Begitu ramai cendekiawan kita bicara tentang pasca-modernisme. Mengikuti guru-guru mereka di Barat, banyak pandangan mapan di tanah air yang ingin mereka balikkan secara genealogis. Begitu konsisten ''posmo'' ditampilkan sebagai kemasan intelektual paling mutakhir, paling sah. Tapi metode genealogisnya praktis tak diterapkan atasnya sendiri guna men-dekonstruksi-kannya sebagai tak mutakhir dan tak mesti sah di mana-mana. Gagasan pasca-modernisme tak lain dari sebutan baru atas gejala intelektual lama. Ia masih senafas dengan apa yang disebut ''the twilight of civilization'' atau ''der Untergang des Abendlandes''. Ia mewakili ketaksabaran, kebosanan, dan pesimisme manusia berhadapan dengan sejarah. Di situ kehadiran Camus, Sartre, Beckett, bahkan Nietzsche terasa dengan kuatnya. Tapi para pendukung aliran pasca-modernisme di Barat tidak salah jika kehilangan kepercayaan pada modernisme. Modernisme di sana memang dibangun atas rasionalitas yang menunggalkan sejarah serta tujuan hidup manusia. Sebutlah ''negara ideal'' Hegel, ''tahapan teologis/metafisis/ilmiah'' Comte, ''kerangkeng besi'' Weber, ''masyarakat tanpa kelas'' Marx, ''tingkat-tingkat pertumbuhan'' Rostow, dan, yang baru saja, ''the end of history'' Fukuyama. Menunggalkan tujuan peradaban berarti memperbesar kemungkinan untuk keliru dan kecewa. Tak mengherankan jika rasionalitas linear seperti ini cenderung membenturkan masyarakat Barat dari kekecewaan yang satu ke kekecewaan yang lain. Begitulah maka kaum ''posmo'' membuka pintu selebar-lebarnya bagi pertandingan berbagai paham, cara hidup, serta kebudayaan. Perbedaan, keragaman, dan irasionalitas tiba-tiba dirayakan. Dipercaya benar bahwa irasionalitas punya rasionalitasnya sendiri. Tanpa terjebak ke dalam dikotomi kultural ''Barat'' dan ''Timur'', memang harus diakui bahwa selama empat atau lima abad terakhir di Baratlah kegelisahan mencipta, menjelajah, dan merumuskan dunia berlangsung gencar dan berani. Barat jadi identik dengan kemajuan dan kreativitas. Ia menjadi Sang Perumus, Sang Penama. Dengan kelahiran karya-karya serta temuan-temuan besar darinya, Barat pun menjadi terlalu percaya diri. Ada keangkuhan patologis di situ. Seperti pernah diutarakan Nietzsche, kebudayaan Barat ''tak lagi berefleksi ... takut berefleksi.'' Ditimpali gairah untuk terus merumuskan dan merampungkan sejarah, tiadanya refleksi menjadikan Barat seperti lupa pada kerendah-hatian. Pasca-modernisme juga timbul dri situasi demikian. Sesungguhnya paham atau pendekatan yang tampaknya sangat menentang nalar linear ini tetap terjebak dalam ''linearisme''. Ia masih linear lantaran asumsi bahwa modernisme yang pernah lama digandrungi Barat dan ternyata mengecewakannya itu sudah sah, tak perlu ''ditemukan'' lagi. Segenap peradaban lain tinggal mengakui temuan Barat itu saja. Maka para cendekiawan kita di Indonesia yang getol dengan pasca-modernisme ini terjebak dua kali. Mereka terjebak dalam ''linearisme'' terselubung itu dan mereka tetap epigon Barat, berpikir dalam paradigma dan rumusan Barat. Begitu mereka ikut mencanangkan pasca-modernisme, mereka pun gagal menampilkan ''wajah mereka sendiri''. Ironisnya, kendati mereka menampilkan ''wajah sendiri'' di situ, masih saja mereka terkungkung dalam paradigma Barat tadi. Maju kena, mundur kena. Terlupa bahwa betapapun banyaknya yang dapat kita timba dari Barat, sejarah kita berkembang dalam konstelasi atau ramuan kimiawinya sendiri. Kita berhadapan dengan rangkaian permasalahan serta prospek-prospek sendiri, yang harus dihadapi dengan potensi, nalar, dan kreativitas sendiri. Tak ada perangkat resep peradaban yang bisa berlaku universal. Tiap waktu dan tempat menuntut keberanian imajinatifnya sendiri. Ada empat butir respon yang bisa diberikan kepada para pendukung ''posmo'' di negeri kita. Pertama, kita tak perlu ikut-ikutan menyatakan kebosanan pada rasionalitas. Konteks kesejarahan kita masih amat membutuhkan rasionalitas itu. Kita hanya perlu sejak dini waspada dengan rasionalitas instrumental yang memenjarakan kesadaran, sambil berusaha mencapai rasionalitas yang sekaligus membebaskan dan mencerahkan. Kedua, yang kita tolak bukanlah modernitas, melainkan pengismean modernitas. Tiap pengismean adalah pendangkalan dan keterjebakan. Begitulah identifikasi antara modernitas dengan hampir semua praktek kapitalisme. Terlepas dari satu dua buah pikirannya yang tidak bisa diterima begitu saja, Habermas benar ketika dia menyatakan bahwa kita perlu membebaskan proyek pencerahan dari reduksi kapitalisme itu. Ketiga, modernitas harus kita pandang bukan sebagai kategori stasioner, melainkan sebagai kategori progresif. Sama halnya dengan Kebenaran yang hanya selalu bisa didekati, begitu juga dengan modernitas. Dua-duanya takkan pernah bisa diapropriasi manusia. Dua-duanya niscaya selalu berada di depan kita. Kesalahan terbesar dari pendukung aliran pasca-modernisme ialah tindakannya mengapropriasi atau merumuskan modernitas itu. Terakhir, lebih daripada kebutuhan akan kepekaan tentang perbedaan dan tentang kehadiran orang lain, kita memerlukan kepekaan serta keberanian imajinatif untuk selalu mencari titik-titik temu antar umat manusia. Dengan kata lain, kita jangan terjebak hanya pada pertandingan perbedaan dan partikularitas yang tiada terhingga itu. Kita justru perlu terus menggalakkan pertandingan yang menyejukkan menuju kesamaan demi kebahagiaan bersama. Di sinilah peran agama sebagai pelomba kebajikan akan sangat menentukan. Bukankah masa depan umat manusia terletak pada paham-paham yang menjunjung universalitas secara lapang-dada?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini