Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Raga

ChatGPT bukan manusia. Tapi benarkah tubuh menjauhkan dari pengetahuan?

14 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi Tempo/Imam Yunianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Duh, apa dosaning raga?”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAHAI, apa gerangan dosa tubuh? Kalimat itu bergaung dalam sebuah tembang di puncak adegan tari Panji Sepuh—sederet kata yang seperti menggugat, atau mengeluh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tubuh, raga, atau badan, dalam khazanah sastra Jawa, memang sering diperlakukan sebagai penghambat. Atau setidaknya bagian yang hanya nomor dua pentingnya. Ia berada di bawah “jiwa” atau “roh”. Kitab Wulangreh, misalnya, menganjurkan kita agar “mencampakkan badan”, ambanting ing badanira, untuk “mengurangi nafsu yang berkecamuk”, darapon sudaa, nepsu kang ngambra-ambra.

Tentu tak hanya di Jawa. Di zaman Mesir Kuno, dan kemudian dilanjutkan pemikiran Yunani, ada sikap yang memandang tubuh secara negatif. Dalam Phaedo, Plato menyampaikan wejangan Sokrates menjelang mati: seorang filosof, kata Sokrates, lebih dari orang umumnya, harus membebaskan diri dari “kebodohan tubuh”. Kata soma-sema, misalnya, mengaitkan “tubuh” dengan “kubur”.

Saya termasuk orang yang tak mengamini Wulangreh dan Phaedo, meskipun di abad ke-21 kini, pandangan mereka—yang dengan mudah mengabaikan tubuh—secara tak langsung dipertegas artificial intelligence (AI).

AI bekerja dengan bahasa yang terbangun dari triliunan data yang diumpankan ke dalam algoritma—formula atau instruksi yang rinci—untuk mendapatkan satu atau beberapa pola tertentu. Tapi disadari proses matematis itu sebenarnya tak memadai.

Ada satu risalah yang ditulis Arthur Glenberg dan Cameron Robert Jones, yang saya temukan di pelbagai website sebulan yang lalu. Kedua peneliti ini—yang satu di bidang psikologi dan yang lain dalam cognitive science—bertanya kepada GPT-3, mesin yang mendahului ChatGPT: alat manakah yang lebih pas buat menghidupkan bara ketika kita mau memanggang daging? Dengan batu atau dengan selembar peta kertas? Jawab GPT-3: dengan batu. Mana pula yang lebih baik untuk merapikan kain yang kusut: dengan thermos hangat atau jepit-rambut? Jawab GPT-3: jepit-rambut.…

AI super-cerdas-tangkas; ia mendapatkan jawab dengan memperlakukan bahasa sebagai sebuah konstruksi statistik. AI dilatih berdasarkan paparan visual dan teks, menangkap tingginya frekuensi hubungan antara kata dan “pixel”. Dengan itu, pengetahuan yang diperolehnya memungkinkan ChatGPT membentuk kalimat yang jelas, esai yang rapi—bahkan sesuatu yang mirip puisi. 

Tapi ada yang absen: tubuh. AI bukan manusia.

Manusia adalah satu kesatuan biologis jiwa-raga yang berevolusi dengan (dan dalam) tubuh hingga mampu bekerja dalam ruang fisik dan sosial. Bahasa alat yang membantunya buat itu. 

Tapi bahasa alat yang istimewa, bukan perkakas yang siap rapi dan diam di komputer. Bahasa baru berfungsi, alias berarti, karena terlibat, bertaut erat, dengan tubuh, juga tubuh sesama manusia. 

“Peta kertas” dalam pertanyaan untuk GPT-3 di atas, misalnya, tak cuma punya arti karena definisi dan ukuran yang pasti. Ia punya arti karena dipakai mengipasi bara api ketika kita membakar daging. Ia terkait dengan tangan yang memegang dan menggerakkannya, tangan yang meraba permukaannya dan merasakan bobot-ringannya. Ia juga terkait dengan jangat yang bersentuhan dengan suhu di tungku, dengan hidung yang menghidu aroma daging menjelang matang. Maka bisa dimengerti, tanpa pengalaman tubuh seperti itu, GPT-3 (juga GPT-4 dan kerabatnya, Bard, Chinchilla, dan LLaMA) memilih “batu” untuk menghidupkan bara ketika kita bikin barbecue.

Ironis, bahwa zaman AI seakan-akan mengulang “ideologi” abad ke-4 sebelum Masehi, yang memisahkan (bukan cuma membedakan) sukma dari raga. Setidaknya, kata Sokrates masa itu, tanpa tubuh lebih baik. Tubuh adalah hambatan mencapai pengetahuan dan kebenaran. 

Di abad-abad berikutnya para pemikir menangkis. Merleau-Ponty, misalnya, di tahun 1940-an menunjukkan pentingnya tubuh sebagai “satu sistem” yang terarah buat “menginspeksi dunia”, un système de systèmes dédiés à l’inspection d’un monde. Dengan tubuh, dunia bahkan ditangkap, dipahami, tanpa theori. Jika jarum dan seutas benang ada di depan kita, tanpa berpikir kita tahu apa yang bisa dilakukan. Benda-benda itu, berkat pengalaman, jadi satu ensemble de manipulanda, seakan-akan organ kita yang memperluas keterbukaan kita kepada dunia.

“Kita mengetahui,” kata Merleau-Ponty, “bukan melalui intelek, melainkan melalui pengalaman kita.”

Saya tak bisa meramalkan, akankah nanti AI bisa membentuk sebuah embodied language, bahasa yang bertaut dengan tubuh, yang memungkinkan komunikasi interaktif yang tak cuma “kognitif” dan tak semata-mata verbal.

Sisi non-verbal bahasa ini yang sedang diabaikan para antusias AI. Padahal bahasa hanya bisa penting dan berarti di bagian yang “terbatas dari realitas”, tulis George Steiner dalam Language & Silence: Essays on Language, Literature, and the Inhuman. “Selebihnya, yang mungkin merupakan bagian yang jauh lebih besar, adalah keheningan”.

Dan kita tahu: dalam keheningan itulah puisi menggetarkan. "A poem should be palpable and mute/As a globed fruit,” kata penyair Archibald MacLeish. Komposisi musik John Cage, 4′33—yang digubahnya ketika ia mempelajari Buddhisme-Zen—tak membawakan bunyi apa pun. Tapi di saat itu ia membiarkan seluruh tubuh (bukan cuma kuping) bertaut dengan dunia.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Goenawan Mohamad

Goenawan Mohamad

Penyair, esais, pelukis. Catatan Pinggir telah terhimpun dalam 14 jilid. Buku terbarunya, antara lain, Albert Camus: Tubuh dan Sejarah, Eco dan Iman, Estetika Hitam, Dari Sinai sampai Alghazali.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus