baru ini akan mendatangkan lebih banyak pendatang sehingga mengurangi proporsi orang asli Papua di tanah mereka sendiri.
Pihak berwenang Indonesia mendorong dan memberikan subsidi kepada puluhan ribu keluarga pendatang, termasuk dari Pulau Jawa, untuk pindah ke Papua Barat melalui program transmigrasi selama beberapa dasawarsa. Berbagai program ini sering mengusir orang asli Papua dan merampas tanah mereka untuk pertambangan serta perkebunan sawit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kampung dengan orang asli Papua punya lebih sedikit pelayanan pusat kesehatan masyarakat dan sekolah. Pemerintah juga lebih menyukai pendatang untuk mengisi pekerjaan sebagai guru, perawat, polisi, dan tentara. Orang asli Papua yang tinggal di luar Papua Barat menghadapi diskriminasi dan rasisme dalam memperoleh akses ke pekerjaan, pendidikan, ataupun tempat tinggal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agus Sumule, dosen Universitas Papua di Manokwari, yang meneliti pendidikan di Papua Barat, mencatat tingkat kehadiran anak asli Papua di sekolah jauh lebih rendah di daerah pegunungan. Dia menyatakan tak ada satu pun universitas keguruan di Pegunungan Tengah, wilayah yang hampir semua penduduknya adalah orang asli Papua. “Kalau bukan rasisme, saya harus menyebutnya apa?” kata Agus Sumule.
Kita juga belum melupakan insiden di Surabaya, Jawa Timur, pada 17 Agustus 2019. Waktu itu, segerombolan preman dan tentara Indonesia menyerang asrama mahasiswa Papua di Kalasan. Mereka menuduh bendera Merah Putih di depan asrama Papua dirusak mahasiswa Papua. Mereka menggunakan kata-kata rasis serta menendang gerbang asrama.
Para mahasiswa menolak keluar dan memilih bersembunyi di dalam asrama. Kemudian terjadi saling lempar batu. Malamnya, polisi menembakkan gas air mata, menyerbu masuk, dan menangkap 43 mahasiswa Papua. Alasannya, “mengamankan”. Mereka baru dibebaskan keesokan harinya.
Namun media sosial sudah penuh dengan berbagai video makian rasis. Hal ini memicu solidaritas dan demonstrasi setidaknya di 30 kota di seluruh Indonesia. Unjuk rasa dibuat dengan hashtag #PapuanLivesMatter. Kampanye ini berfokus pada pelanggaran hak asasi manusia terhadap orang asli Papua, termasuk pengingkaran hak atas kesehatan dan pendidikan, peminggiran ekonomi, serta seruan damai untuk kemerdekaan bagi Papua Barat.
Octovianus Mote, seorang mantan wartawan Kompas, kini salah satu tokoh United Movement for the Liberation of West Papua, mengatakan, “Ini adalah demonstrasi terbesar di Papua Barat sesudah berbagai demonstrasi menentang integrasi (Indonesia) pada 1969.”
Di beberapa kota, demonstrasi juga diwarnai kekerasan, misalnya, di Sorong, Wamena, dan Jayapura. Ada bandar udara yang diduduki massa serta ada penjara dan gedung parlemen yang dibakar. Protes terhadap “kolonialisme Indonesia” merebak. Ada orang Papua dibunuh pendatang dan ada pendatang yang dibunuh orang Papua. Buntutnya, polisi dan tentara Indonesia menggunakan kekerasan yang berlebihan serta menangkap banyak pengunjuk rasa, terutama siapa pun yang mengibarkan bendera Bintang Kejora, simbol kemerdekaan Papua Barat.
Ironisnya, berbagai penangkapan terhadap protes #PapuanLivesMatter mempertegas diskriminasi rasial yang sudah berlangsung selama enam dekade terhadap orang asli Papua di Indonesia. Filep Karma, seorang tokoh Papua, menulis buku berjudul Seakan Kitorang Setengah Binatang: Rasialisme Indonesia di Tanah Papua. Isinya, berbagai pengalaman rasisme sistematis sejak Indonesia mengambil Papua Barat pada 1969.
Penyerangan di Surabaya tidak boleh kita lupakan. Kasus ini seharusnya menjadi alarm bagi Indonesia untuk segera menangani keprihatinan historis, ekonomi, dan politik orang Papua, bukannya mengadili mereka atas tuduhan makar karena menjalankan hak untuk bebas berekspresi, berserikat, serta berkumpul secara damai. Selain itu, kasus tersebut seharusnya mengingatkan Indonesia pada Surabaya versi November 1945 ketika orang Indonesia melawan rasisme dan kolonialisme Belanda. Kini orang Papua yang melawan rasisme dan diskriminasi Indonesia. ●
Redaksi menerima artikel opini dengan ketentuan panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo