Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Film Sejarah

Bagaimana memahami judul tulisan ini? Saya yang menulis saja masih ragu apakah ada film sejarah. Kalau ada film sejarah-apakah itu perang, bencana, atau lainnya-sudah pasti disebut film dokumenter. Kamera merekam kejadian sesungguhnya dan, sebagai film, ada peluang juga dibelokkan pesannya. Tergantung untuk tujuan apa film dokumenter itu, selain sebagai arsip.

23 September 2017 | 00.53 WIB

Film Sejarah
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Bagaimana memahami judul tulisan ini? Saya yang menulis saja masih ragu apakah ada film sejarah. Kalau ada film sejarah-apakah itu perang, bencana, atau lainnya-sudah pasti disebut film dokumenter. Kamera merekam kejadian sesungguhnya dan, sebagai film, ada peluang juga dibelokkan pesannya. Tergantung untuk tujuan apa film dokumenter itu, selain sebagai arsip.

Kalau ada sisipan kata "berlatar belakang" di antara kata film dan sejarah, saya paham. Banyak film jenis ini. Sebutlah contoh film Titanic, yang bercerita soal tenggelamnya kapal pesiar mewah RMS Titanic pada 15 April 1912. Kapal yang berlayar dari Southampton, Inggris, menuju New York, Amerika Serikat, ini menabrak gunung es di Samudra Atlantik. Bencana maritim terbesar sepanjang abad ke-20 yang menewaskan 1.514 orang itu tentu menarik dijadikan film. Tapi bukan film sejarah, karena tak ada kamera yang merekam malapetaka itu. Maka, dibuatlah drama percintaan antara Jack yang mewakili kaum kelas bawah dan Rose yang mewakili kaum bangsawan. Percintaan, atau lebih tepatnya perselingkuhan, dua manusia beda kasta ini seolah-olah ada di kapal Titanic, yang membuat film jadi seru.

Film Janur Kuning dan Serangan Fajar disebut-sebut sebagai film sejarah. Keduanya berkisah sekitar Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogya. Janur Kuning, 1979, dengan sutradara Alam Surawijaya, menekankan peran Soeharto di balik serangan itu. Adapun Serangan Fajar, 1981, sutradara Arifin C. Noer, menonjolkan Soeharto sebagai pahlawan revolusi Indonesia. Kedua film pesanan ini tetap saja tak akurat dari sudut kesejarahan. Bukan hanya menyangkut peran tokoh, juga artistik yang mengada-ada. Bahkan Arifin membuat dua tokoh khayalan, Temon, anak kecil yang kehilangan ayahnya; dan Romo, seorang bangsawan pejuang yang istrinya sibuk dengan pria biasa. Adanya sisipan inilah yang membuat "film sejarah" itu mendapat penghargaan di festival-festival.

Apakah film Pengkhianatan G 30S PKI, 1984,yang pernah diputar wajib di TVRI setiap tanggal 30 September dan keesokan harinya-film itu berdurasi hampir 5 jam-tergolong film sejarah? Sulit menyebut begitu. Ini film pesanan dan alat propaganda penguasa Orde Baru.

Banyak adegan yang diada-adakan untuk kepentingan artistik maupun dramatisasi. Aidit, yang tidak merokok, dibuat merokok dengan alasan kepulan asap bisa menunjukkan ketegangan. Nyanyian Genjer-genjer disisipkan untuk membuat kontras. Penyiksaan para jenderal dibuat dengan sangat keji, diiris dengan silet segala-padahal dengan fakta jenazah dicemplungkan ke sumur tua sebenarnya sudah sangat keji. Rupanya, kebiadaban itu dirasakan kurang.

Ketika Soeharto berkuasa, tak ada yang berani menyebut film itu tidak pantas ditayangkan televisi meskipun dengan dalih tayangan televisi tidak membolehkan unsur kekerasan. Barulah pada September 1998, empat bulan setelah jatuhnya Soeharto, Menteri Penerangan Yunus Yosfiahmenghentikan tayangan wajib di televisi itu dengan alasan film ini memanipulasi sejarah. Sebelumnya, pemimpin TNI AU Saleh Basarah menghubungi Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono, meminta agar film ini tidak lagi ditayangkan karena merusak citraTNI AU.

Kini Panglima TNI memerintahkan agar film G 30S ditonton ulang. Alasannya, untuk mengingatkan generasi muda tentang sejarah bangsa. Tak ada yang salah menonton film, tapi betulkah ini film sejarah di mana generasi muda belajar sejarah bangsa? "Bandul orde" bergerak. Film yang pernah disebut "memanipulasi sejarah" dan "alat propaganda Orde Baru" itu kini harus kembali ditonton ramai-ramai. Ada apa dengan tentara kita? PUTU SETIA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus