Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahmad Sahidah
Dosen Senior Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ratusan ribu demonstran berbaju putih berkumpul di Dataran Merdeka, Kuala Lumpur, Malaysia, pertengahan Desember lalu. Mereka memprotes Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras (ICERD). Meskipun pemerintah Malaysia telah membatalkan rencana ratifikasi konvensi Persatuan Bangsa-Bangsa itu, kelompok oposisi tetap turun ke jalan. Ibu kota dibanjiri demonstran yang mengganti unjuk rasa penolakan dengan syukuran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Unjuk rasa terbesar setelah pemerintahan baru terbentuk berkat kemenangan Pakatan Harapan pada 9 Mei ini adalah bukti bahwa konsolidasi oposisi sedang bekerja. Dengan dimotori partai terbesar etnis dan agama, Organisasi Melayu Bersatu (UMNO) dan Partai Islam se-Malaysia (PAS), demonstrasi ini menunjukkan bahwa rakyat tidak sepenuhnya mendukung rezim baru. Dengan alasan ICERD mengancam kedudukan istimewa Melayu, pribumi, dan Islam, mereka menolak pembahasan ratifikasi konvensi itu di parlemen.
Mantan perdana menteri Najib Razak, yang turut serta dalam unjuk rasa ini, menyatakan bahwa aksi damai ini bukan untuk menunjukkan superioritas etnis. Namun pernyataan itu bersifat primordial. Wakil Presiden UMNO Mohamad Hasan menegaskan bahwa umat Islam harus bersatu jika mau mengembalikan marwah agama dan bangsa. Dengan persatuan UMNO dan PAS, mereka bisa melakukan apa saja untuk menegakkan kehormatan.
Dengan dalih demokrasi, Abdul Hadi Awang, pemimpin PAS, akan mengerahkan jutaan pendukungnya turun ke jalan menolak pengesahan ICERD. Konvensi ini dianggap mengancam kedudukan istimewa Melayu dan bumiputra yang telah diterakan dalam konstitusi sebagai kontrak sosial. ICERD dilihat sebagai agenda Barat yang lebih menghormati binatang daripada manusia. Jelas, dua retorika ini memainkan emosi primordial dan menarik benang merah antara jati diri khas dan musuh yang nyata: partai berkuasa adalah kepanjangan dari kepentingan Barat.
Sejatinya, dua hujah tersebut bermasalah. Pemerintah, yang ingin mendorong ratifikasi, dikuasai oleh muslim Melayu. Pasal dalam konstitusi yang terkait dengan kedudukan Melayu belum diamendemen dan sistem demokrasi monarki masih dipertahankan. Meskipun ICERD diratifikasi, negara bersangkutan tidak secara otomatis harus mengubah undang-undang dasar. Apalagi tuduhan bahwa kehormatan Islam dinistakan mengada-ada, karena Anwar Ibrahim, pemimpin koalisi pemerintah Pakatan Rakyat, dikenal sebagai politikus muslim moderat yang berkawan rapat dengan Yusuf al-Qaradawi, Ketua Ulama Muslim Dunia.
Anwar gigih mengusung ide ratifikasi dan mengusulkan hal tersebut dibahas di parlemen. Meskipun ide itu ditolak oleh Ketua DPR, ikon reformasi ini berharap semua pihak bisa duduk bersama untuk berbicara secara terbuka. Dari 52 anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), hanya Malaysia dan Brunei yang belum meratifikasi ICERD. Dalam pidato di New York pada 28 September 2018, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad menegaskan bahwa pemerintah akan mengesahkan beberapa resolusi terkait dengan hak asasi manusia.
Jadi, isu penolakan ICERD sejatinya berkaitan dengan kehendak oposisi untuk menegaskan ideologi politik yang didasari sentimen etnis dan emosi keagamaan. Dengan modal ini, tentu mereka bisa mengekalkan dukungan konstituen tradisional dan menarik pemilih mengambang pada pemilihan umum yang akan datang. Selama unjuk rasa, aroma politik partisan begitu kuat, alih-alih secara jujur menyatakan pembelaan terhadap umat. Bahkan doa penutup aksi, yang berupa permohonan agar Pakatan Harapan segera tumbang, dengan jelas menunjukkan politik elektoral yang kuat.
Perseteruan ini perlu dikelola dengan baik, mengingat potensi konflik horizontal bisa mencuat. Setelah kontroversi perobohan kuil Hindu yang memakan korban, isu ICERD bisa mendorong muslim merapatkan barisan untuk menunjukkan bahwa mereka adalah korban dari ketidakberdayaan pemerintah mengatasi hubungan antar-agama dengan adil. Isu agama tidak bisa dilihat dari logika semata-mata, tapi juga perasaan.