Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ahmad Bastari Suan adalah pengusul pertama kata mantan.
Menurut dia, kata bekas atau eks dianggap kurang pantas dan bernilai rasa rendah sehingga ia memberi alternatif kata mantan, yang memiliki makna tidak berfungsi lagi.
Kata mantan dinilai bisa digunakan untuk menghormati orang yang pernah memangku jabatan dengan baik atau pernah mempunyai profesi yang diluhurkan.
TENTANG relasi makna kata, kita mengenal homonim sebagai kata yang memiliki kesamaan lafal dan ejaan, tapi berbeda makna karena berasal dari sumber berlainan. Sering kali kita menemukan frasa “bandar judi” ketika membaca berita kriminal. Pada saat yang sama, kita juga akrab dengan frasa “bandar udara”. Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring, kata “bandar” dapat bermakna selokan aliran air, tempat berlabuh, atau orang yang menyelenggarakan perjudian. Di luar homonim, ada sesuatu yang menarik tentang bagaimana kata yang lafal, ejaan, dan maknanya sama tapi berselisih muatan nilai rasa. Salah satu contohnya adalah kata “mantan”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tempo.co edisi 12 Desember 2020 dalam kolom Obituari menulis begini: “Daru Priyambodo, mantan Pemimpin Redaksi Koran Tempo dan Tempo.co, meletakkan batu fondasi lahirnya jurnalisme digital Tempo. Kritiknya dinanti karena dibumbui humor.” Kalimat itu merupakan pengantar narasi tentang beberapa bagian kehidupan almarhum, kualitas positif kepribadiannya, pemikiran dan sikapnya yang patut dikagumi, serta kejadian-kejadian yang mewakili hakikat Daru yang jenaka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mari kita bandingkan dengan warta Koran Tempo 3 Maret 2023 dalam artikel berjudul “Jejak Rubicon Rafael di Gang Sempit” terkait dengan dugaan bahwa mantan Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah DJP Jakarta Selatan II, Rafael Alun Trisambodo, tidak melaporkan harta kekayaannya yang sebenarnya sebagai penyelenggara negara. Atau pada liputan Kompas 24 Januari 2023, di paragraf pertama tertulis: Mantan Pejabat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, Kementerian Keuangan Angin Prayitno Aji didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Tanpa menelaah informasi secara lengkap, kita dapat menerka apa yang hendak dibahas.
Sewaktu membaca atau mendengar kata “mantan”, pikiran kita secara refleks terdorong untuk menautkan kata tersebut kepada seseorang yang pernah menjadi pasangan, pernah memegang suatu kedudukan, atau pernah memangku jabatan tertentu.
Menelusuri asal-usul kata “mantan”, kita akan sampai pada nama Ahmad Bastari Suan dari Universitas Sriwijaya. Petunjuk Praktis Berbahasa Indonesia yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1990 mencatat Ahmad sebagai pengusul pertama istilah ini. Melalui tulisannya dalam majalah Pembinaan Bahasa Indonesia pada 1984, Ahmad berargumen bahwa kata “bekas” atau “eks” dianggap kurang pantas dan bernilai rasa rendah sehingga ia memberi alternatif kata “mantan” yang memiliki makna “tidak berfungsi lagi”. Kosakata tersebut dapat ditemukan dalam bahasa Besemah, bahasa Komering, dan bahasa Rejang. Dalam bahasa Besemah, frasa penggawe mantan berarti eks pegawai atau pegawai yang tidak berfungsi lagi.
Sesuai dengan hukum Diterangkan-Menerangkan (D-M) yang diutarakan Sutan Takdir Alisjahbana dalam Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia (1936), pada susunan kata bahasa Indonesia, segala sesuatu yang menerangkan selalu terletak di belakang yang diterangkan. Kaidah ini berlaku untuk kata majemuk ataupun kalimat. Kata “mantan” merupakan inti frasa sehingga diletakkan di awal frasa: mantan kekasih, mantan ketua, mantan pejabat, dan sebagainya.
Kalimat-kalimat contoh di awal tulisan ini merupakan ilustrasi yang jelas tentang bagaimana nilai dan rasa suatu kata dapat berubah tergantung konteks yang melekatinya. Saya setuju dengan pernyataan bahwa kata “mantan” digunakan untuk menghormati orang yang pernah memangku jabatan dengan baik atau pernah mempunyai profesi yang diluhurkan. Pada ilustrasi pertama, kita dapat membayangkan rasa kehilangan mendalam atas wafatnya Daru. Kehidupannya dirayakan dalam obituari sebagai pengingat bahwa ia punya arti penting bagi orang lain dan akan senantiasa diingat atas hal-hal baik yang pernah dilakukannya.
Namun, pada ilustrasi kedua dan ketiga, kita tidak mungkin tidak merasakan kemarahan atas pengkhianatan, ketidakjujuran, atau perasaan dirugikan karena kelalaian yang disengaja. Pengkhianatan menciptakan kemarahan karena melanggar kerentanan kita. Setelahnya, kita pun menyadari apa yang hilang dari diri kita: kepercayaan kepada orang yang dianggap memiliki kedudukan terhormat dalam masyarakat.
Kita tidak perlu membajak emosi yang sesungguhnya kita rasakan melalui eufemisme. Rasa marah perlu divalidasi karena kita tahu ada sesuatu yang salah, ada yang tidak baik-baik saja. Memilih kata yang sesuai akan mengizinkan kita untuk mengenali emosi secara benar sehingga kita dapat memproses dan mengungkapkannya dengan tepat.
Terhadap para pengkhianat, alih-alih “mantan”, saya kira kata “bekas” lebih layak disematkan. Ketika membaca berita “Vonis Bebas Pelaku Tragedi Kanjuruhan” dalam majalah Tempo 19 Maret 2023, saya melihat ada usaha untuk memvalidasi emosi sebagian besar rakyat Indonesia: memberi predikat “bekas” kepada orang-orang yang tindakannya mengetuk pintu kemarahan dan kesedihan kita.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo