Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERATURAN Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang kesehatan sejatinya dibuat untuk melindungi kesehatan publik. Salah satunya mencegah penyakit akibat konsumsi gula, garam, dan lemak yang berlebihan. Namun memakai instrumen fiskal untuk tujuan itu bisa berdampak pada ekonomi secara keseluruhan. Agresif memungut cukai dari ketiga bahan makanan itu akan memicu inflasi tanpa bisa mencegah dampak penyakitnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Obesitas, diabetes, dan gangguan kardiovaskular menjadi penyakit paling mematikan masyarakat Indonesia. Tingkat konsumsi gula penduduk Indonesia saja, menurut Kementerian Kesehatan, naik 40 persen sepanjang 1992-2022, lebih tinggi dibanding angka global yang meningkat 9 persen. Angka penderita diabetes pun melonjak dari 14 persen dari populasi pada 2019 menjadi 25 persen tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan data itu, pemerintah hendak membatasi kandungan gula, garam, dan lemak dalam makanan dan minuman. Sebab, pengobatan tiga jenis penyakit itu menyedot Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara karena pasiennya didominasi penerima bantuan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan.
Maka, dalam kacamata pemerintah, penerapan cukai seperti sekali berenang dua pulau terlampaui: mencegah penyakit mematikan sekaligus menaikkan pendapatan negara. Sepintas cara ini masuk akal. Tapi dampak ikutannya bisa melebar ke banyak segi. Apalagi tujuan pengenaan cukai gula, garam, dan lemak adalah menaikkan harga makanan dan minuman sehingga masyarakat menghindarinya.
Penerapan cukai bahan makanan seperti pengenaan cukai rokok yang tak terbukti menurunkan prevalensi perokok. Kenaikan tarif cukai tembakau yang diikuti peningkatan harga produknya tak mencegah orang terus merokok. Keberhasilan pengendalian tembakau ditopang oleh pembatasan iklan, distribusi, dan konsumsinya. Namun pengenaan cukai rokok masih masuk akal karena barang ini bukan bahan kebutuhan pokok seperti gula, garam, dan lemak yang ada dalam makanan.
Studi-studi yang dikutip Kementerian Kesehatan memang menyebutkan penerapan cukai terhadap tiga jenis bahan makanan itu bisa menurunkan angka konsumsi. Tiap 10 persen cukai menurunkan 8-10 persen tingkat konsumsi makanan dan minuman yang mengandung ketiganya serta menurunkan prevalensi tiga jenis penyakit tersebut 1-4 persen. Meksiko, Peru, dan Finlandia merupakan tiga dari 106 negara yang berhasil memakai instrumen fiskal untuk mengendalikan konsumsi gula.
Namun di tiga negara tersebut kebijakan cukai disertai pengawasan ketat. Karena itu, ketimbang memungut cukai yang berdampak pada ekonomi, pemerintah seharusnya mengoptimalkan peran Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam membatasi kandungan tiga jenis bahan makanan dan minuman tersebut. Pengawasan yang ketat dan penegakan hukum akan mencegah konsumsi berlebih ketiganya sejak dari hulu.
Karena itu, pembatasan gula, garam, dan lemak sebaiknya berfokus pada makanan dan minuman kemasan yang diproduksi industri besar. Generalisasi akan rumit karena menyangkut usaha mikro dan kecil yang tak terawasi. Fokus pada minuman kemasan yang diproduksi industri akan lebih efektif dalam membatasi kandungannya.
Tanpa mengoptimalkan BPOM, penggunaan instrumen cukai akan berakhir seperti di Denmark. Pada 2011, negara ini membatasi kandungan lemak jenuh 2,3 persen dalam semua makanan dan minuman. Pemerintah memungut cukai US$ 3 per kilogram kelebihan dari batas itu. Akibatnya, penduduk Denmark membeli makanan dan minuman dari Swedia dan Jerman yang tak terkena peraturan itu. Walhasil, kebijakan itu dicabut setahun kemudian.