Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bahasa bersifat dinamis dan evolutif.
Ada beberapa model evolusi bahasa Indonesia, yakni pergeseran makna, perubahan fokus yang ditonjolkan, pergeseran dari kalimat relatif pendek ke kalimat lebih kompleks dan majemuk, serta penyempitan makna.
Belum pernah ada evolusi ketika yang berubah adalah kata, sementara maknanya tidak berubah atau tetap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA 2008, penulis cerita pendek yang lahir di Semarang, Budi Maryono, menerbitkan buku kumpulan cerpen berjudul Di Kereta, Kita Selingkuh. Judul buku itu diambil dari salah satu cerpen yang ada di dalamnya dengan judul yang sama. Cerpen itu bercerita tentang seorang laki-laki yang sudah memiliki istri dan anak yang bertemu dengan “masa lalu”-nya, seorang perempuan yang sudah bersuami dan juga memiliki anak. Dengan penceritaan imajinatif, keduanya memanjakan syahwat paling purba mereka di salah satu toilet gerbong kereta. Meski hanya dalam masing-masing pikiran yang mengembara, mereka berdua tengah selingkuh. Dalam cerpen Budi Maryono ini, selingkuh memiliki makna yang lazim diketahui banyak orang pada saat ini, yakni serong; tidak setia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara itu, beberapa puluh tahun sebelumnya, selingkuh cenderung diartikan sebagai tidak jujur. Maka tidak perlu mengernyitkan dahi jika ada kalimat: “Dengan istri sendiri saja selingkuh, apalagi dengan orang lain”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata selingkuh memang memiliki beberapa arti: 1) suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri; tidak berterus terang; tidak jujur; serong, 2) suka menggelapkan uang; korup, 3) suka menyeleweng.
Bahasa memang bersifat dinamis dan evolutif. Demikian juga bahasa Indonesia. Kritikus sastra Amerika Serikat, Kenneth Duva Burke, menyebutkan, “Melalui bahasa, manusia menamai dan mengevaluasi sebuah obyek, sensasi, perasaan, dan situasi yang mereka rasakan.” Sedangkan seorang Indonesianis dari University of Bonn, Jerman, Berthold Damshäuser, pernah membagikan pengalamannya berdiskusi dengan mahasiswa-mahasiswanya dalam sebuah tulisan berjudul “Evolusi Bahasa dan Manusia Indonesia” (Tempo, Juni 2013). Dalam tulisan itu, Damshäuser menyampaikan contoh-contoh yang disampaikan oleh mahasiswanya tentang evolusi bahasa Indonesia. Di antaranya: 1) Tipe kalimat seperti “diambilnya buku ini” makin jarang terdengar dan cenderung digantikan dengan “ia mengambil buku”. Dulu perbuatan yang difokuskan, kini individulah yang ditonjolkan dan dijadikan fokus kalimat. 2) Kalimat-kalimat teks Melayu cenderung pendek. Kalimat-kalimat sekarang makin majemuk dan kompleks.
Memperhatikan catatan-catatan tersebut, evolusi bahasa Indonesia setidaknya ada beberapa model: 1) pergeseran makna (contoh kata selingkuh yang bergeser dari tidak jujur ke serong); 2) perubahan fokus yang ditonjolkan (contoh kalimat “diambilnya buku ini” yang makin jarang dan digantikan dengan “ia mengambil buku”); 3) pergeseran dari kalimat yang relatif pendek ke kalimat yang lebih kompleks dan majemuk; dan satu lagi (yang sering kita temui), yakni 4) penyempitan makna (contoh pada kata “bau” dan “kitab”).
Dari model-model evolusi bahasa Indonesia yang sudah terjadi, sepertinya belum pernah ada evolusi ketika yang berubah adalah “kata”, sementara maknanya tidak berubah atau tetap.
Sejak pandemi corona melanda, yang mengakibatkan perlambatan ekonomi (bahkan hingga sekarang), utang pemerintah meningkat secara signifikan. Pada 2018, utang pemerintah “hanya” Rp 4.418 triliun. Lalu menjadi Rp 4.778 triliun pada 2019, Rp 6.074 triliun pada 2020, Rp 6.554 triliun pada 2021, dan tembus Rp 7.754,98 triliun per Januari 2023 (IDN Times, Tempo.co).
Kendati Badan Pemeriksa Keuangan dan pengamat sudah mengingatkan ihwal utang yang makin membebani keuangan negara, pemerintah masih merasa aman-aman saja. Judul berita ini cukup mewakili pernyataan itu: “Utang Pemerintah Hampir Rp7.500 Triliun, Kemenkeu: Masih Aman!” (Ekonomi.bisnis.com).
Dengan melihat tren utang pemerintah yang makin meroket dan pemerintah masih merasa aman-aman saja, memori kolektif kita bisa saja mengantarkan kita kepada sosok Menteri Keuangan Prancis pada 1750-an, Etienne de Silhouette, yang namanya merupakan asal-usul kata siluet.
Munculnya istilah siluet dimulai karena kekesalan masyarakat kepada Menteri Keuangan Prancis pada saat itu, yaitu Etienne de Silhouette. Sebagai Menteri Keuangan, Silhouette mengatakan Prancis tidak mengalami masalah keuangan, padahal rakyat Eropa secara umum sedang mengalami kelaparan. Pada 1759 terjadi krisis kredit di Prancis. Pada saat krisis itu, Silhouette kemudian memberlakukan pajak yang tinggi untuk orang-orang Prancis. Bahkan pintu rumah pun dipajaki (ruangguru.com/blog/asal-usul-siluet-wajah).
Lantas, apa kaitannya antara evolusi bahasa Indonesia, utang pemerintah, dan kata siluet?
Jika kita berpijak pada pendapat Kenneth Duva Burke di atas yang menyebutkan bahwa melalui bahasa, manusia menamai dan mengevaluasi sebuah obyek, sensasi, perasaan, dan situasi yang mereka rasakan, bisa saja muncul model evolusi bahasa ketika yang berubah adalah “kata”, sementara maknanya tidak berubah atau tetap.
Dengan berpunca dari sejarah kata siluet dan kondisi keuangan Indonesia yang mirip dengan Prancis pada 1750-an, apakah sahih secara teori evolusi bahasa jika kata siluet berevolusi melalui jalur evolusi sebagai berikut: Etienne de Silhouette - Silhouette - Siluet - Sriluet - Sri?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo