Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UNGKAPAN semacam “rumput tetangga memang lebih hijau” sering kali muncul ketika orang melihat pihak lain tampak lebih baik. Ungkapan ini kini kembali muncul, misalnya, ketika tim negara lain mengumpulkan medali emas lebih dulu atau lebih banyak dalam Olimpiade 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kalimat “rumput tetangga memang lebih hijau” sebagai idiom jauh lebih populer daripada makna harfiahnya. Akibatnya, muncul masalah bila yang dimaksud adalah makna denotatifnya. Itu terjadi ketika di luar jam kuliah dulu saya membantu memotong rumput rumah di seberang kampus. Saya menulis di Facebook: “Selesai kuliah, harus membantu memotong rumput tetangga yang memang lebih hijau.” Sontak ungkapan ini ditanggapi sebagai idiom oleh beberapa sahabat. Tidak mudah meyakinkan mereka bahwa ini adalah ungkapan denotatif dan bukan ungkapan konotatif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Idiom “rumput tetangga memang lebih hijau” bukan monopoli bahasa Indonesia. Idiom serupa dapat ditemukan di berbagai bahasa Eropa dalam beragam variasi. Orang Inggris mengatakan “the grass is greener on the side (of the fence)” (“Rumput di seberang [pagar] lebih hijau”). Orang Prancis mengatakan “L’herbe est plus verte chez le voisin” (“Rumput tetangga lebih hijau”). Orang Jerman mengatakan “Die Kirschen in Nachbars Garten schmecken immer süßer” (“Buah ceri di kebun tetangga rasanya selalu lebih manis”). Selain itu, orang Jerman mengatakan “Das Grass ist grüner auf der anderen Seite” (“Rumput di sisi seberang lebih hijau”). Orang Belanda mengatakan “Het gras aan de andere kant van de heuvel is altijd groener” (“Rumput di seberang bukit lebih hijau”).
Publius Ovidius Naso, sastrawan Romawi di masa Julius Caesar yang terkenal sebagai Ovid, menggunakan idiom “Fertilior seges est alienis semper in agris, vicinumque pecus grandius uber habet” di dalam Ars Amatoria. Artinya kurang-lebih “Lebih berlimpah panenan di ladang orang, begitu pula tetangga memiliki ternak yang lebih banyak”. Idiom ini diterjemahkan dan sekaligus diperpendek di dalam bahasa Inggris menjadi “The harvest is richer in another man’s field”. Secara sepintas, idiom ini dipakai sebagai sebuah ungkapan iri hati, tapi Ovid sebenarnya menggunakannya sebagai otokritik untuk bekerja lebih keras.
Secara garis besar, idiom-idiom di atas mengungkapkan ketidakpuasan terhadap apa yang sudah dimiliki atau apa yang sudah dilakukan. Maknanya pun cukup luas dan dapat ditafsirkan bermacam-macam, dari iri hati sampai otokritik.
Bagaimanakah penggunaan idiom tersebut di dalam bahasa Indonesia? “Rumput tetangga memang lebih hijau” cenderung dikaitkan dengan urusan asmara, sensualitas, dan seksualitas. Godaan dan rasa cemburu adalah nuansa semantik dari idiom ini. Terjadi penyempitan makna menjadi konotasi negatif yang melekat pada idiom ini. Aspek otokritik tidak muncul di dalam bahasa Indonesia.
Idiom ini di dalam bahasa Indonesia juga berhubungan dengan rasa iri hati. Ia melupakan apa yang sudah diraih dan dimiliki karena melihat yang lain lebih menarik, padahal pandangan sekilas sering kali menyesatkan. Kedewasaan seseorang diukur dari kemampuannya menatap dengan kepala dingin.
Ovid juga memakai idiom sebagai peringatan bagi jiwa-jiwa yang mudah jatuh cinta, bahwa cinta dapat membunuh. Dia menulis bagaimana cinta telah mendorong Jason, pahlawan dalam mitologi Yunani Kuno, meninggalkan Medea, istrinya, demi Creusa. Medea membalas dengan menghadiahkan gaun kutukan kepada Creusa. Saat dikenakan, gaun itu membakar Creusa hingga mati. “Siapa yang tidak akan menangis melihat api unggun Creusa,” kata Ovid.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Martinus Ariya Seta adalah dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Di edisi cetak, artikel ini berjudul "Rumput Tetangga".