Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Setelah Rezim Beras Murah Berlalu

Kebijakan pemerintah mengubah pola bantuan beras membuat stok dan harga beras tak menentu. Apa saja risikonya?

11 September 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Setelah Rezim Beras Murah Berlalu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Selama hampir dua tahun terakhir, harga beras tetap stabil tinggi. 

  • Perubahan kebijakan beras raskin/rastra menjadi BPNT berdampak pada tak pastinya jumlah stok penyangga untuk operasi pasar.

  • Satu hal yang harus serius disikapi pemerintah adalah peralihan konsumsi beras ke gandum.

REZIM beras murah yang telah berjalan selama beberapa dekade berakhir saat pemerintah mengubah kebijakan beras untuk rakyat miskin dan rakyat sejahtera (raskin dan rastra) menjadi bantuan pangan non-tunai (BPNT). Gonjang-ganjing harga beras lantas bergulir dari musim ke musim. Selama hampir dua tahun terakhir, harga beras tetap stabil tinggi.

Tingginya harga beras terlihat di Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Bank Indonesia. Per Senin, 9 September 2024, PIHPS mencatat harga beras kualitas bawah I sebesar Rp 12.450 per kilogram, kualitas medium I Rp 14.350 per kilogram, dan kualitas super I Rp 15.250 per kilogram.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada tiga fungsi utama yang melekat pada program beras raskin/rastra, yakni sebagai jaring pengaman sosial, instrumen stabilisasi harga, serta upaya pelindungan petani. Untuk fungsi jaringan pengaman sosial, setiap tahun pemerintah mengalokasikan sekitar 2,7 juta ton beras untuk 15 juta rumah tangga sasaran dengan harga tebus hanya Rp 1.600 per kilogram.

Ketika terjadi lonjakan harga beras saat paceklik, volume beras raskin/rastra ditambah sesuai dengan kebutuhan. Sebaliknya, saat panen raya, distribusi beras khusus ini dihentikan. Langkah itu sekaligus sebagai upaya pelindungan petani. Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 memberikan jaminan kepada petani melalui mekanisme harga pembelian pemerintah (HPP).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kemudian, Perum Bulog ditugaskan membeli gabah/beras petani dengan prognosa 2,5-3 juta ton beras per tahun. Kanal penyalurannya, selain untuk beras raskin/rastra, untuk penguatan cadangan beras pemerintah (CBP) yang berfungsi sebagai buffer stock atau stok penyangga.

Namun perubahan kebijakan beras raskin/rastra menjadi BPNT berdampak pada tak pastinya jumlah stok penyangga untuk operasi pasar. Pemerintah pun kembali terjebak dalam pola pikir yang memandang peran pangan dalam domain sempit serta mengabaikan pentingnya kedaulatan pangan karena impor mudah dilakukan. Untuk “memadamkan kebakaran” atas kondisi tersebut, dilakukanlah panen beras di pelabuhan (baca: impor).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada 2023, Indonesia mengimpor 3,06 juta ton beras. Adapun berdasarkan Proyeksi Neraca Beras Nasional pada Mei 2024, Indonesia mungkin akan menambah impor beras hingga 5,17 juta ton. Dari jumlah itu, per April 2024, realisasinya sudah 1,77 juta ton. Sisanya, sebanyak 3,4 juta ton, direncanakan datang pada periode Mei-Desember 2024.

Para ahli sosial-ekonomi yakin beras akan tetap menjadi makanan pokok rakyat Indonesia. Tidak hanya beras paling cocok dengan selera, agroekologi dan agroklimat Indonesia juga sangat cocok untuk budi daya padi. Karena itu, agar tidak selalu terjadi gonjang-ganjing beras, pemerintah harus serius mengantisipasi kondisi yang terus berulang ini.

Upaya pemerintah tidak boleh hanya bertumpu pada sistem budi daya (on-farm), tapi juga secara off-farm. Sistem produksi pangan Indonesia selama ini bertumpu pada pola peasant-based and family-based food production yang berbasis pada jutaan petani kecil dan lahan sempit. Para pakar yakin sistem ini tidak mampu lagi menjawab tantangan kebutuhan pangan yang meningkat secara kualitas ataupun kuantitas.

Dari sisi on-farm, peningkatan produksi beras dihadapkan pada kondisi kejenuhan lahan (levelling off) terhadap berbagai input teknologi. Karena itu, pemenuhan kebutuhan beras juga harus dilakukan melalui pendekatan off-farm. Salah satunya dengan upaya menekan kehilangan hasil. Jika kehilangan hasil panen yang saat ini masih sekitar 10 persen bisa diturunkan menjadi 6 persen, jutaan ton beras dapat diselamatkan.

Upaya lain off-farm yang perlu dilakukan adalah mengurangi konsumsi beras melalui program diversifikasi pangan secara konsisten dan berkesinambungan. Survei Sosial Ekonomi Nasional BPS pada Maret 2023 mendapati rata-rata konsumsi beras rakyat Indonesia mencapai 79,2 kilogram per kapita per tahun. Jika konsumsi beras dapat diturunkan menjadi 70 kilogram per kapita per tahun, penghematan yang bisa dicapai minimal 2,5 juta ton per tahun. 

Kendati demikian, satu hal yang harus serius disikapi pemerintah adalah peralihan konsumsi beras ke gandum. Pada 2015, proporsi konsumsi gandum masyarakat baru 21 persen. Tujuh tahun kemudian, pada 2022, proporsinya melonjak menjadi 28 persen. Saat ini Indonesia mengimpor gandum tidak kurang dari 11 juta ton per tahun. Jika tidak segera dicegah, akan muncul masalah baru yang lebih pelik. Gandum adalah tanaman subtropis yang tak bisa tumbuh dengan baik di Indonesia sehingga sepenuhnya harus diimpor.

Cara revolusioner bisa ditempuh dengan produksi bahan pangan berbasis tepung (flour-based food) untuk substitusi gandum dan beras secara massal. Kisah sukses produksi serta pemasaran tepung mocaf (modified cassava flour) untuk membuat mi dan roti perlu diperluas pada umbi-umbian lain.

Banyak kalangan telah mengingatkan para penentu kebijakan agar mengantisipasi kemungkinan terjadinya gejolak harga pangan di kemudian hari. Apalagi jika melihat situasi harga pangan dunia saat ini yang kian tidak menentu. Indeks Harga Pangan dunia terbaru yang dirilis Food and Agriculture Organization (FAO) pada 6 September 2024 berada di angka 120,7 poin. Meski sudah menurun cukup signifikan, angka tersebut masih relatif tinggi. Rekor indeks harga pangan dunia pernah menyentuh 160,3 poin pada Maret 2022.

Harga pangan yang tinggi sangat membebani masyarakat, terutama warga miskin. Sebab, sekitar 60 persen pengeluaran warga miskin untuk belanja pangan. Corita Kent, dalam bukunya yang berjudul Enriched Bread, telah mengingatkan: “Jika jumlah orang lapar sudah begitu banyak, Tuhan tidak tampak di mata mereka kecuali dalam wujud sepotong roti. Orang-orang lapar ini akan menyerbu meja makan-meja makan orang kaya meski dengan cara membunuh.”

Nah, saat ini political will para penentu kebijakan pangan negeri ini tengah diuji.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Toto Subandriyo

Toto Subandriyo

Pegiat Forum Pengkajian Pangan Pertanian dan Lingkungan (FP3L).

 
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus