Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mohamad Ikhsan*
Apakah peningkatan dari suatu rantai produksi alias value chain seperti proses hilirisasi akan selalu memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi? Pertanyaan ini muncul mengingat banyak negara penghasil sumber daya alam memilih tetap mengekspor bahan mentah ketimbang mengolah lebih lanjut di dalam negeri. Pertanyaan ini pun sangat relevan buat kita karena banyak pihak mendesak pemerintah untuk mendorong hilirisasi di dalam negeri. Misalnya dalam industri pertambangan atau memaksa "swasembada" untuk setiap proses produksi hortikultura, pangan, dan peternakan.
Pilihan tersebut idealnya harus didasarkan pada analisis biaya-manfaat untuk melihat apakah kebijakan ini layak secara ekonomis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Analisis ini pada akhirnya akan menjawab apakah proses upgrading akan menghasilkan peningkatan pertumbuhan ekonomi (kesejahteraan masyarakat) atau tidak. Lebih luas lagi, analisis ini perlu dilengkapi dengan melihat dampaknya terhadap lingkungan hidup dan penurunan kemiskinan serta distribusi pendapatan.
Penggunaan analisis biaya-manfaat ini memunculkan perdebatan karena perhitungannya didasarkan pada data masa lalu. Ekonom Dani Rodrik dari Harvard atau pemenang Nobel ekonomi Michael Spence percaya bahwa keunggulan komparatif tidak bersifat statis, tapi dinamis. Keunggulan komparatif tidak bisa sekadar didasarkan pada sumber daya (endowment) yang dimiliki saat ini. Mengacu pada pengalaman negara Asia Timur—Jepang, Korea Selatan, dan Cina—ekspansi industri manufaktur tidak sepenuhnya berdasarkan endowment yang dimiliki, tapi melalui proses penciptaan basis sumber daya manusia yang terampil.
Studi yang dilakukan Yustin Yifu Lin—mantan Kepala Ekonom Bank Dunia dari Cina—bersama Vandana Chandra dan Yan Wang dalam Leading Dragon Phenomenon: New Opportunities to Catch-Up in Low Income Countries menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi merupakan proses berkelanjutan dari peningkatan industri dan teknologi yang disertai proses transformasi struktural. Negara-negara yang sukses dalam proses penciptaan nilai tambah ini mengadopsi comparative advantage following (CAF) strategies. Strategi CAF pada dasarnya memanfaatkan keunggulan sebagai pengikut (late-comer advantage) dalam pola angsa terbang. Industrialisasi yang sukses di Jepang mengikuti pola industri yang ditinggalkan oleh Amerika Serikat setelah Perang Dunia II. Negara-negara Asia Timur lainnya—Korea Selatan, Cina, ASEAN-4, dan belakangan ini Vietnam—mengikuti pola angsa terbang yang ditinggalkan Jepang.
Adapun negara Amerika Latin dan Asia Selatan gagal menerapkan pola angsa terbang karena mengadopsi apa yang disebut oleh Yustin Lin dkk sebagai comparative advantage defying (CAD) strategies. Strategi ini mengikuti paradigma strukturalis yang melakukan strategi substitusi impor yang sama dengan negara-negara industrialis. Strategi ini dilakukan dengan mengandalkan pasar domestik yang sempit dan melalui proteksi perdagangan serta overvaluasi nilai tukar. Negara-negara Asia Timur juga menganut strategi substitusi impor tapi memastikan bahwa komoditas yang dipilih untuk diproteksi benar-benar memiliki keunggulan komparatif yang laten. Kombinasi antara strategi promosi ekspor dan substitusi impor terpilih ini memungkinkan negara-negara Asia Timur mempercepat pembangunan ekonominya untuk memperkecil kesenjangan pendapatan dengan negara-negara industri lama.
Artikel teoretis dari Diop dan Laabidi (2013) mencoba melihat dampak proses peningkatan dalam rantai produksi terhadap pertumbuhan ekonomi. Kesimpulannya adalah, pertama, dampak ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi, yang telah menjadi topik hangat di kalangan ekonom selama bertahun-tahun, tidak selalu positif. Dampak ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi baru akan positif jika porsi dari nilai tambah yang berasal dari input domestik relatif besar terhadap nilai ekspor. Jika porsi input yang berasal dari impor tinggi, dampaknya terhadap pertumbuhan akan berkurang dan akan sukar bagi negara tersebut untuk menjadikan ekspor sebagai mesin pertumbuhan ekonomi.
Kedua, riset mereka juga menemukan optimisasi di tingkat perusahaan—maksimumkan keuntungan—akan konsisten dengan tujuan peningkatan nilai tambah di tingkat makro tergantung ketersediaan input domestik dan barang antara yang kompetitif. Aglomerasi industri pada dasarnya merupakan solusi dari mekanisme pasar untuk menciptakan pasar input domestik dan input antara yang efisien.
Argumentasi ini menjawab fenomena beberapa negara yang memilih tetap mengekspor dalam bentuk mentah, seperti Australia dan negara Eropa Utara. Perhitungan independen di Australia menunjukkan, setelah memperhitungkan dampak lingkungan, hilirisasi akan menghasilkan dampak ekonomi yang negatif. Hilirisasi ini akan mendorong peningkatan impor input antara lainnya termasuk impor barang modal (mesin) dan impor bahan baku lain.
Jika margin keuntungan pada industri hilir tidak terlalu besar, secara ekonomis kegiatan hilirisasi tidak menarik dikembangkan lebih lanjut. Fenomena ini juga terlihat pada industri pengilangan minyak, yang margin pengolahannya tergolong sangat rendah. Industri ini hanya layak secara ekonomi jika dikembangkan secara integratif dengan produk kimia lain. Tak mengherankan bila perkembangan industri pengilangan minyak di Indonesia berhenti pada tingkat MOU saja. Calon investor biasanya meminta tax holiday. Jika tax holiday diberikan tanpa spillover effect di masa mendatang, dapat dipastikan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi akan minimal.
Di sektor pertanian pun fenomena peningkatan rantai produksi tidak banyak berbeda. Transformasi struktural telah mendorong perubahan dalam sisi permintaan. Ada perubahan permintaan berkat peningkatan pendapatan per kapita ke arah makanan dengan kandungan protein hewani dan meninggalkan makanan dengan kandungan karbohidrat. Pada saat yang sama, konsumen semakin cerewet dengan kualitas. Perubahan ini menuntut modernisasi dalam setiap proses pada rantai penawaran ini. Kegiatan-kegiatan yang sebelumnya dikelola secara tradisional memerlukan transformasi ke arah pengelolaan yang lebih modern.
Apa implikasinya bagi kita? Pertama, kebijakan pemerintah untuk melakukan penciptaan nilai tambah dengan proses hilirisasi tidak bisa disamaratakan untuk semua produk dan komoditas. Walaupun kita kaya akan bahan baku, tidak berarti kita akan mampu menghasilkan produk akhir yang bisa bersaing. Kemampuan kita menghasilkan produk yang bersaing bergantung pada ketersediaan input domestik dan input antara yang efisien. Hal ini konsisten dengan riset LAPI-ITB yang menemukan hasil berbeda untuk proses hilirisasi tembaga dan nikel di Indonesia. Temuannya: hilirisasi tembaga dengan pembangunan smelter kurang ekonomis, sementara untuk pembangunan industri pengolahan nikel memiliki nilai ekonomis yang memadai.
Kedua, analisis harus dilakukan secara komprehensif untuk setiap komoditas dengan mempertimbangkan keunggulan komparatif pada setiap kegiatan dalam supply chain. Tidak semua kegiatan dalam rantai penawaran ekonomis untuk dikembangkan. Proses produksi semua komoditas kini mengikuti pola spesialisasi yang horizontal. Produksi iPad, misalnya, melibatkan proses produksi di banyak negara—Amerika, Jepang, Cina, Taiwan, dan Jerman. Serupa pula dalam supply chain kedelai di Cina. Negeri Tembok Raksasa itu pada 1990-an masih menjadi eksportir, tapi kini berubah menjadi importir kedelai terbesar dunia. Mereka melepaskan status eksportir karena merasa kehilangan keunggulan komparatif pada produksi kedelai dibandingkan dengan Brasil, Argentina, dan Amerika. Cina memilih mengembangkan produk akhir berbasis kedelai (impor) yang dapat menciptakan nilai tambah lebih tinggi.
Dalam kasus kita, pengembangan daging sapi yang permintaan potensialnya di pasar domestik meningkat tajam dewasa ini dan mendatang perlu mengikuti prinsip serupa. Beberapa studi menunjukkan bahwa kita mempunyai keunggulan termasuk dengan Australia dalam penggemukan sapi, bukan untuk semua kegiatan. Poin pentingnya adalah walaupun input antara domestik tidak tersedia, kita tetap bisa menghasilkan produk akhir (diproduksi di pasar domestik) jika kita dapat mengidentifikasi kegiatan dalam supply chain yang memiliki keunggulan komparatif dan menjamin akses terhadap input antara (termasuk impor) yang efisien.
Terakhir, proses penciptaan nilai tambah ini menuntut dukungan sektor logistik yang efisien. Carlos Ghosn, CEO Nissan Motor, pernah bercerita kepada Wakil Presiden Boediono bahwa, di tingkat pabrikan, biaya produksi di Indonesia lebih murah dibanding di Thailand. Tapi, begitu sampai di pelabuhan, nilai keunggulan biaya ini hilang begitu saja karena biaya logistik yang mahal. Penting bagi pemerintah untuk berfokus mendorong pembangunan sektor logistik yang efisien melalui peningkatan anggaran untuk pembangunan infrastruktur dan pengembangan pasar logistik domestik yang kompetitif.
*) Guru besar ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo