Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika konflik Gayus Tambunan versus Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum meledak, kita seolah dihadapkan pada sebuah arena perang. Genderang perang ditabuh ketika Satgas membidik kasus mafia pajak, dengan Gayus sebagai titik perhatian awal, untuk melihat siapa saja pemain atau perusahaan yang berpatgulipat dalam pembayaran pajak ke negara. Mengikuti vonis, perang makin berkecamuk saat Gayus memberikan pernyataan seusai sidang bahwa Satgas bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu merekayasa sejumlah hal dalam perkaranya.
Segera setelahnya, Denny Indrayana, staf khusus presiden yang ditugaskan dalam Satgas, melakukan serangan balik di media massa. Seraya membantah pernyataan Gayus, ia menyiarkan serial informasi untuk memperkuat serangannya.
Dalam waktu ringkas, Gayus berubah menjadi infamous celebrity, yakni pesohor yang tenar karena keburukannya. Ironisnya, ia adalah bandit, tapi mendadak jadi sumber informasi yang dikerumuni wartawan. Wajah Gayus yang terpampang di media, di mata sebagian orang, seolah membersitkan kredibilitas yang mengundang orang percaya.
Kasus Gayus adalah kasus hukum. Namun kasus ini justru mendemonstrasikan perkembangan politik Indonesia mutakhir, yakni menguatnya gejala personalisasi di panggung politik. Aktor-aktor individual yang memiliki sumber daya politik besar karena menduduki jabatan publik, atau karena pemilikan sumber daya ekonomi yang luar biasa, menjadi aktor sentral dalam proses politik. Apa konsekuensi dari perkembangan ini?
Personalisasi
Kita mengenal unit standar kekuatan politik yang umumnya bersifat kolektif, seperti partai politik, kelompok kepentingan, dan kelompok penekan. Pembicaraan tentang unit-unit politik ini mengandaikan bahwa kolektivitas lebih penting dan lebih menentukan ketimbang individu dalam kontestasi politik di berbagai arena. Ideologi partai yang mengikat kolektivitas jauh lebih penting dibanding ketuanya, dan agenda pencapaian isu yang diperjuangkan satu unit kolektivitas mengatasi agenda individual ketua atau anggotanya.
Normal pula kemudian jika kita melihat undang-undang politik di negara demokratik mana pun—termasuk Indonesia—yang diatur adalah partai politik, dan bukan politikusnya. Kalaupun ada aturan tentang kelompok kepentingan, yang diatur adalah organisasinya, dan bukan aktivisnya.
Cara pandang formal ini selalu ketinggalan oleh perkembangan di lapangan. Akhir-akhir ini, aktor sentral proses politik sedikit-banyak bergeser ke individu-individu politikus. Lebih khusus lagi pemimpin partai. Dan pergeseran atau proses personalisasi ini terjadi di tingkat elite dan publik sekaligus.
Di tingkat publik, orang semakin cenderung melihat kompetisi politik sebagai kompetisi politikus secara individual, bukan antarkepentingan kolektif yang terorganisasi. Lebih penting lagi, publik juga memiliki kecenderungan lebih menyandarkan pilihan politik mereka berdasarkan atribut personal politikus dan pemimpin partai. Ini tidak berarti bahwa isu kebijakan sama sekali tidak atraktif, tapi peran persuasifnya jauh berkurang.
Perbandingan Pemilihan Umum 1999 dan 2009 cocok sebagai ilustrasi penting gejala personalisasi politik ini. Sepuluh tahun yang lalu, kampanye dan fora diskusi publik serta media berisi perdebatan politik berbasis isu jauh lebih marak. Pilihan mengadopsi Piagam Jakarta atau mempertahankan Undang-Undang Dasar 1945, format negara federal dan kesatuan, gagasan tentang ekonomi kerakyatan bertaburan dalam kampanye. Pendeknya, gagasan dan ide menjadi jualan yang dianggap atraktif oleh partai untuk menarik dukungan pemilih. Partai pun menjalankan peran sentral dalam proses seleksi kandidat yang berhak berkantor di Senayan.
Sepuluh tahun kemudian, partai politik bermain dengan warna, jingle iklan, wajah dan atribut kandidat, serta penggunaan berbagai gimmick yang lebih menonjol dalam strategi kampanye. Isu-isu kebijakan semacam pemberantasan korupsi, kemiskinan, dan ekonomi kerakyatan tetap beredar di kampanye. Namun isu-isu semacam ini semakin surut digantikan oleh atribut dan karakter individual politikus.
Puncaknya, di tingkat elite, pada Pemilu Legislatif 2009, partai-partai politik beramai-ramai memasukkan artis dan para pesohor dalam daftar calon anggota legislatifnya. Pemimpin partai yang memiliki jabatan publik di kabinet menjadi jualan di kampanye. Karakter kepribadian mereka lebih banyak mendapat sorotan media massa ketimbang gagasan yang dibawanya.
Demikian pula yang terjadi dalam Pemilu Presiden 2009. Kepribadian para kandidat calon presiden dan calon wakil presiden dikupas panjang melampaui isu kebijakan yang ditawarkan. Maka perbendaharaan ungkapan politik dipenuhi dengan istilah psikologis, tipe kepribadian, atau komitmen perseorangan: pemimpin yang tegas, cepat, patriotik, nasionalis, lamban, peragu, berintegritas, berani, dan seterusnya.
Sumber yang bertanggung jawab atas proses personalisasi politik ini beragam. Perubahan sistem elektoral dari sistem daftar ke sistem daftar-terbuka jelas menyurutkan peran partai dalam seleksi kandidat. Perubahan ke sistem presidensial juga membawa akibat penonjolan individu dalam pemilu presiden. Selain itu, media massa—terutama televisi—memperkuat proses personalisasi politik. Media memerlukan sumber berita, tokoh sentral peliputan, dan personality yang menjadi fokus berita.
Efek personalisasi politik ini kemudian yang membuka peluang rekayasa dan perang informasi—yang dalam leksikon komunikasi politik dikenal dengan istilah spin doctoring. Narasi dan kontroversi kasus Gayus merefleksikan perkembangan baru ini. Pertama, ia memberikan ilustrasi lebih jauh terjadinya personalisasi politik; dan kedua, ia sekaligus memberikan demonstrasi proses spin.
Spin
Ketika tokoh individu berperan sentral dan menjadi gravitasi kompetisi politik, pemenangan kompetisi adalah strategi untuk mendiskreditkan lawan politik. Dengan kata lain, politics of personal destruction dipakai sebagai mode untuk pemenangan politik. Di level eksekusi di lapangan, politik destruksi ini mengambil aneka bentuk. Kampanye negatif adalah salah satunya. Ini dikenal juga dengan mode pembunuhan karakter lawan politik.
Ketika Gayus memberikan pernyataan di depan kamera televisi bahwa anggota Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (dan Pajak), Denny Indrayana dan Mas Achmad Santosa, melakukan sejumlah rekayasa dalam kasusnya, pernyataan Gayus jelas bertujuan menyerang kredibilitas dua anggota Satgas itu.
Sebaliknya, ketika Denny mengunggah foto paspor mirip Gayus di Twitter, ia melakukan dua hal. Pertama, ia menghantam lebih jauh kebobrokan Gayus, dan berperang dengan cara ofensif.
Spin politik dalam kasus Gayus berputar lebih luas. Saat Denny menyiarkan klaim percakapannya dengan Aburizal Bakrie di Bendungan Jatiluhur beberapa bulan lalu, ia tampak mengungkap lapis lain kasus Gayus. Percakapan itu menyenggol tiga perusahaan yang mengimplikasikan milik Aburizal Bakrie yang memiliki masalah pajak. Sebelumnya, Denny bersama anggota Satgas bertemu dengan Presiden Yudhoyono. Ia menyatakan bahwa Presiden mempercayai kerja Satgas.
Rangkaian spin politik ini seolah menunjukkan bahwa Denny dan Gayus adalah proxy, yakni tokoh-tokoh yang bertindak untuk orang lain. Dengan demikian, anggota partai di parlemen bisa jadi juga aktor yang bertindak untuk orang lain.
Spin bukanlah melulu kebohongan. Tapi mirip iklan, spin politik menyoroti fakta yang menguntungkan dan mengaburkan atau mengabaikan fakta yang merugikan. Jadi mirip yang dilakukan oleh para lawyer—penuntut umum dan pembela sebuah kasus hukum.
Dalam banyak hal, spin politik mirip persuasi. Perbedaannya, persuasi berfokus pada isu dan argumentasi, sedangkan spin lebih mengarah pada urusan personal dan penghancuran kredibilitas lawan-lawan politik. Perbedaan lainnya lagi, spin politik tidaklah bersifat spontan, melainkan dirancang dengan penuh perhitungan. Meminjam istilah yang dikenalkan George Stephanopoulos, anggota tim kampanye Bill Clinton pada 1992, yang menangani perang informasi selama kampanye, strategi spin dirumuskan di markas yang disebutnya sebagai war room. Setiap kelemahan lawan diincar, dikelola, diberi angle, dan disebarkan. Ukuran sukses adalah seberapa luas sebuah spin politik diliput oleh media dan diketahui lebih banyak khalayak.
Konsekuensi
Sebagai sebuah perkembangan empiris, personalisasi politik dan penerapan spin politik di Indonesia telah dan tengah berlangsung. Ini bukan gejala unik Indonesia karena demokrasi di negara-negara maju juga mengalami perkembangan yang sama. Namun perkembangan mode kompetisi politik yang berbasis individu dan perang informasi ini membawa risiko.
Perdebatan substantif atas isu-isu kebijakan yang seharusnya dilakukan secara jernih dan jujur semakin sulit berkembang. Di samping itu, gerakan kolektif yang terkoordinasi untuk mewujudkan barang publik semakin sulit dilakukan. Dan yang lebih buruk lagi, sinisme publik niscaya muncul dan mendorong publik semakin menjauhkan diri dari urusan politik. Dan partai politik bisa jadi akan semakin kehilangan kepercayaan publik karena partai ternyata lebih kecil daripada para pemimpinnya.
Dodi Ambardi
Dosen di Fisipol Universitas Gadjah Mada, Direktur Lembaga Survei Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo