Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penggunaan lema pemantik dalam poster diskusi ramai belakangan ini.
Makna lema pemantik juga sering dijumpai di media sosial.
Pemakaian lema pemantik dalam poster ataupun di media sosial dinilai kurang tepat.
APABILA Anda kerap menerima poster informasi diskusi, baik dilakukan secara dalam maupun luar jaringan di wahana media sosial, tentu itu hal lumrah. Namun, jika Anda memberikan sebuah tanya dengan penuh curiga, itu patut diapresiasi. Seperti halnya yang kerap saya lakukan atas sebaran poster di media sosial. Mungkin saja saya tidak tertarik mengikuti diskusinya, karena terlalu berjubel. Sekian informasi kadang hanya lalu-lalang tak karuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agak-agaknya saya sebatas memberikan perhatian di dalam penggunaan bahasa. Kalau diamati saksama, kita akan menemukan lema yang mungkin sebelumnya tidak lazim. Beberapa hari terakhir, saya terpikir lema “pemantik” yang mulai populer digunakan dalam poster diskusi. Selain itu, sebelumnya saya sering menjumpai hal tersebut di beberapa buku pelajaran—dengan menggunakan frasa “pertanyaan pemantik” untuk mengawali materi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Entah awal mulanya siapa yang menggunakannya, bagi saya, lema itu terus menimbulkan tanya. Kegiatan diskusi dengan sebaran informasinya sejauh pengetahuan saya biasanya menggunakan beberapa kata berikut: pembicara dan narasumber. Pergeseran yang terjadi itu tampaknya penting untuk kita jadikan upaya mempermasalahkan bahasa dalam ruang publik, apalagi diskusi tersebut telah terkesan mewah dan bermuatan intelektual.
Saya menduga lema “pemantik” itu berdasar pada kata “pantik”. “Pemantik” untuk menunjukkan subyek ataupun orangnya, sementara “memantik” sebagai kata kerja yang dilakukan. Dengan demikian, bila para peserta diskusi yang hadir dalam acara itu tergugah kesadarannya akan wacana ilmu dan pengetahuan, bolehlah mereka disebut sebagai orang-orang yang “terpantik”.
Kita buka Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) garapan W.J.S. Poerwadarminta. Kita temukan entri “pantik” dengan beberapa keterangan: (1) memantik; menggosokkan batu api (kaju dsb) untuk membuat api; pemantik api, alat untuk membuat api, (2) memantik; memetik (mengadakan bunji dng ibu djari digesekkan pd telundjuk), dan (3) memantik (urat, nadi); mengeluarkan darah dng menusuk (meretas) urat darah.
Lema “pemantik” tak kita dapatkan dalam kamus tersebut. Kita makin gundah gulana. Agaknya, dengan menimbang apa yang dimaksudkan dengan diskusi, tentu akan merujuk pada pengertian yang pertama. Sebelumnya kita hendak mencuplik penjelasan yang ditulis oleh Harimurti Kridalaksana dalam Kamus Sinonim Bahasa Indonesia (1974), diskusi memiliki pengertian berupa: pembahasan, perundingan, tukar pikiran. Imajinasi “pemantik” dalam diskusi itu tentunya sepadan dengan membuat api, meski agak janggal juga. Orang disejajarkan maknanya dengan alat.
Pada beberapa babak, kita teringat peristiwa diskusi. Intelektual, seniman, hingga budayawan memiliki cara masing-masing dalam menampakkan diri di forum diskusi. Mereka terkadang menyulutkan api dalam batang demi batang rokok. Diskusi itu api, asap, dan percakapan. Aliran yang terpancarkan memberi kesan pada gerak tubuh dan lisan. Peristiwa itu mungkin sudah tak lazim lagi mengingat kegiatan diskusi kemudian sering kali terlaksana dalam ruangan tertutup dan penuh mesin pendingin. Diskusi terkesan beku.
Dari sana, kita memiliki sekian dugaan bahwa penggunaan kata itu juga memiliki maksud bagaimana forum diskusi tersebut penuh dengan gairah—berapi-api. Terlepas dari itu, kita hendaknya sadar di zaman dengan penuh luapan informasi ini acap kali orang-orang tidak lagi memunculkan pertanyaan ataupun dialog. Kata “diskusi” masih ingin mendapat tempat bermartabat. Ia mengandung sebuah perjumpaan yang menyiratkan pemaknaan ilmu dan pengetahuan. Selanjutnya, dugaan itu datang dari kata “api” itu sendiri. Api mengingatkan kisah mitologi Yunani, Prometheus, pencuri api Zeus.
Y.B. Mangunwijaya mengisahkan lewat esai “Prometheus dan Faust dalam Teknologi”. Penjelasannya: “Prometheus berikhtiar dan berhasil mencuri api, dan sejak itulah bangsa manusia berapi, alias memiliki rahasia kekuasaan para dewata, mampu menguasai alam.” Agak-agaknya, orang-orang yang menyelenggarakan diskusi dengan menghadirkan “pemantik” ingin mengingatkan: diskusi itu bak api. Api bermakna pengetahuan dan juga kekuasaan. Sebagaimana pula ungkapan Francis Bacon: “knowledge is power”.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo