Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
GURU-GURU GOKIL
Sutradara: Sammaria Simanjuntak
Skenario: Rahabi Mandra
Pemain: Gading Marten, Dian Sastrowardoyo, Faradina Mufti, Kevin Ardilova, Arswendy, Boris Bokir
Produksi: BASE Entertainment dan Dian Sastrowardoyo
Mengapa guru-guru disatukan dengan kata ‘gokil’? Ini bukan sebuah judul biasa, tetapi Rahabi Mandra, penggagas dan penulis skenario film ini ingin menciptakan sebuah jagat baru di desa nun di barat Jawa. Tak berpanjang lebar, kita langsung paham mengapa harus ada kata ‘gokil’ yang bersanding dengan kata ‘guru-guru’ karena film ini dibuka dengan adegan Taat Pribadi (Gading Marten) dan Rahayu (Faradina Mufti)—iya, dua-duanya guru—mengendap-endap mengutak-atik tas berisi segunung duit. Lantas kita mendengar suara Taat Pribadi mengatakan: “Di dunia ini, gua paling suka uang. Dan yang paling gua gak suka: guru.”
Dari kalimat perkenalan Taat dengan pemirsa, kita langsung paham, Taat tak sesuai namanya, bukanlah seorang pribadi yang taat aturan. Hidup seenaknya, terus memburu duit tanpa memikirkan etika. Dia tak suka dengan profesi guru, karena ayahnya (Arswendy Nasution) adalah seorang guru baik, mengabdi, putih bersih dan serius dengan profesinya. Pokoknya Taat adalah antitesa dari sang bapak. Dia doyan duit, bekerja sebagai apa saja: berjualan, jadi tukang sulap hingga akhirnya menjadi guru substitusi, semua dilahap.
Tetapi, seperti halnya guru-guru di pelosok Indonesia manapun, film ini memperlihatkan betapa gaji guru yang minim dan pekerjaan yang melebihi kapasitas manusia normal; ditambah lagi generasi masakini macam Ipang (Kevin Ardilova) yang berani, cerdas sekaligus tengil menghadapi si guru yang tingkahnya dianggap mencurigakan itu.
Syahdan di suatu hari yang sial, gaji guru raib dirampok. Lalu apa yang harus dilakukan? Para guru, tertib maupun kacau, baik maupun gokil, Ibu Rahayu, Taat, Ibu Nirmala, Pak Nelson dan seterusnya dengan segala rencana mencoba merebut kembali duit gaji para guru.
Genre komedi memang adalah pilihan berani, karena seperti yang sering saya nyatakan: urat lucu setiap orang berbeda. Sungguh, ini genre maha-sulit. Jika urat lucu itu bukan menjadi bagian dari penulis skenario maupun sutradara, ini menjadi pekerjaan berat.
Mungkin yang perlu diakui adalah keberanian seluruh tim untuk membangun ‘jagat tak mungkin’ ini menjadi sesuatu yang ‘mungkin’. Tim ini memutuskan untuk memasuki sebuah kisah drama komedi yang sengaja hiperbolik: guru-guru gokil versus penjahat. Sama seperti bagaimana kita harus percaya tokoh anak-anak Sherina dan Saddam bisa mengatasi penjahat dalam film “Petualangan Sherina” (Riri Riza, 2000). Dalam film Guru-guru Gokil maupun “Petualangan Sherina” terselip elemen ‘suspension of disbelief’, janganlah bertanya soal logika kehidupan nyata, kita harus masuk ke dalam logika film itu untuk bisa menikmatinya.
Bagian berikut yang perlu diakui adalah seni peran semua pemainnya yang asyik dan pas. Gading Marten, pemain yang pernah menjadi Aktor Pilihan Tempo karena penampilannya dalam film “Love for Sale” adalah seorang aktor seperti bunglon yang mampu bermain sebagai apa saja.
Sutradara Sammaria Simanjuntak (sebelumnya kita mengenalnya sebagai sutradara “Demi Ucok” yang menjadi Film Pilihan Tempo 2012) mengaku ini kali pertama dia membuat film yang tidak ditulisnya sendiri. Tentu saja ini (seharusnya) bukan persoalan, karena cerita dan skenario yang bagus bisa diperoleh di mana saja, tak selalu harus dari tangan sendiri. Namun catatan saya untuk film ini antara lain ada pada skenario dan ritme film. Dimulai dengan ritme yang lekas, segera dan asyik, kemudian paruh ke dua film ini terasa melambat karena sibuk menjalin beberapa subplot. Ada cerita guru-guru, ada soal hubungan Taat dan bapaknya; ada lagi masalah kepala sekolah, dan jangan lupa: namanya sekolah, tentu saja murid-murid juga punya cerita sendiri meski dalam film ini mereka bukan subyek. Babak dua yang penuh kecamuk ini tak terlalu lancar.
Untung saja, akhir cerita di babak terakhir menyajikan kejutan yang seru. Persoalan Taat yang “doyan duit” juga kemudian diberi penyelesaian yang bagus, karena biar bagaimana Taat adalah wakil ‘underdog’ yang pada satu titik harus muncul sebagai tokoh yang disayangi penonton. Dan dalam hal ini, sutradara Sammaria berhasil mengarahkan Gading Marten sebagai Taat yang akhirnya menjadi sosok dewasa.
Leila S.Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini