Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAJALAH Tempo dan beberapa koran berulang kali mengulas laporan Badan Pusat Statistik yang menyebut 9,89 juta penduduk berusia 15-24 tahun, yang dikenal sebagai Gen Z, hidup tanpa kegiatan produktif alias menganggur. Presiden Joko Widodo pernah mengangkat tujuh orang staf khusus milenial dengan alasan agar program khas pemerintah untuk generasi muda bisa muncul. Perusahaan unicorn, yang sempat jadi isu penting di tahun 2019, jadi tagline kala itu. Untuk itu dirintislah begitu banyak bisnis rintisan. Startup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bahkan sempat juga metaverse sedemikian mengemuka dan menjanjikan semacam utopia baru di Indonesia. Sontak “Artificial Intelligence” menyela mayantara kita dan kini jadi hal terpenting. Bagaimanapun juga, 9,89 juta warga utama, warganet Gen Z Indonesia, yang dijuluki generasi “tech savvy” itu jadi paria di hadapan gemuruh dunia digital ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Secara global ada 2 miliar penduduk dunia yang sebaya dengan Gen Z. Berwatak “Fear of Missing Out”, tapi menanggung kesulitan membiayai hidupnya, termasuk kontrakannya. Hal ini diiringi dengan kesulitan emosional, “...less promiscuity, they socialise in person less, have less sex and are more likely to say they are lonely”, begitu catatan editorial The Economist edisi 20 April 2024.
Di Cina, penganggur terdidik Gen Z mencapai 21,3 persen, sehingga pilihan pekerjaan yang tersedia, mirip di Indonesia, ialah kesibukan “delivery” seperti jasa ojek. Selain masalah struktural ekonomi, seperti inflasi atau strategi ekonomi nasional yang bersifat padat modal, penyebab penganggur Gen Z ini diduga adalah ketidakcocokan mental mereka dengan syarat pekerjaan yang tersedia.
Ketidakcocokan suatu generasi dengan dunia kerja yang berkembang sejak Rousseau jadi soal genting. Usia kemunculan mesin uap James Watt (1765), yang jadi pertanda berkuasanya teknologi modern, sebaya dengan munculnya buku Jean-Jacques Rousseau yang mengkritik dunia ini, berjudul Émile (1762). Rousseau menulis tentang cara melindungi hidup alamiah, yang di dalamnya generasi muda perlu bermukim agar tak serta-merta masuk ke dunia kerja teknis.
Kaum borjuasi kala itu membawa dunia modern sebagai model kehidupan berkemajuan dengan menggabungkan institusi birokrasi anonim dengan kesadaran rasional saintifiknya ke tengah ruang publik. Terbangunlah syarat etos kerja yang serba manajerial dan merekayasa.
Menyayangkan soal itu, Rousseau memperkenalkan dunia aman dan privat dalam keluarga, tempat anak-anak terlindung dari mesin kerja. Kalaupun harus berpeluh di pabrik, sebaiknya ditunda dulu. Agar anak-anak menikmati yang alamiah, yang belum berdosa oleh tangan modernitas. “…Il n’y a point de perversité originelle dans le coeur humain”, tak ada dosa asal di hati manusia.
Masa kanak-kanak dan remaja yang lembut jadi cara menunda dunia modern yang keras berkompetisi. Karena itu, masa pendidikan diperpanjang dan dibuat berbasiskan perkembangan anak. Dalam Émile diuraikannya lima tahap perkembangan belajar anak: masa anak-anak, umur alami sampai 12 tahun, remaja, pubertas, sampai dewasa. Di Indonesia, model Rousseau ini kurang-lebih dimeteraikan sebagai jenjang pendidikan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1 Tahun 2021.
Pantas tak mudah mencocokkan pendidikan dengan dunia kerja modern. Berkali-kali kita menukangi cara agar pendidikan sepenuhnya menjadi persiapan kerja, tapi kita jadi frustrasi saja. Kini tentu bertambah sulit kala Gen Z hendak juga disuruh bekerja keras demi industri modern.
Saat dulu bersekolah sambil bermain, anak-anak didesak orang tua agar berdisiplin soal waktu, atau ikut kerja di ladang atau kedai keluarga. Dengan memegang cangkul atau memakai sempoa, perlahan-lahan mereka makin terampil bekerja. Mirip dengan yang dibayangkan Rousseau, masa kanak-kanak yang cukup panjang itu sebentuk “play-based childhood”.
Namun, sejak 2000-an, anak-anak masuk dalam “phone-based childhood”, kata Jonathan Haidt dalam riset mutakhirnya yang terbit dalam buku The Anxious Generation (2024). Tak ada peluh tubuh saat bermain gawai, tinggal olah kata dan angka. Tak terjalin dan tak mendalam pertemanan dengan ragam emosi, hanya terhubung walau tanpa henti dengan ragam wajah yang tampak terpoles ceria di layar kaca.
Seorang remaja akan berkelahi tanpa keringat sendirian di kamarnya, berhasil menaklukkan raksasa-raksasa dalam gim online. Tapi ia hampir tak pernah mengolah perasaannya saat tersandung jatuh dijegal teman bermain sepak bola. Padahal, seperti otot, emosi hanya berkembang kalau ditekuk dan direntang. Jika tak pernah tertekan dan tak pernah bersitegang, tak muncul daya tahan pada jiwa anak-anak. Begitu ia masuk dunia kerja dan tertekan, baginya hal itu tak tertanggungkan. Gen Z jadi mudah menyerah, gonta-ganti pekerjaan, bahkan undur sama sekali.
Di pihak lain, Gen Z amat suka “healing”, kata mereka untuk menyeimbangkan hidupnya. Sementara kakeknya dulu “hidup itu untuk bekerja”, bagi mereka kini “ini kerjaku, itu hidupku”. Sangat penting juga “me-time” agar tak “overthinking” dengan berbagai masalah. Mereka juga hidup lebih “eco-friendly”, seperti yang diinginkan Rousseau.
Mungkin ini sebabnya generasi yang lebih tua tak punya banyak petuah kepada mereka.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo