Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tadi malam saya baca satu adegan dalam hidup Antonio Gramsci. Pada senja hari 8 November 1926, tokoh Partai Komunis ini ditangkap pemerintah Fasis Italia, dan dua tahun kemudian hukuman 20 tahun penjara dijatuhkan. Hari itu jaksa berkata, "Untuk selama 20 tahun harus kita hentikan otak ini berfungsi."
Banyak cara buat menghentikan pikiran, banyak penjara dan bukan penjara, terkadang efektif, terkadang gagal. Penegak hukum itu gagal. Setelah disekap dalam sel Regina Coeli di Roma, Gramsci akhirnya dikurung di penjara Turi, hampir di ujung selatan Italia, dengan kesehatan yang kian memburuk. Ia meninggal karena perdarahan di otak pada umur 46 tahun, 27 April 1937. Namun kemudian diketahui, dari 11 tahun di dalam sel sendirian itu lahir ribuan catatan, berisi pikiran-pikirannya, di samping sekitar 500 pucuk surat untuk keluarga dan teman-temannya.
Catatan-catatan itu kemudian dikumpulkan dalam tiga jilid (versi Inggrisnya: Prison Notebooks) yang kemudian jadi sumber yang segar dalam perdebatan tentang revolusi dan Marxisme. Memang ada jaksa dan Mussolini, tapi tak ada kurungan pikiran bagi Gramsci. Meskipun tak dengan sendirinya ada kemerdekaan.
Catatan-catatannya baru bisa diterbitkan dengan leluasa beberapa tahun setelah Perang Dunia II. Di sana tampak kemampuannya secara orisinal meninjau pokok-pokok Marxisme—di samping kita temukan renungannya tentang hal-hal lain, tentang bahasa, misalnya. Namun semua itu baru diketahui luas setelah Stalin meninggal. Sebelumnya, teman-teman seperjuangannya menyiarkannya dengan hati-hati. Bukan hanya karena rezim Mussolini. Hubungan Gramsci dengan Stalin, pengendali gerakan komunisme internasional yang bertakhta di Kremlin, tak selamanya lurus. Pemimpin PKI (Partai Komunis Italia) yang lain, termasuk Togliatti, kawan dekatnya sejak satu sekolah, bisa dengan jinak menerima titah dari "pusat". Gramsci tak bisa patuh pada saat ketika ia harus patuh. Andai tak dipenjarakan Mussolini, ia mungkin akan dihabisi Stalin seperti ratusan orang revolusioner lain.
Barangkali karena ada dua sosok Gramsci. Keduanya bisa dibedakan, tapi tak terpisahkan. Sejarawan Marxis Eric Hobsbawm pernah menulis: berbeda dengan Lenin, Gramsci seorang intelektual sejak awal. Ia "seseorang yang hampir-hampir secara fisik tergugah hanya karena daya tarik ide-ide". Dalam tergugah, tak ada yang bisa memerintah. Tapi pada saat yang sama, ia pemimpin Partai. Partai adalah ide, program, kerja, disiplin. Ia, seorang Marxis sejati, yang selalu berada di tengah konfrontasi, tak hanya hendak menafsir dunia, tapi juga mengubahnya. Ia memihak. Vivo, sono partigiano. "Aku hidup, aku seorang partisan. Aku merasakan denyut aktivitas negeri masa depan yang dibangun mereka yang berdiri di pihakku."
Seorang partisan sering harus meringkas ide jadi doktrin dan mengemas doktrin jadi pedoman. Peta masa depan harus dibuat jelas, langkah harus dibikin pasti. Gramsci tentu pernah lebih memilih cara yang efektif itu ketimbang melanjutkan pemikiran yang dalam.
Tapi tak selalu demikian agaknya. Ia bisa berubah sebagaimana tafsir tentangnya berubah. Februari 1934, di sebuah berkala Partai seseorang melukiskan profil Gramsci dengan kagum—tapi memperlihatkannya sebagai penyabar yang selalu mempertanyakan segalanya, seperti Sokrates. Ia, kata sang penulis, bukan jenis tokoh Partai yang selalu cepat memberi jawab. Dengan kata lain, bagi Gramsci, tak selalu ada jawab yang siap pakai.
Tulisan itu tampaknya satu kritik terselubung terhadap kecenderungan PKI yang makin doktriner. Tak mengherankan sang penulis dengan segera dikecam. Bagi para pembesar Partai, Gramsci bukan seorang Sokrates yang bertanya. Dalam kegalauan ideologis masa itu, ketika di Moskow Stalin mengubah dasar-dasar yang ditegakkan Lenin, PKI harus punya Gramsci yang stabil.
Tapi dalam selnya, Gramsci merasa ada yang bisa berubah dalam dirinya:
Aku merasa, andaikata aku dibebaskan dari penjara sekarang, …[A]ku akan terus hidup dengan otakku semata-mata... melihat orang-orang, bahkan yang seharusnya kuanggap dekat, bukan sebagai makhluk yang hidup, melainkan sebagai teka-teki yang harus dipecahkan….
Bertahun-tahun terasing dari gemuruh perdebatan dan keasyikan kebersamaan, seorang pemikir memang mudah terseret ke dalam sunyi Cartesian: liyan akan hanya hadir sebagai obyek analisis. Manusia ada untuk dirumuskan. Doktrin akan kian menentukan pandangan sang pemikir, bukan hubungan yang tak terduga antarmanusia.
Bagi Gramsci, di situlah kematian seorang pejuang revolusi. "Berapa kali aku bertanya-tanya sendiri, bagaimana mungkin menjalin hubungan dengan orang banyak ketika kita tak pernah punya simpati yang kuat kepada siapa pun, bahkan kepada orang tua kita sendiri: seakan-akan kita sanggup punya kebersamaan sementara tak ada orang-orang yang mencintai kita."
Mencintai dan dicintai sering jadi banal dan tak pernah disebut dalam teori revolusi. Tapi kita ingat Gramsci dalam sel: menulis, menulis, menulis. Ia menjangkau mereka yang bukan obyek analisis yang bisa dirumuskan. Tiap kata yang ia pakai mengandung ucapan orang lain yang entah di mana pernah memakainya dan akan memakainya. Kata adalah kesepakatan, benturan, kesalahpahaman, pergulatan. Tak bisa sendiri. Bahasa, meskipun memihak, bisa hanya sepihak. Ia bukan produk ketidakpedulian.
"Aku benci ketidakpedulian," tulisnya. "Ketidakpedulian dan apati sama dengan benalu, sikap pengecut."
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo