Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APA yang bisa kita katakan tentang mundurnya Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. dari Kabinet Indonesia Maju pimpinan Presiden Joko Widodo?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai calon wakil presiden pendamping Ganjar Pranowo, dia memang selayaknya mundur. Undang-undang mengatur pejabat publik yang maju menjadi calon presiden atau calon wakil presiden dilarang menyalahgunakan jabatan. Dengan mundur, proses pencalonan Mahfud tak dicederai konflik kepentingan.
Bukan hanya Mahfud, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang menjadi calon presiden juga harus mundur. Begitu juga para menteri asal partai politik yang secara resmi mendukung calon presiden tertentu. Sebut saja Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, atau Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
Dengan mundur atau cuti, pemerintah dipisahkan dari kepentingan elektoral kandidat. Pemerintahan tetap berjalan tanpa terganggu kepentingan calon presiden dan wakilnya. Dengan mundur, demokrasi terjaga, netralitas penyelenggara pemerintahan dapat dipertahankan. Kepercayaan publik dapat dipelihara dan pemilihan umum menjadi proses politik yang sehat. Seusai pencoblosan, pemerintahan berganti tanpa melahirkan kecurigaan.
Tapi yang sakral itu babak-belur di tangan Jokowi. Alih-alih menjaga netralitas pemerintahan, ia mengumumkan pemerintah, termasuk dirinya, boleh memihak. Mengutip Undang-Undang Pemilu secara tak lengkap, Jokowi menyatakan presiden boleh berkampanye.
Sikap ini tentu berkaitan dengan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, yang menjadi calon wakil presiden Prabowo Subianto. Gibran adalah kandidat yang maju setelah Mahkamah Konstitusi mengubah batas minimal usia calon presiden dan calon wakil presiden. Proses perubahan undang-undang itu diwarnai laku nepotis karena diputuskan oleh Anwar Usman, Ketua Mahkamah Konstitusi dan paman Gibran. Anwar belakangan divonis melakukan pelanggaran etik berat.
Ketidaknetralan Jokowi diikuti oleh pembantu-pembantunya di tiga kubu calon presiden. Mereka tak mundur karena diam-diam atau terang-terangan memanfaatkan fasilitas negara saat berkampanye. Mundur atau tidaknya menteri tidak lagi dibaca sebagai komitmen etik, melainkan bagian dari strategi politik jangka pendek. Menteri yang mundur berharap mendapat simpati publik sehingga dapat meningkatkan elektabilitas.
Jokowi dan pembantunya dengan demikian menjadikan kabinet sebagai ajang pertarungan elektoral ketimbang organisasi yang menjalankan tugas negara.
Kepada pers, Mahfud Md. menyatakan pengunduran dirinya didasarkan pada pertimbangan etik dan elektoral. Ia ingin leluasa berkampanye tanpa gangguan tugas negara. Ia tak mundur sejak awal karena mengklaim ingin menjaga netralitas Kepolisian RI dan Tentara Nasional Indonesia—dua organisasi di bawah koordinasinya. Bagi sebagian pihak, pengunduran diri itu terlambat. Mahfud dianggap tak bersungguh-sungguh menjaga etika dan hanya mengharapkan simpati publik dan efek elektoral. Bertahan sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, ia toh tak mampu mencegah keberpihakan aparat.
Partai politik juga menggunakan argumen elektoral dalam menentukan apakah mereka perlu menarik atau mempertahankan menteri di kabinet. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan diduga enggan menarik menteri-menterinya sekarang karena partai itu akan menggunakan penarikan tersebut sebagai kartu truf terakhir untuk merontokkan kredibilitas pemerintahan Jokowi sebagai upaya mengalahkan Prabowo.
Logika yang sama dipakai partai saat mempertimbangkan apakah akan menggunakan hak politik untuk memakzulkan Jokowi—gagasan yang telah disampaikan sebagian pengamat politik. Alih-alih mengambil langkah penting itu sebagai respons etik atas sikap ugal-ugalan Jokowi, mereka diduga menunggu saat yang tepat untuk membicarakan pemakzulan untuk memukul Prabowo secara elektoral.
Sampai akhir masa pemerintahan Jokowi pada Oktober mendatang, tampaknya kita tidak bisa berharap pemerintah bekerja untuk kepentingan masyarakat. Sampai pemenang pemilu diketahui pasti, kabinet Jokowi akan terus sibuk dengan kalkulasi elektoral jangka pendek. Dengan kata lain, pemerintah tak efektif dan publik dirugikan.
Jokowi adalah hulu dari segala kerusakan ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Rusak Kabinet karena Jokowi"