Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Proliferasi Kabinet Prabowo

Kabinet Merah Putih yang terlalu besar akan menimbulkan banyak persoalan koordinasi dan tumpang-tindih fungsi. 

31 Oktober 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Proliferasi Kabinet Prabowo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Dalam 100 hari pertama, kabinet yang dibentuk harus segera menunjukkan adanya perubahan yang mengarah pada solusi.

  • Persoalan dalam struktur kabinet bukanlah banyaknya kementerian atau unit, melainkan besarnya ongkos yang harus dikeluarkan negara untuk membiayai penambahan personel birokrasi publik.

  • ​Masalah yang pasti muncul dengan struktur kabinet yang gemuk adalah koordinasi kebijakan.

"(We must question)... the rise of this government-industrial complex and ask whether and how the nation can be sure that the right people are in the right jobs to assure maximum performance for the public good." (Paul C. Light, 2018).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUSUNAN Kabinet Merah Putih yang diumumkan Presiden Prabowo Subianto seusai pelantikannya mungkin melegakan sebagian elite politik. Sebab, komposisi kabinet ini menunjukkan transisi kepemimpinan yang mulus dibanding pemerintahan sebelumnya.

Selain itu, susunan kabinet ini tampak mengakomodasi hampir semua kepentingan partai politik pendukung pemerintah. Prabowo memang beberapa kali menyampaikan bahwa pemerintahannya akan "merangkul semua pihak" agar tidak terjadi banyak gejolak. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para akademikus dan pengamat politik menilai tokoh-tokoh yang mengisi kabinet tidak mencerminkan semangat "kabinet zaken", yang semestinya diisi oleh para personel yang memiliki keahlian, kompetensi, dan profesionalisme tinggi.

Argumen ini didasarkan pada beratnya tantangan yang akan dihadapi bangsa Indonesia pada lima tahun ke depan. Kalangan yang skeptis dan pesimistis pasti melihat profil para sosok pengisi kabinet tersebut mustahil mampu memecahkan persoalan bangsa pada masa mendatang.

​Di antara dua kutub pendapat yang berseberangan tersebut, ada baiknya kita mempertimbangkan analisis yang relatif obyektif dengan perspektif optimistic realism. Penting terus memelihara optimisme di tengah kondisi bangsa yang tidak sedang baik-baik saja ini.

Namun, optimisme apalagi glorifikasi yang berlebihan terhadap pemimpin baru tentu akan membuat para perumus kebijakan terkelabui oleh fakta-fakta riil di lapangan yang membutuhkan pemecahan masalah secara serius. Rakyat Indonesia tentunya tidak ingin mengulang kesalahan yang sama seperti pada periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo. 

​Pada awal 2014, mayoritas rakyat Indonesia antusias menyambut tampilnya Jokowi yang bukan berasal dari lingkungan elite politik. Apalagi ia tampil secara lugu, sederhana, dan relatif dekat dengan rakyat melalui kegemarannya blusukan serta berbicara langsung dengan masyarakat.

Namun, di pengujung pemerintahannya, kritik dari berbagai kalangan sangat gencar karena Jokowi seolah-olah menjadi orang yang asing, tidak seperti yang selama ini kita kenal. Dimulai dengan pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi secara sistematis, perumusan Undang-Undang Cipta Kerja yang sangat tergesa-gesa, hingga manipulasi keputusan Mahkamah Konstitusi untuk kepentingan keluarganya. 

​Berbeda dengan Jokowi, yang ketika memulai jabatan sebagai presiden relatif belum dikenal karakter individualnya karena bukan berasal dari kalangan elite politik, Prabowo sudah dikenal luas karakter kepemimpinannya. Selain karena sudah menjadi bagian dari pusaran politik sebagai menantu Presiden Soeharto dan pernah menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat, Prabowo sudah tiga kali mengikuti kontestasi pilpres. 

Dengan demikian, justru karena karakter kepemimpinannya sudah dikenal dan masalah yang dihadapi Indonesia akan sangat berat serta kompleks, tidak akan ada masa "bulan madu" bagi Prabowo. Dalam 100 hari pertama kepemimpinannya, kabinet yang dibentuk harus segera menunjukkan perubahan yang mengarah pada solusi untuk berbagai persoalan yang tengah kita hadapi.

Proliferasi Kabinet

Jumlah kementerian dan lembaga di pemerintahan Prabowo memang bukan yang terbanyak dalam sejarah Indonesia. Pada era Demokrasi Terpimpin Presiden Sukarno, Kabinet Dwikora II pernah punya 132 menteri. Profil kabinet yang paling kecil adalah Kabinet Soesanto pada era Demokrasi Parlementer yang hanya berisi sepuluh menteri. 

Namun penambahan (proliferasi) jumlah kementerian dan lembaga hingga lebih dari 50 ini hingga sekarang masih menjadi salah satu topik yang hangat dibahas para ahli serta pengamat politik. Meski begitu, hingga saat ini, pengkajian mengenai dampak proliferasi kabinet terhadap kinerja pemerintahan memang belum banyak, terutama yang disertai data akurat. 

​Analisis komprehensif mengenai jumlah kementerian dan lembaga dalam literatur internasional juga masih relatif sedikit. Dari yang sedikit tersebut, buku The Government Industrial Complex karya Paul C. Light (2018) menjelaskan bahwa yang menjadi persoalan dalam struktur kabinet bukanlah banyaknya kementerian atau unit, melainkan besarnya ongkos yang harus dikeluarkan negara untuk membiayai penambahan personel birokrasi publik. Dengan kecenderungan pemerintah mengambil jalan mudah merekrut pihak swasta dalam melaksanakan kegiatan pelayanan publik, ongkos yang dikeluarkan juga akan bertambah besar. 

​Lembaga Administrasi Negara pada 2014 membuat studi mengenai jumlah kementerian dan lembaga yang ideal dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Pengkajian itu antara lain menyimpulkan jumlah kementerian dan lembaga yang ideal adalah 22 hingga 27. Dengan demikian, jumlah kementerian dan lembaga yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 sebanyak 34 pun sebenarnya sudah terlalu gemuk. Namun, sekali lagi, ketentuan mengenai jumlah kementerian dan lembaga belum didasarkan pada analisis komprehensif dan mendalam mengenai konsekuensinya terhadap anggaran negara.

Jika berpedoman pada penyusunan birokrasi klasik ala Weberian, proliferasi struktur pemerintahan sebetulnya sudah kerap terjadi di tingkat eselon I atau jabatan pimpinan tinggi. Pedoman umum tentang rentang kendali (span of control) menyatakan bahwa seorang pemimpin hanya mampu mengawasi bawahan secara efektif maksimal sebanyak lima unit. Tapi, seperti kita lihat dalam dua dasawarsa terakhir, proliferasi satuan di bawah kementerian atau lembaga terus terjadi. Ada kementerian yang bahkan sudah memiliki 12 unit eselon I. 

​Masalah yang pasti muncul dengan struktur kabinet yang gemuk adalah koordinasi kebijakan. Dengan arsitektur kementerian dan lembaga yang begitu banyak, presiden harus benar-benar bisa menjaga konvergensi kebijakan untuk mencapai target-target pembangunan lima tahun mendatang. 

Kemungkinan tumpang-tindihnya fungsi di antara lembaga itu akan sangat besar. Toh, di masa pemerintahan Jokowi, keberadaan jumlah wakil menteri lebih dari satu di suatu kementerian menunjukkan adanya tumpang-tindih dan duplikasi fungsi. Kondisi serupa bisa terjadi makin banyak di pemerintahan Prabowo. 

​Pembentukan kementerian dan lembaga baru juga punya implikasi terhadap kegiatan operasional dalam jangka pendek. Kementerian baru tentunya membutuhkan kantor baru, anggaran operasional baru, serta rekrutmen staf untuk mendukung tugas pokok kementerian tersebut. Konsolidasi internal inilah yang akan menyita perhatian para pejabat setidaknya dalam beberapa bulan pertama.

Harapan publik bahwa pemerintahan baru segera menciptakan perubahan dalam 100 hari pertama akan sulit terwujud karena kementerian dan lembaga baru akan lebih disibukkan dengan urusan internal. Namun, supaya tidak terlalu apriori terhadap pemerintahan yang baru, kita patut memberi kesempatan bagi siapa pun yang dipercaya Presiden Prabowo untuk bekerja secara maksimal.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Wahyudi Kumorotomo

Wahyudi Kumorotomo

Gurubesar Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus