Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Bahaya Monetisasi Surat Utang

Bank Indonesia berencana membeli surat berharga negara. Monetisasi utang bisa mengacaukan stabilitas perekonomian. 

31 Desember 2024 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Rencana Bank Indonesia mencetak uang untuk membeli obligasi pemerintah bisa memicu inflasi.

  • Kepercayaan pasar terhadap stabilitas mata uang makin tergerus bila bank sentral terlalu banyak mencetak uang.

  • Naiknya likuiditas berisiko memicu volatilitas di sektor keuangan.

RENCANA Bank Indonesia memborong surat berharga negara untuk mendanai defisit fiskal memiliki sejumlah risiko yang mengancam perekonomian. Langkah bank sentral jorjoran mencetak uang untuk membeli obligasi pemerintah itu dapat memicu inflasi hingga menurunkan nilai tukar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Monetisasi utang berkedok bilateral debt switch itu telah disepakati antara Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan pada pertengahan Desember 2024. Dengan skema ini, Bank Indonesia sebenarnya menalangi pembayaran utang obligasi yang jatuh tempo pada tahun depan. BI akan membeli surat berharga negara senilai Rp 150 triliun. Dengan begitu, pemerintah memperoleh dana untuk menutup defisit anggaran. Sebagai gantinya, BI memperoleh pembayaran dari pemerintah dalam bentuk obligasi baru bertenor lebih panjang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Total utang pemerintah yang jatuh tempo pada tahun depan adalah Rp 800,33 triliun. Lebih dari 85 persen dari total utang itu berbentuk surat berharga negara. Kebanyakan surat utang terbit pada era Presiden Joko Widodo. Hingga 2024, BI memiliki SBN sebesar 25,81 persen. Rencana bank sentral membeli SBN di pasar sekunder otomatis menambah persentase kepemilikan mereka atas obligasi pemerintah.

Pembelian obligasi pemerintah ini otomatis menambah beban bank sentral. Neraca Bank Indonesia akan kopong karena kebanyakan berisi surat utang. Sementara itu, BI mesti merogoh dana untuk membeli obligasi di pasar. Secara tidak langsung, bank sentral mesti mencetak uang untuk membayar utang pemerintah yang jatuh tempo pada tahun depan. 

Langkah itu berisiko memicu inflasi. Sebab, keputusan BI membeli obligasi akan meningkatkan jumlah rupiah yang beredar di pasar. Apalagi bila jumlah uang yang beredar tidak diimbangi oleh peningkatan produksi barang dan jasa. Dalam sejumlah kasus, monetisasi utang dapat menyebabkan hiperinflasi, seperti yang terjadi di Zimbabwe atau Venezuela.

Bukan cuma itu. Alih-alih menstabilkan nilai tukar rupiah, bilateral debt switch justru menyebabkan nilai rupiah anjlok terhadap dolar. Kepercayaan pasar dan masyarakat terhadap stabilitas mata uang makin tergerus bila bank sentral terlalu banyak mencetak uang untuk mendanai proyek pemerintah. Di sisi lain, peningkatan likuiditas tanpa pengelolaan yang tidak hati-hati berisiko memicu volatilitas di sektor keuangan, yang ujung-ujungnya menekan stabilitas makroekonomi.

Lebih jauh dari itu, monetisasi utang dapat mengganggu fungsi pasar obligasi. Dengan bank sentral sebagai pembeli utamanya, pembelian ini dapat menekan suku bunga secara semu. Insentif bagi investor swasta untuk berpartisipasi dalam pasar utang pun berkurang.

Bisa jadi, pemerintah makin tergoda untuk terus bergantung pada bank sentral demi mendanai defisit fiskal. Ibarat candu, ketergantungan itu menciptakan siklus utang yang tidak berkelanjutan. Sudah sepatutnya pemerintahan Prabowo Subianto mengelola anggaran dengan bijak melalui pengurangan pengeluaran. Masalahnya, Presiden Prabowo punya program makan bergizi gratis yang membutuhkan anggaran jumbo. 

Ketergantungan pada monetisasi utang sering kali menurunkan independensi bank sentral. Gejala itu mulai terasa pada era Jokowi yang membiayai pelbagai pembangunan infrastrukur menggunakan utang, termasuk lewat surat berharga negara. Bila bank sentral kehilangan kredibilitasnya, sulit untuk menerapkan kebijakan moneter yang efektif di masa depan.

Monetisasi utang tidak selamanya buruk asalkan digunakan dengan hati-hati. Contohnya dalam kondisi luar biasa seperti pada masa pandemi Covid-19. Namun keberhasilannya sangat bergantung pada kredibilitas institusi yang mengelolanya. Syaratnya: transparansi kebijakan dan strategi keluar yang jelas untuk menghindari efek jangka panjang yang merugikan.

Tidak ada salahnya pemerintah belajar dari pengalaman Argentina. Pada era Presiden Juan Perone, perekonomian Argentina tersungkur karena bank sentral menjadi kasir untuk membayari utang pemerintah. Indonesia menuju malapetaka itu bila tak bisa mengelola utang dengan hati-hati.

Berkaca dari Argentina, Presiden Javier Milei mengeluarkan kebijakan antitesis presiden-presiden sebelumnya yang menganut mazhab Peronism. Milei mengetatkan anggaran dengan memangkas pelbagai subsidi dalam setahun terakhir. Hasilnya, inflasi mulai stabil. Nilai tukar peso terhadap dolar mulai membaik.

Ekonomi Argentina memang belum sepenuhnya pulih. Tapi Milei sudah tahu caranya agar tak terjebak dalam lingkaran utang meski kebijakannya tak populis.

Efek bank sentral membayari utang tak akan terasa dalam satu atau lima tahun ke depan. Di Argentina, efek itu terasa berpuluh-puluh tahun kemudian. Prabowo masih punya waktu untuk mengubah haluan agar negara tak terperosok ke dalam jurang utang. Beban utang itu semestinya mengerem nafsu pemerintah dengan mendorong penyehatan dan mengetatkan pengeluaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus