Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Transisi Energi dan Komitmen DPR

Transisi energi tertunda ketika RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan belum selesai juga dibahas DPR. Batu bara masih masuk.

27 Juli 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan belum tuntas juga dibahas hingga kini.

  • DPR mengubah isi rancangan dengan menambah jenis energi baru.

  • DPR menambah energi yang bersumber dari batu bara sebagai bagian dari energi baru.

Moh. Samsul Arifin
Pemerhati Energi Bersih

Lelet. Itulah kata yang pas untuk menggambarkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) yang menjadi usulan Dewan Perwakilan Rakyat sejak 14 Juni 2022. Bahkan, hingga kini, masyarakat belum mendapat kabar baik tentang kapan regulasi mengenai transisi energi, dari energi kotor (fosil) ke energi bersih dan ramah lingkungan, itu dapat dirampungkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Optimisme agaknya sulit ditegakkan, terlebih jika menyaksikan janji-janji DPR untuk menyelesaikannya berkali-kali gagal. Pernah disebut rancangan itu bakal dituntaskan pada Oktober 2021, lalu akhir 2021, dan terakhir disebut akan selesai pada Juni lalu. Namun, ketika bulan sudah berganti Juli, rancangan itu belum selesai juga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat ini agak sulit menaksir kapan regulasi itu bakal kelar, mengingat masih ada 600 daftar inventarisasi masalah (DIM) dan baru 170 DIM yang dibahas. Itu pun baru di bagian awal dan belum detail.

Terlepas dari hal tersebut, ada beberapa masalah utama yang perlu disoroti dari rancangan tersebut. Pertama, rancangan ini menyatukan dua entitas, yakni energi terbarukan dan energi baru, dalam satu tarikan napas. Padahal, pada awalnya, nomenklatur rancangan ini adalah Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Secara linguistik dan substansi, ini jelas berbeda. Terlebih jika menyaksikan secara global bahwa isu ini lebih dikenal sebagai “renewable energy” atau energi terbarukan, bukan energi baru dan terbarukan. Paradigmanya sungguh berbeda dan memasukkan "energi baru" dalam satu tarikan napas dengan "energi terbarukan" bisa menyebabkan rancangan kehilangan fokus dan akhirnya salah tujuan akhir.
 
Dalam hal ini, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yang pertama kali mengusulkan regulasi ini pada 2017, lebih tegas. Sejak masih menggunakan nomenklatur RUU Energi Baru dan Terbarukan (EBT), DPD mengusulkan konsep energi baru dihapus dan dikeluarkan dari RUU EBT. Mereka menyampaikan ke DPR dan pemerintah bahwa transisi energi sebaiknya dilaksanakan secara terarah dan jelas rambu-rambunya. Transisi energi adalah jalan yang berkesinambungan, secara gradual atau drastis, dari energi tak terbarukan ke energi terbarukan. Artinya, ini bukan jalan ambigu atau mendua, apalagi jalan yang rancu.

Memilih energi terbarukan dan mengembangkan teknologi untuk pemanfaatan energi terbarukan adalah demokratisasi energi yang layak didukung. Sebab, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, energi ini tersedia di semua negara dan potensinya belum sepenuhnya digarap dan dimanfaatkan. Yang lebih penting lagi, energi terbarukan adalah jalan keluar dari ketergantungan impor terhadap energi tak terbarukan/kotor seperti fosil yang tidak selalu dimiliki negara-negara di bawah kolong langit ini. Karena itu, potensi arus laut samudra, panas bumi, bioenergi, angin, air, hingga cahaya matahari wajib dilirik dengan komitmen politik yang kuat oleh negara-negara di dunia.

Kedua, pada draf awal RUU EBT usulan DPD, energi baru yang tercantum di sana cuma nuklir. Namun, dalam draf RUU EBET usulan DPR, energi baru bertambah secara signifikan. Selain nuklir, ada hidrogen, gas metana batu bara, batu bara tercairkan, batu bara tergaskan (coal gasification), dan sumber energi baru lainnya (Bab V Pasal 9 ayat 1). Ada batu bara di sana, yang jelas-jelas merupakan energi fosil yang tidak terbarukan walaupun kadar emisinya ketika diubah menjadi energi baru mungkin lebih kecil.

Ketiga, keberadaan batu bara dalam RUU EBET usulan DPR agak “menyimpang” dari aspirasi dan tren global yang menginginkan laju pemanfaatan batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berkurang secara drastis. Sebaliknya, RUU EBET cenderung memanjakan PLTU. Pasal 6 ayat (6) dalam rancangannya menyebutkan, penyediaan batu bara bagi pembangkit listrik dilakukan dengan mekanisme penjualan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri (DMO).

Muncullah ketentuan DMO minimal 30 persen dari rencana produksi batu bara diproyeksikan perusahaan tambang. Harganya pun ditetapkan pemerintah, yaitu paling tinggi US$ 70 per ton dengan acuan batu bara 6.322 kilokalori per kilogram. Ketentuan ini ramah PLTU. Mungkin bagus untuk ketahanan energi, tapi jelas-jelas merupakan disinsentif dalam pengembangan energi terbarukan. Inilah jurus yang mengadaptasi pandangan ekonom John Maynard Keynes bahwa negara cawe-cawe atau campur tangan di pasar agar komoditas batu bara tersedia untuk PLTU dalam negeri dengan harga terjangkau atau tidak mengikuti harga pasar.

Keempat, dalam konsideran “menimbang” tak ada lagi poin soal upaya dan komitmen Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim. Padahal, hal tersebut disebutkan dalam rancangan 2 April 2019 bahwa “Pengembangan dan pemanfaatan EBT merupakan upaya dan komitmen Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim akibat kenaikan suhu bumi sehingga tercipta energi bersih dan ramah lingkungan.” Konsideran ini merupakan penegasan bahwa titik tolak dan misi dari payung hukum energi baru dan terbarukan adalah merespons perubahan iklim dan mewujudkan energi bersih dan ramah lingkungan.

Hal sepenting ini nyatanya hanya dituangkan dalam penjelasan umum RUU EBET. Di situ dikatakan bahwa pemanfaatan sumber energi baru dan energi terbarukan sebagai upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim global. Hal itu sebagai konsekuensi atas ratifikasi terhadap Kesepakatan Paris, yang diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016.

Kesepakatan Paris mengikat 196 negara dan berlaku sejak 4 November 2016. Misinya menjaga rata-rata suhu global agar tidak naik di atas 1,5 derajat Celsius. Tapi, hampir tujuh tahun sejak negeri kita meratifikasinya, Indonesia pada masa pemerintahan Joko Widodo tak sanggup merampungkan payung hukum untuk transisi energi, dari energi kotor ke energi bersih dan ramah lingkungan, yang mulus.

Bukan kebetulan jika langkah Indonesia untuk mencapai emisi nol tergolong ambyar. Emisi nol itu ditargetkan untuk dicapai pada 2060, alias terlambat sepuluh tahun dari langkah sejumlah negara lain. Kita tak menganggapnya baik-baik saja. Sebab, pada 2021, Indonesia adalah negeri nomor lima penghasil emisi karbon kumulatif terbanyak di dunia, menembus 102,563 giga ton karbon dioksida. Sungguh pun tingkat emisi karbon kumulatif itu hanya seperlima dari Amerika Serikat sebagai kontributor emisi terbesar di dunia, negeri kita tetap memiliki sumbangan (atau dosa) terhadap perubahan iklim global.

Masuk akal jika, hingga akhir 2022, realisasi EBT dalam bauran energi nasional hanya 12,3 persen. Ini hanya sedikit lebih baik dibanding realisasi EBT terhadap bauran energi nasional pada 2021 yang 11,7 persen. Dengan kondisi demikian, target porsi EBT sebesar 23 persen pada 2025 dan 34 persen pada 2030, sesuai dengan target Kemitraan Transisi Energi yang Adil (JETP), diragukan bakal tercapai (Koran Tempo, 7 Juli 2023).

Dari berbagai masalah paradigmatis dan teknis di atas, saya mempertanyakan sikap politik DPR. RUU EBET bukan urusan Komisi Energi DPR semata, tapi juga DPR sebagai institusi. Ini sekaligus menyasar sikap partai-partai politik pemilik kursi di Senayan, anggota koalisi pemerintahan Jokowi, atau eksponen oposisi. Benarkah mereka serius menggodok, membahas, dan menelurkan regulasi transisi energi yang memihak pada energi bersih dan ramah lingkungan? Ataukah mereka setengah hati? Sejak sekarang hingga 1 Oktober 2024 hanya tersisa 14 bulan lagi sebelum anggota DPR periode sekarang diganti oleh anggota DPR hasil Pemilu 2024. Mungkinkah mereka masih "peduli" untuk membahas RUU EBET ketika energi dan waktu mereka kini tersita untuk persiapan pemilihan umum?


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus