Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bambang Widjojanto diam, mungkin sungkan. Abdullah Hehamahua tak bersuara. Begitu juga Abdul Mukhtie Fadjar dan Tumpak Hatorangan Panggabean. Hanya Ketua Komite Etik Anies Baswedan yang kemudian mengajukan pertanyaan kepada ¡±terperiksa¡±: Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad.
Di tempat kerja Komite, lantai tiga gedung komisi antikorupsi, akhir Maret lalu, Samad bersumpah tidak membocorkan konsep surat perintah penyidikan Anas Urbaningrum. Ia juga merasa dipojokkan dalam pengusutan kebocoran dokumen pada 8 Februari 2013 yang dilakukan Komite beranggotakan lima orang itu.
Anies kemudian meminta BlackBerry milik Samad, untuk disedot datanya. Tujuannya mencocokkan pernyataan-pernyataan Samad yang terekam dalam telepon Wiwin Suwandi, sekretarisnya, tentang penyidikan kasus pemberian mobil Harrier dengan tersangka Anas. Sang Ketua menolak. Anies kemudian menyatakan, ¡±Komite Etik akan menyampaikan penolakan ini kepada publik.¡±
Begitulah, pada sidang terbuka Rabu pekan lalu, penolakan Samad untuk menyerahkan BlackBerry itu tercantum dalam putusan yang dibacakan bergantian oleh lima anggota Komite. Sidang ini merupakan klimaks dari heboh bocornya konsep surat perintah penyidikan, beberapa hari sebelum Anas Urbaningrum ditetapkan sebagai tersangka pada awal Februari.
Komite memutuskan Samad melanggar kode etik Komisi Pemberantasan Korupsi tingkat sedang dan, karena itu, perlu diberi peringatan tertulis. Adapun Adnan Pandu Praja, Wakil Ketua Komisi yang meneken konsep surat perintah penyidikan dan belakangan mencabutnya, dinyatakan melakukan pelanggaran ringan dengan sanksi peringatan lisan.
Adalah Wiwin Suwandi tertuduh utama kebocoran dokumenyang sebenarnya tidak masuk klasifikasi rahasia itu. Menjadi sekretaris Samad sejak 2011, ia pun dipecat Dewan Pertimbangan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi pada 22 Maret 2013. ¡±Saya menyesal karena ceroboh,¡± katanya kepada Tempo, Rabu malam pekan lalu.
HAMPIR setahun Komisi Pemberantasan Korupsi meneliti keterlibatan Anas dalam dugaan korupsi proyek Hambalang. Sejak Juli 2012, Anas, yang waktu itu memegang kepemimpinan Partai Demokrat, bolak-balik diperiksa. Ia diminta menjelaskan penerimaan mobil Toyota Harrier yang diduga berasal dari PT Adhi Karya Tbk, kontraktor pembangunan Hambalang.
Anas diduga menerima mobil pada September 2009. Surat-surat mobil baru keluar pada November tahun yang sama. Muhammad Nazaruddin, bekas Bendahara Umum Demokrat, juga menuduh Anas mendalangi korupsi proyek senilai Rp 1,2 triliun itu. Pada 31 Oktober 2012, lima komisioner dan para penyidik menyimpulkan penyelidikan kasus Anas bisa dinaikkan ke tahap penyidikan. Tapi mereka memberi catatan agar perkara ini dikaitkan dengan status Anas sebagai penyelenggara negara.
Anas berkali-kali membantah menerima suap mobil Harrier. Ia beralasan mobil diterima pada 12 September 2009, sebelum ia dilantik menjadi anggota Dewan, 1 Oktober 2009. Akhirnya, disepakati, masa penyelidikan kasus Anas diperpanjang. Gelar perkara korupsi Hambalang kembali dilakukan pada 23 November 2012, yang kemudian memutuskan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng sebagai tersangka. Dalam rapat yang sama disimpulkan perlu keterangan ahli hukum perdata untuk menguatkan kasus Anas.
Pada 1 Februari 2013, Komisi membentuk tim kecil untuk mencari pertimbangan dari ahli hukum pidana dan tata negara. Tim lalu terbang ke Yogyakarta, menemui pakar hukum pidana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Edward Omar Sharif Hiariej. Anggota tim lain bergabung ke Bandung bertemu dengan Asep Warlan, pakar hukum dari Universitas Parahyangan. Dihubungi pekan lalu, Edward menolak berbicara karena terikat perjanjian kerahasiaan.
Yang jelas, kedua ahli memberikan pernyataan yang menguatkan. Edward menyatakan penerimaan mobil dihitung ketika diterima secara fisik. Penyelesaian surat dianggap sebagai rangkaian penerimaan mobil. Walaupun pada September belum dilantik, sudah ada pengumuman Komisi Pemilihan Umum bahwa Anas terpilih menjadi anggota Dewan. Adapun Asep berpendapat Anas dianggap sebagai penyelenggara negara ketika surat keputusan presiden terbit pada 15 September 2009. Adapun penerimaan mobil dihitung ketika surat-surat selesai pada November 2009.
Mengantongi keterangan dua saksi ahli tersebut, tim kecil penyidik Komisi menggelar ekspose membahas pendapat hukum itu pada 7 Februari 2013. Mereka berkesimpulan, sudah cukup kuat bukti menjerat Anas. Seusai rapat, Deputi Penindakan Warih Sadono menemui Samad di ruangan kerjanya, mengabarkan hasil rapat. "Kalau demikian, segera buat administrasinya," kata Samad.
Samad berjanji mengabarkan penetapan itu kepada dua pemimpin lain: Bambang Widjojanto, yang sedang ada di Singapura, dan Busyro Muqoddas, yang berada di Medan. Ketika draf surat penyidikan itu sampai ke mejanya, Samad melihat sudah ada paraf dua komisioner lain, Zulkarnain dan Adnan Pandu Praja, di lembar disposisi persetujuan.
Setelah penekenan, di grup BlackBerry pimpinan Komisi ada pembahasan tentang status baru untuk Anas itu. Samad mengingatkan kembali hasil rapat pada 31 Oktober. Busyro menimpalinya agar status tersangka Anas tidak perlu buru-buru ditetapkan. Adapun Bambang tak berkomentar. Ia berasumsi Samad akan meneken surat setelah empat pemimpin lain lengkap memberi paraf disposisi. Nyatanya, Samad meneken malam itu juga.
Samad lalu meminta Wiwin memindai surat yang telah diteken tiga pemimpin KPK. Sang sekretaris melakukannya pada malam itu pukul 20.27—seperti terekam dalam alat pemindai Fuji Xerox Docuprint CM205F. File hasil pemindaian diberi nama "Persekot Medan.pdf". Kepada Komite Etik, dengan malu, Wiwin mengaku salah memberi nama file—ia tak sengaja menimpa laporan pertanggungjawaban keuangan perjalanan dinas bosnya ke Medan.
Wiwin mencetak file itu pada pukul 20.29 dan menyerahkan hasilnya kepada Samad. Semenit kemudian, ia memindai surat yang sama yang kemudian dicetak pada pukul 21.46. Hasil cetakan ini ia simpan dalam laci.
Mantan aktivis pers kampus itu dilanda euforia: kasus Anas yang berlarut-larut mulai menemukan ujung. Ia pun perlu mengabarkannya kepada orang-orang yang dia kenal. "Hanya ingin status penyidikan Anas Urbaningrum segera diketahui publik," ujarnya memberi alasan.
Esok harinya, Wiwin mengambil berkas yang telah ia cetak dari lacinya. Kepada pengawas internal KPK, ia mengakui memberikan salinan dokumen itu kepada Tri Suharman, reporter Tempo, dan Rudi Polycarpus dari Media Indonesia pada 8 Februari malam. "Saya akui dan saya bertanggung jawab," kata pemuda 28 tahun ini.
Dalam pemeriksaan, kepada Wiwin, Komite Etik menunjukkan foto dia saat menyerahkan dokumen kepada Tri Suharman dan Rudi Polycarpus di Setiabudi Building. Dalam gambar itu, ketiganya sedang duduk. "Saya kaget. Artinya, saya diikuti penyidik KPK," ujar Wiwin kepada Tempo. Melihat foto itu, Wiwin tak berkutik.
Dokumen itu dimuat Koran Tempo pada edisi 9 Februari 2013 dan majalah Tempo pekan berikutnya. Portal Media Indonesia juga memuatnya, yang diteruskan situs Metro TV melalui akun Twitter. Imelda Sari, pegawai kantor Heru Lelono, anggota staf khusus Presiden, mencuit ulang berita itu di Twitter. Sejak itu, orang-orang dekat Anas menuding ada peran pembantu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam penyebaran dokumen ini.
Gerah dengan tuduhan itu, juru bicara Presiden, Julian Aldrin Pasha, menggelar jumpa pers. Ia menyatakan Imelda tak memperoleh dokumen itu, apalagi menyebarkannya kepada pers. Menurut Julian, Imelda hanya meneruskan berita tentang surat tersangka Anas di akun Twitter-nya. "Jadi, jelas, tak ada keterlibatan staf Istana dalam penyebaran surat tersangka itu," katanya.
Di Komisi Pemberantasan Korupsi, kegerahan juga melanda para pegawai ketika dokumen itu dimuat media. "Kami prihatin dengan isu beredarnya surat penyidikan yang belum disahkan seluruh pimpinan itu," ujar Johan Budi S.P., juru bicara Komisi. Menurut dia, ketika Koran Tempo menyiarkan salinan surat itu, Direktorat Pengawas Internal bergerak memeriksa alur surat dan menanyai beberapa pegawai.
Posisi Wiwin membuat kecurigaan juga dialamatkan kepada Samad. Pimpinan Komisi pun sepakat membentuk Komite Etik untuk menyelidiki kecurigaan itu. Komite dibentuk pada 22 Februari 2013. Anies Baswedan ditunjuk menjadi ketua. Bambang Widjojanto, yang dianggap tidak memiliki benturan kepentingan dalam bocornya dokumen, ditunjuk untuk mewakili unsur internal komisi antikorupsi.
Wiwin dimintai keterangan dan ia mengakui perbuatannya. Ia antara lain ditanya apakah kenal dan berkomunikasi dengan Imelda Sari. "Bagaimana saya bertelepon dengan Imelda? Tahu bentuknya saja tidak," katanya. Komite mengundang tim psikologi dari Universitas Indonesia guna menguji pernyataan Wiwin. Ia diminta menggambar pohon dan menjalani sejumlah tes konsistensi. Dua teleponnya pun disedot Komite untuk dibongkar data percakapannya. Tak ditemukan kontak dengan Imelda.
Percakapan telepon hanya tercatat dengan Tri Suharman ketika mereka akan bertemu di Setiabudi One Building, gedung di seberang Komisi. Dari data telepon Wiwin itulah diketahui Samad mengirim pesan kepada Tri ketika ditanya soal status hukum Anas. Isinya, "Jgnmi sebut Namaku dullu Soalx sy yg ambil alih kasus ini spy bisa jalan, sy pake kekerasan sdikit, makx sy tdk mau tambah runyam."
Oleh Tri, pesan itu dikirim kepada Wiwin, yang diteruskan kepada Irman Putra Sidin, dosen hukum tata negara Universitas Esa Putra Unggul, dan Alfons Kurnia Palma, Direktur Yayasan Lembaga Batuan Hukum Indonesia. Keduanya dikenal Wiwin karena sama-sama alumnus Universitas Hasanuddin, Makassar—kampus yang sama dengan Samad.
Kepada Komite, Samad mengakui kata-katanya kepada Tri. Tapi ia menolak menyerahkan teleponnya. "Saya bukan penjahat, mengapa mesti digeledah?" katanya memberi alasan.
Indikasi hubungan Samad dengan orang-orang politik bukannya tak ada. Menurut informasi yang diperoleh Tempo, Samad diketahui pernah menerima pesan pendek (SMS) dari I Gede Pasek Suardika, Ketua Komisi Hukum DPR dari Partai Demokrat. Ia menanyakan status koleganya dalam kasus Hambalang. Samad menjawabnya "belum tersangka".
Komite Etik menyimpulkan Pasek tidak memiliki hubungan dekat dengan Samad. Sebab, mereka berkomunikasi melalui SMS. Logikanya, menurut Anies, mereka yang berteman dekat akan bersapa melalui BlackBerry Messenger.
Awalnya juga sempat muncul gosip kedekatan Samad dengan Menteri-Sekretaris Negara Sudi Silalahi. Hubungan itu dikaitkan dengan mertua Samad, purnawirawan tentara, yang dikabarkan dekat dengan Sudi. "Tapi so what gitu loh? Ini pelintirannya terlalu jauh," Anies menjelaskan.
Cara lain ditempuh. Komite memanggil anggota Dewan Pembina Demokrat, Syarief Hassan. Kepada wartawan, beberapa hari sebelum dokumen tersangka Anas tersebar, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil-Menengah ini mengatakan, "Tunggu keputusan resmi saja," ketika ditanya soal status tersangka Anas.
Dari jawaban tersebut, ditafsirkan bahwa Syarief sudah tahu status hukum Anas itu sebelum dokumen beredar. Kepada Komite yang memeriksanya, Syarief mengatakan kalimatnya hanya jawaban normatif dan tak punya maksud apa pun. "Jadi kami sudah mengubek-ubek dan tak menemukan motif politis penyebaran dokumen itu," ujar Anies.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lega dengan pengumuman Komite Etik. Menurut Ketua Umum Partai Demokrat ini, tuduhan orang-orang dekat Anas bahwa stafnya turut serta menyebarkan dokumen penyidikan itu tak terbukti.
Ketika ditetapkan menjadi tersangka, Anas dan pendukungnya menuduh KPK menerima intervensi dari Istana. Karena tudingan ini, Yudhoyono sampai perlu meminta Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana mencari tahu kebenarannya. Denny lalu mengontak Bambang Widjojanto, menanyakan apakah benar KPK diintervensi. Jawabannya, tentu saja, tidak.
Menurut Anies, Samad kurang hati-hati secara administrasi. Ia menganggap, dalam perang melawan korupsi, ketertiban prosedur perlu dijaga. Tapi, kata dia, Samad tidak terbukti melakukan pelanggaran berat. Meski begitu, menurut Anies, dalam skala 1-3, tingkat hukuman Samad mencapai angka 2,5. "Ia dinyatakan melakukan pelanggaran sedang, tapi banyak sekali rekomendasi yang harus dijalankan," tuturnya.
Soal kadar pelanggaran ini sempat menjadi bahan perdebatan Komite Etik ketika menyusun putusan. Abdullah, misalnya, beranggapan Samad telah melakukan pelanggaran berat kode etik. Tumpak juga menyoroti sejumlah tindakan Samad di luar kebocoran dokumen, yang dianggap tak etis. Toh, tak ada argumentasi kuat untuk menyatakan ia perlu diberi kartu merah. Walhasil, Samad hanya memperoleh kartu kuning: peringatan tertulis.
BS/Bagja Hidayat, Widiarsi Agustina, Aryani Kristanti
Bocor Surat Ujung Perkara
Enam belas hari memeriksa 19 saksi, Komite Etik Komisi Pemberantasan Korupsi mengumumkan hasilnya, Kamis pekan lalu. Ketua KPK Abraham Samad dinyatakan melakukan pelanggaran sedang, sementara Wakil Ketua Adnan Pandu Praja pelanggaran ringan.
Komite Etik menyimpulkan kebocoran terjadi melalui Wiwin Suwandi, sekretaris Samad. Jauh sebelum surat bocor, lima pemimpin telah satu suara untuk menjerat Anas. Ia disangka menerima mobil Toyota Harrier dari perusahaan negara PT Adhi Karya.
31 Oktober 2012
23 November 2012
1 Februari 2013
7 Februari 2013
20.20
20.27
20.29
21.30
21.46
21.51
8 Februari 2013
Wiwin mengambil dokumen dan memberikannya kepada wartawan di Setiabudi Building.
22.48
9 Februari 2013
25 Februari 2013
Wiwin Suwandi
Abraham Samad
Adnan Pandu Praja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo