Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dodi Ambardi*
Terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai ketua umum dalam Kongres Luar Biasa Partai Demokrat, akhir Maret lalu, telah menggeser garis peperangan. Menjelang kongres, garis perang itu membelah personel Demokrat ke sejumlah kubu untuk memperebutkan kursi ketua umum yang kosong. Setelah kongres, garis tersebut membelah Partai Demokrat dengan pengkritiknya.
Pembelahan internal di Demokrat menyurut drastis ketika kongres memilih ketua umum secara aklamasi. Satu segmen pengurus daerah memang sedang mengupayakan kongres tandingan. Namun mereka tidak memiliki insentif memadai yang bisa ditawarkan kepada kader-kader di daerah agar ikut rombongan tandingan itu. Karena keputusan penentuan daftar calon sementara dan daftar calon tetap anggota DPR/DPRD berada di tangan ketua umum baru, praktis rombongan sempalan tersebut tak akan memiliki daya pikat yang memadai.
Para kepala daerah yang terpilih melalui kendaraan Partai Demokrat tentu akan memilih takzim kepada ketua umum ketimbang bertualang dengan kelompok sempalan.
Kini kepengurusan baru Partai Demokrat di bawah kepemimpinan Yudhoyono harus menghadapi publik pengkritiknya. Arti penting kritik mereka bukan terletak pada jumlah kritik atau pengritik. Sebanyak apa pun jumlah pengritik, mereka berada di luar dan tak akan mampu merobohkan kepemimpinan Yudhoyono. Secara numerik, jumlah pengritik itu tak akan melampaui jumlah suara minimal yang diperlukan untuk memenangi sebuah kursi legislatif. Tapi yang perlu diperhatikan adalah sejauh mana suara-suara kritis itu beresonansi dengan sentimen elektoral publik pemilih.
Suara-suara kritis itu sesungguhnya mewakili sebuah tesis yang menebak memudarnya peruntungan elektoral Partai Demokrat pada Pemilihan Umum 2014. Sebaliknya, orang-orang Demokrat yang mendukung pengambilalihan kepemimpinan Demokrat juga didasari pada tesis yang mempercayai bahwa Yudhoyono akan mampu membalik peruntungan elektoral partai.
Ada dua rumpun kritik yang ditembakkan ke Demokrat dan Yudhoyono. Tembakan kritik pada level personal adalah soal konsistensi sikap. Jika Yudhoyono pernah meminta para menterinya berkonsentrasi pada tugas kementerian dan mengurangi tugas partai, hal yang sama seharusnya ia lakukan. Kritik ini mengena, tapi lebih banyak bersinggungan dengan urusan karakter perseorangan.
Rumpun kritik berikutnya lebih menarik untuk dibahas: tampilnya Yudhoyono telah menutup arus demokratisasi internal Partai Demokrat. Rangkap jabatan terjadi secara berlipat. Selain sebagai ketua umum, Yudhoyono adalah ketua dewan pembina, ketua majelis tinggi, dan ketua dewan kehormatan. Mekanisme internal dan proses checks and balances diperkirakan tidak akan berjalan. Level demokrasi di Demokrat berada pada titik terendah. Ditambah posisi sang anak, Edhie Baskoro, sebagai Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, lengkaplah dominasi kekuasaan itu.
Penggumpalan kekuasaan di tangan keluarga ini menerbitkan sinisme lain: tuduhan menguatnya kecenderungan dinastik di Demokrat. Kekuasaan di dalam partai pun dianggap telah dikelola secara personal dan, karena itu, keputusan partai akan sangat tergantung pada selera pribadi sang ketua umum.
Sebagai konsekuensi, tautan Partai Demokrat dengan publik pemilih tidak berkembang di atas aras programatik yang bersifat rasional, tapi tak lebih dari tautan emosional antara seorang pemimpin dan pengikutnya. Label sinikal yang disematkan adalah Yudhoyono Fans Club: Demokrat bukanlah sebuah partai politik, melainkan sekadar sekumpulan penggemar yang memuja idolanya.
Dalam konteks perjalanan demokrasi di Indonesia, kritik itu diperluas dengan mengatakan bahwa demokrasi yang menempatkan partai sebagai aktor politik utama sedang mundur. Alih-alih menyemai demokratisasi di lingkup partai, rangkap jabatan Yudhoyono dianggap sebagai ukuran keseluruhan kemunduran atau kemajuan demokrasi di Indonesia.
Kritik ini kemudian menjelma menjadi sebuah nujum bahwa nasib elektoral Partai Demokrat akan ditentukan oleh ekses negatif dari terkonsentrasinya kekuasaan di satu tangan, menguatnya kecenderungan personalisasi, dan menebalnya pemeliharaan dinasti dalam organisasi partai. Akibatnya, terpilihnya Yudhoyono diduga membawa efek bumerang, yakni makin menyurukkan prestasi elektoral Partai Demokrat.
Sementara kritik dari luar menebarkan pesimisme, lain halnya dengan keyakinan yang tersebar di kalangan internal Demokrat. Tampilnya Yudhoyono di puncak partai justru diharapkan akan mendongkrak ulang capaian elektoral Demokrat, yakni mengembalikan kejayaan elektoral partai ini sebagaimana terjadi pada Pemilu 2009. Kita sebut saja ini sebagai efek elektoral Yudhoyono. Tapi jenis efek mana yang kelak akan terbukti benar?
Dua tesis efek Yudhoyono yang berlawanan ini memerlukan validasi empiris. Tentunya hasil pemilu kelak yang akan menjadi validasi terakhir. Namun kita bisa membuat perhitungan apa yang terjadi kelak dengan panduan logika dan sejumlah informasi yang kita miliki.
Efek Yudhoyono sesungguhnya bisa kita pecah menjadi beberapa rincian mekanisme. Pertama, kecenderungan pemusatan kekuasaan di Demokrat membawa efek buruk pada persepsi publik. Ini sama halnya dengan mengatakan bahwa meningkatnya konsentrasi kekuasaan dalam tubuh partai akan diikuti oleh memburuknya persepsi publik terhadap citra Partai Demokrat. Persepsi pemilih yang memburuk akan menyempitkan peluang Demokrat memperbaiki prestasi elektoralnya.
Kedua, mengentalnya citra Demokrat sebagai partai yang dikuasai Dinasti Cikeas juga membawa akibat jelek. Efek elektoralnya sama: pemilih akan makin menjauhi Demokrat karena mereka menganggap partai itu tak lebih dari perpanjangan Keluarga Cikeas. Ketiga, proses personalisasi di Demokrat juga menambah kesialan bagi partai tersebut.
Meskipun logika tersebut sangat persuasif, yang terjadi mungkin justru sebaliknya. Demokrasi internal partai bisa jadi tidak akan menjadi fokus perhatian pemilih.
Dulu Abdurrahman Wahid (Gus Dur), kemudian Megawati Soekarnoputri, dan kini Yudhoyono memiliki kemiripan dalam memusatkan partai. Dalam kasus Abdurrahman dan Megawati, kita tidak menemukan efek elektoral yang negatif dari pemusatan kekuasaan mereka. Lantas mengapa pemusatan kekuasaan Partai Demokrat di tangan Yudhoyono harus berefek negatif? Umumnya pemilih tidak mempedulikan urusan pemusatan kekuasaan atau demokratisasi internal partai sebagai bahan keputusan untuk memilih.
Hal yang sama berlaku untuk efek dinasti dan personalisasi. Gejala dinasti bukanlah gejala khas Keluarga Cikeas. Abdurrahman dengan Yenny Wahid serta Megawati dengan Taufiq Kiemas dan Puan Maharani adalah dua dinasti yang lain. Efek kedua dinasti ini tak bisa sepenuhnya menjelaskan naik-turunnya peruntungan elektoral Partai Kebangkitan Bangsa (dulu) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Lalu mengapa kita harus menerapkan logika berbeda terhadap kasus Dinasti Cikeas?
Derajat personalisasi kedua tokoh ini, ditambah Yudhoyono, sama belaka. Karena itu, sebenarnya tidak ada alasan bagi kita untuk membedakan personalisasi politik kepartaian pada Gus Dur, Megawati, dan Yudhoyono.
Kalau benar begitu, efek Yudhoyono bisa jadi menghasilkan dampak yang positif terhadap nasib elektoral Partai Demokrat kelak. Tentu kita semua tahu bahwa perilaku pemilih tidak dibentuk oleh faktor tunggal, dan faktor Yudhoyono hanya salah satu. Tapi ketokohan partai adalah salah satu faktor penting yang bisa menjelaskan perilaku pemilih Indonesia. Rata-rata pemilih menentukan pilihan partai setelah melihat pemimpinnya. Pertanyaannya, bagaimana efek Yudhoyono itu bekerja untuk mendongkrak ulang perolehan suara Partai Demokrat?
Survei Lembaga Survei Indonesia, Maret lalu, memberi informasi bahwa tingkat persetujuan publik terhadap kinerja Yudhoyono masih bertengger di angka 56 persen. Tingkat persetujuan ini tidak setinggi pada 2009, yakni di atas 80 persen.
Tapi modal personal Yudhoyono minimal bisa menahan laju penurunan suara Partai Demokrat dan mungkin mendongkrak naik lagi—meskipun tidak menjamin bahwa Demokrat bisa mencatat prestasi elektoral sespektakuler 2009.
Profil demografis pendukung Yudhoyono proporsinya lebih banyak di pedesaan dan dengan tingkat pendidikan menengah ke bawah lebih besar. Mereka yang tinggal di perkotaan dan dengan tingkat pendidikan semakin tinggi berkecenderungan semakin kritis terhadap Yudhoyono. Garis perang elektoral Yudhoyono dan Partai Demokrat, karena itu, berada pada garis pedesaan-perkotaan dan pada garis batas tingkat pendidikan pemilih.
Kritik gencar yang dialamatkan kepada Yudhoyono dan Demokrat tampaknya tepat dalam hal mengidentifikasi pentingnya bagi kita untuk melihat efek elektoral Yudhoyono terhadap Demokrat. Namun kritik meleset dalam menebak arah efek elektoral Yudhoyono.
*) Dosen Fisipol Universitas Gadjah Mada, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo