Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada dekade 1980, warga RT 09 RW 003, Lapangan Belalang, Kompleks Zeni Angkatan Darat Rawa Jati, Pancoran, Jakarta Selatan, mengenal Bahasyim Assifie sebagai wartawan foto. Setiap berangkat kerja, pria yang kini berusia 58 tahun itu selalu menenteng kamera dan mengendarai sepeda motor. Dia biasa berangkat pagi dan pulang menjelang langit gelap. ”Baru belakangan saja kami tahu dia pegawai pajak,” kata Wawan, ketua RT setempat, kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Seingat Wawan, tanda-tanda ”kemakmuran” Bahasyim terlihat pada 1990-an. Pada 1995, misalnya, warga mendengar Bahasyim ”meresmikan” rumah barunya di Perumahan Jaka Permai, Bekasi Barat. Adapun rumahnya di Rawa Jati, yang awalnya sederhana, diubahnya jadi bangunan berlantai tiga. Rumah senilai Rp 1,5 miliar itulah yang sekarang ditempati istri Bahasyim bersama anak pertama mereka, Kurniawan.
Bahasyim belakangan diketahui ternyata juga memiliki rumah di Jalan Cianjur 7, Menteng, Jakarta Pusat. Rumah itu dibelinya pada 1987. Di wilayah elite ini, pada 2004 dia lagi-lagi membeli rumah di Jalan Cicurug seharga Rp 9 miliar. Nilai pasaran kedua rumah Bahasyim di Menteng itu kini masing-masing sekitar Rp 25 miliar.
Kepada Tempo, Robin, petugas keamanan di kawasan Jalan Cicurug, berkisah bahwa Bahasyim menempati rumahnya di Jalan Cicurug sejak 1995. Tapi, saat kasusnya mencuat, rumah itu ditinggalkan. Kini rumah Bahasyim itu hanya ditunggui seorang penjaga.
Kekayaan Bahasyim juga ada di Tapos, Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Di kawasan ini ia memiliki 12 hektare tanah yang dimanfaatkan sebagai tempat bisnis pengolahan ikan. Di atas tanah atas nama anak Bahasyim itu juga berdiri rumah mewah tiga lantai. Terletak hanya 500 meter dari pintu tol Cimanggis, harga rata-rata tanah di sana Rp 1,2 juta per meter persegi.
Kepada Tempo, seorang pensiunan pegawai pajak yang kenal betul dengan Bahasyim bercerita, di kalangan rekan-rekannya, Bahasyim memang dikenal kerap mendekati wajib pajak yang datang ke kantor pajak. ”Dia semacam makelar kasus,” kata sumber Tempo ini.
Bahasyim membantah jika harta yang diperolehnya itu hasil korupsi. Rabu pekan lalu, seusai sidangnya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, wartawan Tempo Wahyu Muryadi, L.R. Baskoro, Ramidi, dan Erwin Dariyanto mewawancarai Bahasyim perihal tuntutan atas dirinya dan jumlah harta yang luar biasa untuk ukuran pegawai negeri, sekalipun itu golongan IV, seperti dirinya.
Harta Anda ini banyak sekali. Dari mana sumber duit Anda itu?
Semua saya peroleh dari cara halal. Saya sudah mulai berbisnis sejak SMA dengan membuka usaha taksi di Surabaya. Pindah ke Jakarta saya teruskan dengan membuka usaha taksi di Stasiun Gambir. Saya juga buka usaha jual-beli motor, studio foto, jual-beli perhiasan, terakhir jual-beli rumah dan tanah. Semua keuntungan saya tabung.
Saya juga menginvestasikan dana di asuransi. Yang paling banyak di Bank BNI. Itu atas nama ibu dan anak-anak. Fund manager-nya orang Bank BNI. Itu jelas ada di berita acara pemeriksaan. Awalnya pada 2004 Rp 32 miliar, lalu dikelola, menjadi Rp 64 miliar.
Kabarnya, harta Anda sampai Rp 800 miliar?
Jaksa hanya melihat arus masuk ke rekening, tanpa melihat arus keluar dan saldo. Kalau hanya dilihat arus masuk, malah sampai Rp 2 triliun. Tapi harta saya cuma Rp 64 miliar.
Jaksa meragukan kekayaan Anda dari hasil bisnis?
Silakan. Tapi buktikan kalau harta saya hasil tindak pidana. Waktunya kapan, di mana melakukannya.
Sebab jaksa menuding Anda tidak bisa menunjukkan dokumen badan usaha Anda?
Dokumen ada semua. Tapi jaksa bilang itu tidak otentik. Tidak otentik di mananya? Padahal ada keterangan dari Bank BNI (kepada Tempo, Bahasyim menunjukkan sejumlah dokumen tebal). Yang bisa membaca ini memang orang keuangan.
Anda juga memiliki aset di Tapos, Depok?
Itu usaha anak saya. Tidak ada sangkut-pautnya dengan kasus saya.
Soal rumah Anda di Menteng, Bekasi, dan Depok?
Itu bagian dari usaha saya bekerja sama dengan almarhum kakak saya. Usaha utama saya adalah jual-beli properti. Saya beli rumah, saya renovasi, kemudian saya jual kembali. Memang butuh waktu lama. Setelah bagus, rumah itu baru saya jual.
Jaksa kini menuntut Anda hukuman 15 tahun penjara. Anda disebut melakukan korupsi dan pencucian uang.
Saya ini dizalimi. Dituntut 15 tahun dengan tuduhan melakukan pencucian uang, lha predicate crime-nya saja tidak jelas. Tuduhan pada saya memang dua. Pertama korupsi, yakni dalam kasus dengan Kartini Mulyadi. Ini sebenarnya soal bantuan dia, tidak ada hubungannya dengan jabatan saya. Lagi pula, secara yurisdiksi, kedudukan kantor Kartini di wilayah Jakarta Selatan, sementara saya menjabat Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta VII, yang wilayah kerjanya Jakarta Barat. Jadi, tak ada hubungannya dengan Kartini.
Menurut jaksa, Anda memeras Kartini Mulyadi Rp 1 miliar.
Buktikan kalau saya memeras. Saya ditelepon Kartini. Beliau berniat membantu usaha anak saya. Membantu di sini artinya pinjaman. Waktu itu saya tawarkan investasi saja, tapi Kartini menolak. Uang itu sudah saya kembalikan, ada tanda terimanya.
Jika benar begitu, kenapa Kartini bikin pernyataan bahwa Anda yang meminta?
Di berita acara pemeriksaan polisi, Kartini mengaku terpaksa memberi karena khawatir saya mempersulit kasus dia. Mempersulit apa? Tidak ada yang saya persulit.
Kami mendengar ada jaksa yang mendekati Anda dalam kasus Anda ini?
Tidak. Saya juga tidak tahu nomor telepon jaksa-jaksa itu. Saya sendiri kan sedikit-banyak melek hukum. Saya tidak mungkin melakukan perbuatan yang membuat hidup saya berbahaya.
Atau keluarga Anda yang mendekati jaksa?
Tidak, keluarga saya tidak agresif untuk itu.
Anda melakukan kongkalikong dengan jaksa sehingga tuntutan Anda ditunda tiga kali?
Teman saya tuntutannya ditunda sampai lima kali tidak ada yang ribut. Saya cuma tiga kali sudah dipersoalkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo