Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SURGA terletak di kaki ibu, dan kaki ibu (di samping kaki bapak) terletak di pesisir Aindua. Di hamparan pasir putih pantai Mimika itu perempuan setempat melahirkan bayi mereka dan di sana juga penduduk biasa menikmati sore hari dan waktu senggang yang panjang; ibu-ibu membakar ikan dan cumi, bapak-bapak duduk-duduk sampai hari gelap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teman saya, Alif Iman Nurlambang, datang ke titik kecil di peta Papua itu Oktober 2013. Ia menceritakan apa yang disaksikannya—ia seorang jurnalis dari Tempo TV, seorang pengamat dan pencerita yang cepat-tepat—dan saya terkesima: jangan-jangan di antara orang Kamoro di desa Aindua, ada pengertian lain tentang hidup dan surga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tentu saja saya berlebihan. Sekarang, di desa itu orang tak lagi tinggal di honai, rumah adat beratap rumbia yang berbentuk cupcake itu. Kini mereka hidup di rumah berpanggung dari kayu papan yang lebih praktis dan murah.
“Saya tak melihat orang berkoteka di Aindua...,” kata Alif. Koteka hanya dikenakan dalam acara adat. Sehari-hari, orang tua-muda-anak, lelaki-perempuan, menggunakan kaus dan celana pendek olahraga. Kadang-kadang bertelanjang dada.
Perubahan terjadi—di permukaan. Berjarak tempuh dua hari perjalanan laut dengan perahu motor dari Timika (ibu kota Mimika), termasuk harus menginap di salah satu desa pesisir, Aindua hanya sebentar-sebentar disentuh dunia luar. Tak ada saluran listrik untuk rumah yang cuma 40 buah; hanya ada genset di sekolah dan di gedung pertemuan, yang dibangun Freeport. Di sana tak ada kegiatan bisnis. Yang ada hanya warung yang menjual mi instan, minyak, minuman soda, bubuk minuman.
Tiap hari sebagian penduduk masuk hutan, atau ke laut dengan perahu kecil. Sebagian lagi piknik. Mereka ke pantai membawa bekal nasi dan lauk-pauk. Kata Alif, "Tak ada tuntutan ke laut dan hutan setiap hari.” Orang tak diburu “kerja".
Tapi apa arti “kerja” sebenarnya?
Bahasa Inggris punya kata labour, yang menggambarkan “kerja” bersusah payah, membanting tulang. Di sebagian dunia, dikisahkan ini dimulai dengan hukuman Tuhan kepada manusia yang diusir dari surga. Dalam kalimat Kitab Kejadian, Adam akhirnya harus “bersusah payah mengerjakan tanah dan memakan hasilnya”. Thema ini berlanjut hingga Adam Smith, pemikir ekonomi dari Skotlandia di abad ke-18. Adam Smith melukiskan “kerja” sebagai kegiatan di mana orang “melepaskan ketenteraman hidup, kemerdekaan, dan kebahagiaannya”.
Tapi “kerja” yang dalam bahasa Inggris disebut work belum tentu siksaan. Kita ingat yang dikatakan Engels, pasangan Marx itu: “kerja membentuk manusia itu sendiri”, sie hat den Menschen selbst geschaffen.
Engels, seperti Marx, melihat ada beda kerja di kalangan budak dan kerja orang per orang di masyarakat modern ("borjuis”). Ada kerja yang dipaksakan dari luar dan ada kerja yang bebas. Dengan kata lain, “kerja” bisa tak satu artinya, tapi selamanya bertaut dengan posisi sosial manusia. Dan posisi itu berubah dalam sejarah.
Yang tak yakin tentang ini J.H. Boeke. Sarjana Belanda ini, yang mendapatkan yang gelar doktornya di Universitas Leiden pada 1910 (thesisnya: ekonomi tropis di tanah jajahan), terkenal dengan theorinya tentang keadaan “dualistik” dalam kehidupan ekonomi Hindia Belanda. Di sini, menurut Boeke, manusia memberi respons kepada stimulus ekonomi dengan cara yang bersifat khas “pribumi” dan “prakapitalis”.
Dalam sektor “pribumi”, kebutuhan hidup terbatas. Orang terpuaskan jika kebutuhan dasar terpenuhi. Tak perlu ikhtiar tambahan untuk berlebih, tak sebagaimana hidup di masyarakat “modern” yang “kapitalistis”.
Kebutuhan dalam masyarakat “pribumi” dibentuk bukan oleh “nilai dalam kegunaan”, waarde-in-gebruik, melainkan “nilai prestise”. Kata Boeke, ”Jika orang Madura anggap sapi jantannya 10 kali lebih bernilai ketimbang lembunya, itu bukan karena si sapi jantan akan 10 kali lebih berguna buat bisnis, tapi karena akan menaikkan prestise dalam karapan sapi.”
Boeke jadi tenar karena pandangannya tentang masyarakat Indonesia yang “luar biasa” itu. Tapi ia juga terkenal karena sikapnya yang tak punya harapan akan kemajuan ekonomi “pribumi.” Di abad ke-21, ia akan jadi karikatur seorang “kolonialis” dan “orientalis”: pejabat tinggi kekuasaan penjajah, yang seakan-akan ingin melindungi dunia “timur” dari masuknya heboh dunia modern.
Dengan kata lain, ia ingin melihat masyarakat jajahan tetap dalam status quo—dengan esensi yang abadi. Bagi Boeke, “kerja” dan “kebutuhan” dibentuk ciri budaya yang tak akan bisa berubah.
Boeke menggambarkan masyarakat ala Aindua seperti pelukis Mooi Indie menggambarkan desa tanah jajahan: elok, eksotis, tak berkekurangan, dan akan cacat jika berubah. Boeke akan melihat pembangunan jalan dari Aindua, misalnya, sebagai semata-mata perusakan.
Tentu ada yang jadi rusak. Tapi cerita Adam di luar surga bukan hanya cerita cedera dan hukuman, melainkan juga kemerdekaan, tantangan, kegembiraan, pengalaman yang tak tepermanai.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo