Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PELBAGAI kejanggalan alokasi dana sosial Bank Indonesia bisa menjadi pintu masuk Komisi Pemberantasan Korupsi mengusutnya sampai tuntas. Pengusutan dugaan korupsi ini harus sampai ke pejabat bank sentral dan para politikus yang kecipratan dana dari praktik lancung tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KPK tengah menyelisik kasus korupsi corporate social responsibility (CSR) atau program sosial BI dan Otoritas Jasa Keuangan. Tim penyidik KPK menggeledah sejumlah ruangan, termasuk ruang kerja Gubernur BI Perry Warjiyo, pada Senin malam, 9 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisi antirasuah menengarai modus korupsi kasus yang diselisik sejak Agustus 2024 itu ialah BI menyalurkan dana CSR ke sejumlah yayasan yang dikelola anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Dana sosial BI yang diterima yayasan sebagian disalurkan sesuai dengan peruntukan kepada masyarakat, tapi sebagian lain digunakan pengelola yayasan yang diduga kuat terafiliasi untuk kepentingan BI. Buktinya, KPK menetapkan dua tersangka yang salah satunya adalah anggota DPR. Tapi, anehnya, KPK buru-buru meralat penetapan tersangka itu tanpa alasan yang jelas.
BI mengklaim dana sosial Rp 1,6 triliun pada 2023 disalurkan melalui yayasan untuk program sosial, seperti pendidikan, pemberdayaan sosial, dan keagamaan. Konsep CSR sejatinya memberikan dana secara penuh kepada masyarakat. Tapi yang terjadi di BI malah sebaliknya.
Praktik korupsi dana CSR seakan-akan menjadi rahasia umum. Pengalokasian dana CSR melalui yayasan yang dikelola anggota DPR sangat mungkin berhubungan dengan kepentingan agar anggaran BI disetujui oleh Komisi Keuangan di DPR. Bukan cuma anggaran, melainkan juga undang-undang yang memperkuat daya tawar BI dan OJK. Relasi erat antara BI dan sejumlah yayasan yang dikelola anggota DPR, yang kemudian terjadi penyelewengan, makin menguatkan dugaan praktik korupsi secara berjemaah. Praktik ini mencerminkan korupsi yang terstruktur dan sistematis.
Yayasan kerap digunakan sebagai alat untuk menerima dana guna menghindari pengawasan. Maka inilah pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana CSR. Perusahaan, apalagi lembaga seperti BI, harus memastikan dana CSR digunakan sesuai dengan tujuan awal dan diawasi secara ketat untuk mencegah adanya penyalahgunaan. Selain itu, dilakukan audit secara menyeluruh.
Penggunaan dana CSR yang tidak sesuai dengan peruntukan jelas mengindikasikan pelanggaran terhadap prinsip akuntabilitas dan pelindungan konsumen. Prinsip akuntabilitas diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen. Pemanfaatan dana CSR harus sesuai dengan Pasal 70 POJK Nomor 60/POJK.04/2017 tentang Pengungkapan Informasi Emiten atau Perusahaan Publik. Peraturan ini menyebutkan setiap pemanfaatan dana CSR harus dilaporkan secara terbuka dan memenuhi standar.
Apalagi kasus penyalahgunaan dana sosial di BI bukan yang pertama kali terjadi. Sebelumnya, BI terjerat kasus dana sosial Rp 100 miliar Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI). Dana itu diduga mengalir ke sejumlah pihak, termasuk ke panitia perbankan Komisi Keuangan DPR periode 2003 senilai Rp 31,5 miliar untuk penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) serta amendemen Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI. Selebihnya, sebesar Rp 68,5 miliar, digunakan untuk menyelesaikan masalah hukum para mantan pejabat BI dalam kasus BLBI.
Kasus dana sosial YPPI sejatinya menjadi pelajaran agar kasus korupsi melalui yayasan tidak terulang. Bila KPK mampu menangani skandal YPPI, sepatutnya kasus CSR BI juga bisa diungkap.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo