Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Gagal Total KPK Jokowi

Revisi Undang-Undang KPK membuat komisi antirasuah tak berkutik dalam menangani kasus suap Komisioner KPU. Kecuali pemerintah berubah sikap, hanya keajaiban yang bisa membuat KPK kembali bergigi. 

18 Januari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Gagal Total KPK Jokowi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pelemahan KPK membuat komisi antikorupsi jalan di tempat dalam membongkar kasus suap KPU.

  • Tak tuntasnya pengungkapan kasus suap KPU membuat lemah lembaga demokrasi.

  • Tak tuntasnya penuntasan kasus suap Komisioner KPU akan membuat publik apatis.

ANDAI kata Presiden Joko Widodo bersama Dewan Perwakilan Rakyat tidak menumpulkan ujung tombak pemberantasan korupsi, drama memalukan ini tak akan terjadi. Tidak cuma gagal menyegel kantor Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, tim Komisi Pemberantasan Korupsi juga kesulitan menangkap petinggi partai penguasa yang diduga terlibat kasus suap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KPK, yang selama ini digdaya, terbukti menjadi tidak berdaya setelah wewenang penyidik dipereteli dan independensinya digerogoti lewat revisi undang-undang. Tim komisi antikorupsi dihambat saat berupaya membongkar dugaan suap petinggi PDIP kepada Komisioner Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan. Padahal Wahyu telah dicokok lewat operasi tangkap tangan pada 8 Januari lalu. Ia diduga menerima suap ratusan juta rupiah terkait dengan pergantian antarwaktu anggota DPR yang diajukan PDIP.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Skandal ini tidak boleh dianggap sepele. Jangan dilihat dari besarnya uang suap, tapi tengoklah dua institusi penting yang terseret: KPU dan partai politik pemenang pemilu. Tanpa pengusutan tuntas, dua institusi demokrasi tersebut akan kehilangan kepercayaan publik. Wajar bila penyidik KPK yang masih berintegritas berkeras membongkar tuntas permainan lancung yang merusak mekanisme demokrasi itu.

Ikhtiar membongkar suap itu sewajarnya berjalan mulus lantaran tim KPK telah menangkap perantara suap dan menyita uang dolar Singapura senilai Rp 400 juta plus sebuah buku rekening. Besel ini disiapkan buat Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Suap itu diduga dilakukan untuk melicinkan pengajuan calon anggota legislatif, Harun Masiku, sebagai pengganti Nazarudin Kiemas, calon anggota Dewan dari daerah pemilihan Sumatera Selatan I yang meninggal. PDIP tampak ngotot menyodorkan nama Harun kendati perolehan suaranya lebih rendah dibanding pesaingnya.

Akhirnya KPU tetap menolak mengesahkan Harun sebagai anggota DPR. Tim KPK, yang sebelumnya mencium adanya permainan kotor, pun bergerak. Harun rupanya tidak menyuap langsung Wahyu Setiawan, tapi lewat salah satu anggota staf Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto. Proses pengajuan penggantian anggota Dewan memang harus melalui pengurus partai. Itu sebabnya tim KPK tidak cuma memburu Harun, tapi juga berusaha menjerat Hasto.

Upaya membongkar skandal itu menghadapi kendala di lapangan sehingga tim KPK tidak bisa menjangkau Hasto. Harun pun hingga kini masih buron. Anehnya, pimpinan KPK juga tak segera meminta Dewan Pengawas mengeluarkan surat penggeledahan, sehingga pengusutan jadi tersendat. Sikap kalangan PDIP yang tidak kooperatif juga memperburuk situasi.

KPK kini diyakini gagal membongkar kasus suap—sebuah “prestasi” gemilang pemerintah Jokowi yang tak ingin memiliki lembaga antikorupsi yang trengginas. Perlu dicatat bahwa penyelidikan kasus suap Komisioner KPU sudah dimulai saat KPK belum dikebiri. Begitu pula operasi tangkap tangan terhadap Bupati Sidoarjo Saiful Ilah pada awal Januari lalu. Kasus Saiful yang menerima suap dari kontraktor proyek Dinas Pekerjaan Umum itu mulai diselidiki saat komisi antikorupsi masih kuat.

Tumpulnya KPK Jokowi akan menyebabkan perang terhadap korupsi berjalan lamban, bahkan bisa terhenti sama sekali. Asumsi Presiden terbukti keliru ketika mengatakan KPK yang mengutamakan penindakan akan mengganggu pembangunan karena membuat pejabat takut mengambil keputusan. Ambruknya kepercayaan publik kepada KPK dan partai politik akan melahirkan apatisme publik—efek tak langsung dari tak tuntasnya penanganan suap KPU. Salah besar jika Jokowi ingin menekankan aspek pencegahan korupsi. Cara ini sudah terbukti gagal ketika dipraktikkan di zaman Orde Baru lewat mekanisme pengawasan atasan dan lembaga. Resep itu hanya akan menyembunyikan, bahkan menyuburkan korupsi, bukan memberantasnya.

Hampir semua partai pernah menjadi obyek penindakan KPK. Komisi antikorupsi pernah menangkap ketua umum dan bendahara umum Partai Demokrat, yang ketika itu merupakan penyokong utama pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono. KPK juga biasa menangkap menteri dan Ketua DPR. Sulit membayangkan semua itu bisa terulang.

Penegakan hukum yang adil dan pemberantasan korupsi tiada henti merupakan prasyarat untuk mewujudkan negara demokrasi yang berkeadilan. Melupakan hal ini, dan semata-mata mengejar kemajuan ekonomi, sungguh berbahaya. Kue pembangunan hanya akan dinikmati elite politik dan para pemburu rente jika korupsi dibiarkan merajalela.

Terhambatnya pengungkapan kasus suap politikus PDIP merupakan pertanda awal dari mimpi buruk itu. Iktikad baik untuk membenahi negara begitu mudah dikalahkan. Suramnya masa depan republik ini sudah bisa dibayangkan bila tak ada keajaiban atau perubahan sikap pemimpin.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus