Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kehidupan media sosial mengubah sikap dan perilaku manusia.
Manusia menjadi penonton sekaligus tontonan.
Kehadiran penonton dapat memicu letupan emosi yang tak terkendali.
Aris Setiawan
Pengajar ISI Surakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Michael Schwartz, lewat tulisan "Causes and Effects of Spectator Sports" dalam jurnal International Review of Sport Sociology pada 1973, mengulas dengan cukup menarik keterkaitan antara penonton dan olahraga. Bagaimana atribusi penonton mampu membangkitkan gejolak nasionalisme dan semangat bertanding yang memuncak. Intinya, kehadiran penonton merupakan faktor penting dalam olahraga. Apakah ini menjelaskan fenomena kekerasan di media sosial seperti kasus Mario Dandy atau lainnya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penonton lebih dari sekadar orang yang menonton. Tubuh mereka mewakili imajinasi dan mimpi atas apa yang dilihatnya. Saat menyaksikan pertandingan olahraga, sepak bola misalnya, penonton dianggap sebagai pemain ke-12. Sorakan dan teriakan mereka memekikkan pesan kemenangan, bahkan juga umpatan serta hujatan.
Di panggung seni pertunjukan, penonton juga sering digunakan sebagai ukuran kesuksesan sebuah acara. Makin banyak penonton yang datang, pertunjukan tersebut dianggap sukses. Begitu juga sebaliknya. Pada konteks demikian, Ana Pais (2015) mengklasifikasikan penonton dalam dua kategori, yakni antiquity (pasif sebagai penerimaan) dan modernity (pasif sebagai tidak aktif). Sayangnya, dua kategori itu diambil Pais dari pertunjukan seni ala Barat, ketika penonton menjadi obyek yang pasif menerima pesan dari atas panggung.
Kesimpulan dari kedua tulisan itu pada dasarnya sama, yakni posisi penonton menentukan arah keberhasilan sebuah peristiwa. Yang cukup menarik adalah posisi penonton yang hari ini makin melebar, tereduksi dengan hadirnya media sosial. Media sosial mendekonstruksi wacana tentang tubuh penonton. Setiap pemilik akun media sosial pada saat yang sama mendudukkan diri sebagai yang “ditonton” dan “menonton”. Posisi ganda tersebut membawa konsekuensi dalam sikap dan perilaku di aras “untuk selalu memamerkan atau mempertontonkan” serta sekaligus “merasa terus diawasi oleh penonton”.
Logika sederhananya, hampir tidak ada manusia yang tak memiliki media sosial. Media sosial bukan sekadar membangun jejaring pertemanan lintas batas, tapi juga untuk menunjukkan narsisme diri di media sosial. Hanya, dalam konteks media sosial, penonton disederhanakan sebagai “followers” atau para pengikut. Ukuran ini hampir sama dengan pertunjukan olahraga dan seni pertunjukan: makin banyak follower, orang tersebut dianggap semakin sukses dan terkenal.
Ironisnya, gejala untuk senantiasa mendudukkan diri “selalu diawasi”—dalam kacamata Michel Foucault disebut “panopticon”—menjadikan segala hal tentang kehidupan harus terus diberitakan atau dipertontonkan. Hampir setiap hari pemilik media sosial menyebarkan informasi tentang aktivitasnya, entah dalam bentuk teks, foto, atau video. Kehadiran tubuh penonton direduksi menjadi jumlah yang melihat, menyukai, membaca, dan tentu saja memberi respons (komentar). Ada kepuasan tersendiri saat peristiwa yang dipertontonkan itu mendapat umpan balik. Bahkan tidak jarang, seseorang melakukan siaran langsung di akun media sosialnya dan berjumpa dengan “para penonton” serta melakukan tanya-jawab. Siapa pun dapat melakukannya. Tidak harus artis yang terkenal di televisi.
Muncullah kemudian kata “konten” dan “kreator konten”. Hidup harus senantiasa “dikontenkan” atau didramatisasi semata-mata agar mendapat perhatian atau sesuai dengan keinginan penonton. Apalagi jika konten itu mampu menghasilkan pundi-pundi keuntungan lewat iklan. Akibatnya, sering kali kita sulit mengidentifikasi tontonan tersebut sebagai realitas atau sekadar gimik. Penonton, dalam hal ini, adalah subyek yang aktif karena pada saat yang sama menghendaki seseorang yang ditontonnya bertindak sesuai dengan imajinasi mereka.
Efek Penonton
Efek penonton (spectator effect) dalam media sosial menjadikan hidup seperti drama teater yang senantiasa mengandung aspek konflik yang terus diproduksi. Itulah kemudian banyak dijumpai perilaku atau perbuatan yang di luar akal sehat. Simak kasus penganiayaan yang dilakukan Mario Dandy Satriyo terhadap David Ozora Latumahina. Peristiwa itu sengaja direkam dan tentu saja hendak diunggah serta diperlihatkan kepada penonton di akun media sosialnya. Dalam rekaman video itu, Dandy berkata, “Gue tak takut anak orang mati.” Ucapan itu diletupkan bukan kepada si korban, tapi sebentuk pesan yang hendak disampaikan kepada penontonnya. Harapannya, ia akan disebut sebagai pemuda pemberani, yang membela kehormatan pacarnya (yang konon bermasalah dengan si korban), dan mendapat simpati bertubi-tubi.
Pada banyak video lain di media sosialnya, Dandy juga cukup sering memamerkan harta. Narsisme ini dilakukan untuk menunjukkan siapa dirinya yang bukan anak orang sembarangan, melainkan anak pejabat di Direktorat Jenderal Pajak. Efek kehadiran penonton ini menjadi candu yang sulit dibendung. Coba lihat media sosial. Semua orang, baik artis terkenal maupun bukan, berlomba-lomba membuat vlog dan beradu untuk mendapat perhatian penonton sebanyak mungkin.
Kehidupan kemudian adalah apa yang ada di layar. Tak sedetik pun ada sisi kehidupan yang lepas dari urusan untuk ditonton. Geliat semacam itu cukup berbahaya karena layaknya dalam pertandingan sepak bola pengaruh kehadiran penonton berdampak bagi letupan emosi yang tak terkendali. Seseorang yang tidak kuat makan pedas, misalnya, alih-alih mengurangi sambal, karena ditonton oleh banyak orang, ia nekat memakan cabai agar mendapatkan simpati dan perhatian penonton. Begitu juga dalam kasus penganiayaan oleh Dandy. Alih-alih menjadi orang yang mengedepankan akal sehat, ia menjadi garang karena ditonton.
Ada sesuatu yang ingin mereka buktikan, tunjukkan, dan pamerkan. Gejala-gejala semacam ini mau tidak mau harus diakui membentuk manusia menjadi makhluk simulakrum, ketika realitas telah hilang atau memudar dan digantikan dengan rekaan atau tiruan yang terasa lebih nyata.
Telepon seluler menjadi semacam kamera film. Saat kita menyalakannya, selalu secara tak sadar menderu kata “action!”. Saat kamera menyala, orang tidak memiliki kuasa mengontrol dirinya, tapi penontonlah yang akan menilai apakah “sandiwara” itu sesuai dengan harapan atau sebaliknya. Lewat efek penonton, yang penakut menjadi pemberani, yang malas terlihat rajin, yang buruk terlihat baik, dan yang penyayang dapat menjadi beringas.
Gejala ini sebelumnya jamak dijumpai dalam olahraga dan kesenian. Keterlibatan penonton menjadi krusial agar peristiwa itu bermakna. Penonton menggerakkan. Penonton selalu haus akan kebaruan. Penonton menjadi inspirasi untuk bertindak melebihi kemampuan diri. Dalam konteks inilah kita perlu merenungkan seberapa penting kita harus tampil menjadi yang lain di hadapan “penonton”. Jangan-jangan mereka bertepuk tangan dalam duka dari peristiwa yang awalnya mengundang decak kagum dan tawa. Sebagaimana pertunjukan teater, hidup adalah sandiwara. Akting pemain di atas panggung sepenuhnya diproduksi demi membawa tawa dan tangis penontonnya.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan Anda ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo