Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ada ide Jaksa Agung menayangkan wajah koruptor di TVRI.
Menteri Kehakiman menentang karena melanggar asas praduga tak bersalah.
Peliputan kasus korupsi di era Orde Baru jadi terkesan hati-hati.
KOMISI Pemberantasan Korupsi mengungkap kasus korupsi yang melibatkan pejabat Komisi Pemilihan Umum dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. KPK menetapkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan politikus PDIP, Harun Masiku, sebagai tersangka. Harun diduga menyuap Wahyu supaya membantunya menjadi pengganti antarwaktu Nazarudin Kiemas, yang meninggal, sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Korupsi telah lama menjadi persoalan utama di Indonesia, jauh sebelum pemerintah membentuk KPK pada 2002. Dalam perjalanan pemberantasan korupsi, selalu muncul perlawanan terhadap aturan baru yang bertujuan memberantas korupsi. Majalah Tempo edisi 23 Desember 1989 menerbitkan artikel bertajuk “Menayangkan Koruptor, Menjerakan Korupsi”, yang mengulas rencana pemerintah menayangkan wajah para koruptor di TVRI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gagasan mengumbar wajah koruptor di TVRI itu dilontarkan Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono dalam rapat kerja dengan Komisi Hukum DPR, akhir November 1989. Ia mengatakan penayangan itu bertujuan memberikan sanksi sosial dan moral kepada para koruptor sehingga menimbulkan efek jera. "Sehingga masyarakat tak meniru perbuatan tercela itu," kata Sukarton.
Penayangan koruptor di televisi juga bukan tanpa dasar hukum. Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang hukuman tambahan berupa pengumuman keputusan hakim menjadi landasannya. "Esensi dan semangat pasal itu, jelas, mengandung unsur agar putusan itu diketahui umum," ujar alumnus Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 1962 itu.
Tapi jenis hukuman baru yang diperkenalkan Sukarton itu tidak disetujui para seniornya, Menteri Kehakiman Ismail Saleh dan Ketua Mahkamah Agung Ali Said. Ismail Saleh menganggap menghukum koruptor dengan menayangkan wajahnya sebagai hal yang berlebihan. Sedangkan menurut Ali Said, media mesti memperhatikan asas praduga tak bersalah sebelum menayangkan wajah koruptor. Artinya, penayangan mesti menunggu putusan hukum berkekuatan tetap.
Mengenai pidana tambahan dalam KUHP, kata Ali Said, tak ada penjelasan mengenai hal tersebut. Karena itulah Ali Said pernah mengumumkan akan mengeluarkan fatwa untuk mengatasi kekosongan hukum tersebut. Namun fatwa Mahkamah Agung itu tidak kunjung muncul.
Sementara itu, Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia Dja'far Assegaf berpendapat menayangkan koruptor ataupun meliput persidangan melalui televisi bisa dianggap melanggar kode etik. Alasannya, penayangan itu melanggar asa praduga tidak bersalah.
Sebaliknya, ada pula ahli hukum yang sependapat dengan Sukarton. Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Muladi, menilai cara Sukarton tidak bertentangan dengan asas-asas hukum pidana. Asalkan saja, kata dia, penayangan itu dilaksanakan setelah tegas-tegas dinyatakan dalam putusan hakim, yang telah berkekuatan pasti. Sedangkan Hakim Agung Bismar Siregar berpendapat penayangan itu bahkan dibenarkan dalam hukum Islam, seperti halnya pelaksanaan hukuman di depan umum.
Akibat berbagai reaksi tersebut, kejaksaan menjadi berhati-hati dalam melaksanakan ide Sukarton itu. Para wartawan hanya diperkenankan mengambil gambar atau merekam dari arah belakang terdakwa, sehingga yang tampak hanya punggung terdakwa dan wajah para hakim.
Padahal tak satu pun ketentuan hukum tertulis, termasuk kode etik jurnalistik, secara tegas mengatur tata cara peliputan persidangan. Soal asas praduga tak bersalah, yang dikhawatirkan terlanggar oleh penayangan wajah koruptor itu, sebetulnya pernah diulas Profesor Padmo Wahjono dalam Diskusi Sehari Tempo di Hotel Hyatt Ambassador, Jakarta, akhir Maret 1989.
Menurut Padmo, tidak ada "rambu-rambu" yang tegas mengatur boleh-tidaknya identitas terdakwa diberitakan secara lengkap. Hukum acara pidana Indonesia (KUHAP) juga memegang prinsip persidangan terbuka untuk umum. Sedangkan dalam proses pengadilan, hakim tidak pernah menyingkat nama tertuduh, apalagi menutup mata tertuduh.
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 24 Oktober 1992. Dapatkan arsip digitalnya di:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo