Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KITA mengenalnya sebagai proses “penyerapan” atas kata-kata asing yang kemudian diadopsi dalam perbendaharaan bahasa Indonesia. Jika kita mau memperhatikan dengan saksama, cakupan kata “penyerapan” lebih umum. Dalam beberapa kasus, sejumlah lema diserap begitu saja lantaran memang ketiadaan kosakata lokal yang bisa mewakili maknanya. Sebut saja kata “respons”, “ala”, “bus”, dan “aktor”. Namun, dalam beberapa kasus, proses penyerapan tersebut ternyata telah berakar dalam banyak aspek kehidupan masyarakat bahasa kita, sehingga terkesan menjadi produk kebahasaan sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk kasus terakhir, saya lebih suka menggunakan kata “domestikasi”. Esai ini bukanlah upaya untuk menyalahkan apalagi menyingkirkan istilah “penyerapan”. Memang arti “domestikasi” di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah penjinakan hewan liar atau hewan buas dan sebagainya. Namun, setelah saya cari, arti lain “domestikasi”, menurut Collins English Dictionary, adalah to bring (a foreign custom, word, etc.) into a region or country and make it acceptable. KBBI tampaknya belum mengadopsi arti lain “domestikasi”.
Sebagai contoh, saya ambilkan kata “kiai” yang terserap dari bahasa Tiongkok “kiya” yang berarti jalan dan “i” yang berarti lurus. Kiai adalah sosok yang benar-benar menempuh jalan kebenaran dalam setiap ucapan, keputusan, perbuatan, serta tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat (Putra Poser Alam, 2015: 96). KBBI menerakan makna alim ulama dalam pendefinisiannya. Alim ulama adalah mereka yang berilmu, menjadi pintu gerbang ilmu agama, dan bisa menjadi panutan masyarakat. Karena itu, mereka mendapat kedudukan sosial istimewa dalam piramida sosial masyarakat kita. Tatkala menyimpang sedikit saja, kadar kealiman mereka serius dipertanyakan.
Yang saya maksud dengan “domestikasi” di sini, kita kemudian bisa melihat bahwa kata “kiai” telah diterima dalam banyak sendi kehidupan. Tak hanya menjadi sebutan bagi para pemimpin ritual keagamaan, kiai juga menjadi semacam penasihat spiritual bagi masyarakat yang membutuhkan bimbingan. Dengan keahlian tertentu, seorang kiai juga sering dijadikan tempat meminta hari baik pernikahan atau khitanan dan nama baik untuk jabang bayi. Mereka pun sering diminta membuat suwuk/sawanan. Pada saat musim politik, kiai juga sering dijadikan rujukan oleh mereka yang membutuhkan petunjuk untuk menentukan langkah-langkah politisnya. Ucapan dan tindak tanduknya dijadikan panutan. Bahkan mimpinya pun kadang dijadikan rujukan atau pertanda tertentu.
Proses penyerapan di sini berlangsung lama, jauh, dan dalam, sehingga terkesan merupakan produk kebahasaan sendiri. Jauh sebelum kita familier dengan kata ini, ada kata “sunan” yang berakar dari bahasa Jawa “susuhunan”, yang lambat laun tenggelam dan sepertinya tidak akan dipakai lagi. Padahal posisi subyek yang mendapat predikat dua kata tersebut sama, yakni sama-sama alim ulama yang menjadi panutan masyarakat. Seiring dengan berjalannya waktu, kata “sunan” bahkan seolah-olah mengalami pergeseran dan penyempitan makna lantaran tindakan mistifikasi yang kadang kelewat berlebih.
Namun tak selamanya proses domestikasi itu berjalan mulus sesuai dengan makna kata asalnya. Misalnya kata “narsis”, yang dalam realitasnya mengalami penyimpangan. Kata ini diadopsi dari mitologi Yunani yang menceritakan kisah keangkuhan Narcissus dalam menanggapi cinta para pengagumnya, sehingga di akhir cerita ia pun harus menanggung kutukan. KBBI menerakan makna “narsis” sebagai tumbuhan berbunga putih, krem, atau kuning, terdapat di daerah subtropis; dengan nama Latin Amarylidaceae. Dan makna itu memang lebih mengarah ke sosok Narcissus yang jasadnya kemudian menjelma menjadi sekuntum bunga nan cantik. Namun, dalam perjalanan pengadopsiannya, yang terjadi kemudian justru kata “narsis” digunakan untuk mewakili sifat pamer yang memiliki kecondongan ke arah kekaguman diri sendiri. Melewatkan kata “narsistik” yang secara morfologi lebih tepat. Sebagai contoh, saya ambilkan judul kolom opini “Bahaya Budaya Narsis” yang ditulis oleh Toba Sastrawan Manik (Kompas, 17 Februari 2022). Saya juga sering menemukan penggunaan kata “narsis” di media sosial ketimbang “narsistik”, dan itu kemudian menjadi kaprah.
Dalam proses domestikasi tersebut kadang kala terjadi proses penyempitan makna. Saya ambilkan contoh yang menarik: kata “kafir”. Kafir merupakan turunan bentuk subyek (fa’il) dari kata kerja (fi’il madli) kafara yang berarti menutupi. Kafir memiliki turunan makna yang banyak, mengikuti konteks kalimat. Ia bisa berarti orang yang tidak mensyukuri nikmat, dengan penjabaran bahwa orang tersebut telah menutupi nikmat Tuhan yang sebenarnya telah ia terima. Juga bisa berarti orang yang menyembah berhala, dengan penjabaran bahwa penyembah berhala telah menutupi fakta lain bahwa hanya Tuhan-lah yang sepatutnya disembah.
Semua lema (terkait dengan kafir) yang ada di KBBI memberitahukan bahwa kafir hanya terbatas pada orang yang tidak percaya kepada Allah. Makna asal “menutupi” terbuang, sehingga kita tidak bisa menamai orang yang tidak bersyukur sebagai “kafir”. Setelah penggaungan pemakaian kata “nonmuslim”, “kafir” telanjur menjadi kata sarkastis yang menunjuk kepada mereka yang berada di luar lingkaran agama Islam. Padahal definisinya dalam Al-Quran lebih luas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo