Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENTINGNYA program unggulan Presiden Prabowo Subianto soal pemberian makanan bergizi tentu semua pihak setuju. Inilah awal lahirnya sumber daya manusia tangguh yang kelak memimpin negeri ini, sehat jiwa dan raga. Kita tentu tak berharap mendapat pemimpin yang wajahnya seperti orang mengantuk, planga-plongo berbicara tanpa runtut seperti tak percaya diri. Kita harus punya pemimpin yang cerdas dan bisa menyapa rakyat dengan bahasa yang jelas serta berpidato dengan penuh semangat. Untuk itu, makanan bergizi sangat penting, bahkan sejak bayi belum dilahirkan. Gizi diberikan lewat ibunya yang mengandung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Program itu sudah dimulai. Gratis pula. “Aneh jika ada yang menolak,” kata Prabowo. Maka semua pejabat menjadi sibuk mengurus makan bergizi gratis ini. Para menteri ikut membagikan makanan di sekolah-sekolah. Termasuk Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid yang jeda sejenak mengurus judi online. Para juru bicara Istana—sungguh banyak orangnya—berbagi muncul di setiap tayangan di stasiun televisi. Para tentara dan polisi juga aktif membantu menyalurkan makanan dari dapur ke sekolah. Riuh benar sehingga kita lupa apakah ibu kota negara jadi pindah ke Kalimantan Timur. Berita soal itu langsung senyap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika televisi menghamburkan gambar macam apa porsi makanan yang disantap para murid berpakaian rapi itu, di sejumlah daerah yang tak kebagian ransum makanan gratis, para gurunya bergunjing. “Enak sekali. Tapi apa itu harganya Rp 10 ribu? Di mana belinya? Ingin saya berlangganan.” Guru lain menjawab lalu tertawa: “Ya, di televisi….”
Gunjingan yang muncul di media sosial ini disederhanakan, tapi bukan hoaks. Belum semua murid di sekolah mendapat makanan bergizi gratis atau kita singkat MBG. Memang, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2024 tentang Badan Gizi Nasional, ada empat kategori penerima program MBG. Pertama, peserta didik dari pendidikan anak usia dini (PAUD) alias taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas, baik negeri maupun swasta. Termasuk pendidikan di pesantren. Kedua, anak berusia di bawah 5 tahun. Ketiga, ibu hamil. Keempat, ibu menyusui. Namun, karena jumlahnya banyak di seluruh negeri, untuk tahun ini dibatasi dulu. Menurut informasi dari Kantor Komunikasi Kepresidenan, program MBG ini dilakukan bertahap. Pada 2025, akan berjalan sekitar 40 persen, kemudian tahun berikutnya naik menjadi sekitar 80 persen, dan target pada 2029 sudah mencapai 100 persen. Jadi kaum yang masuk daftar tunggu MBG sampai 2029 bisa tak kebagian apa-apa jika Prabowo gagal menjabat dua periode.
Target penerima MBG adalah 52,9 juta peserta didik. Ini angka yang mudah didapat, tinggal hitung-menghitung. Tapi ibu hamil dan ibu menyusui belum diketahui jumlahnya. (Para ibu, kalau hamil, harap lapor, ya?) Dengan target seperti itu, dana yang dibutuhkan Rp 420 triliun. Padahal, seperti yang disebutkan Menteri Koordinator Pangan Zulkifli Hasan, anggaran program MBG baru ada Rp 71 triliun. Dan itu hanya cukup sampai Juni 2025. Zulkifli mengatakan Badan Gizi Nasional berencana meminta tambahan anggaran Rp 140 triliun pada Juni nanti. Dan itu pun belum cukup sesuai dengan target.
Benar bahwa pemberian MBG baru dilakukan di perkotaan. Belum ada yang nyasar ke kampung-kampung di pedalaman. Alasannya, di perkotaan sudah diuji coba. Murid di perkotaan, yang umumnya lebih manja soal makanan, tentu tak bisa diberi cuma nasi, tempe, dan tahu. Harus ada ayam atau ikan dan buah, ditambah susu kalau ada. Harga yang mustahil Rp 10 ribu. Masalah lain adalah baru di perkotaan terbentuk Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), yang kemudian menjadi dapur umum penyedia MBG. Jumlahnya baru 190 dapur dari target 937 dapur per Januari ini. Kenapa tak sesuai dengan target? Jangan anggap enteng bikin dapur itu. Selain masalah tenaga kerja, peralatan memasak, cara mengemas makanan, dan distribusi sangatlah ribet.
Ada usul, program MBG ini dikemas ala ndeso. Urusan masak serahkan kepada ibu-ibu di desa. Secara berkala, datangkan ahli gizi. Makanan dibungkus pakai daun pisang. Anak-anak makan di halaman sekolah di bawah pohon mangga. Kayak orang berkemah. Jangan-jangan anak didik bertambah senang.
Intinya, makan bergizi gratis itu program yang patut didukung. Mudah-mudahan berumur panjang. Namun cara mengelolanya harus dipikirkan ulang. Saat ini dilakukan tergesa-gesa sampai ada daftar tunggu dan korbannya anak didik di perdesaan yang justru banyak bermasalah soal gizi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo