Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak kapan pemakai bahasa Indonesia sadar untuk memadatkan bahasa, menulis sebaik-baiknya, seringkas-ringkasnya, dan tetap termuat makna seluas-luasnya? Sejak kapan bahasa Melayu (yang kelak dalam satu cabang perkembangannya menjadi bahasa Indonesia) diyakini memiliki potensi menjadi alat ucap efektif dan punya potensi estetis?
Dalam Bayan al-Asma karya Abdullah bin Muhammad al-Misri (menulis pada 1809-1924), ada petikan menarik yang bisa menjadi rujukan. Abdullah al-Misri mengutip hikayat Sultan -Iskandar Zulkarnain. Ia tuliskan:
...pada tiap-tiap kali membuat surat kiriman maka dipanggil oleh baginda itu tujuh orang juru tulis yang hakim kepada logat dan yang arif kepada tafsir. Maka menyuratlah seorang daripada mereka itu dengan tiga belas baris, maka dipersembahkanlah kepada baginda itu, maka bertitah pula baginda itu kepada juru tulis yang kedua, “Pendekkan olehmu perkataan surat ini.” Maka dipendekkanlah oleh mereka surat itu hingga datang kepada tujuh orang juru tulis itu, maka jadilah surat yang tiga belas baris itu hanya tiga baris juga, maka maknanya makin bertambah-tambah.
Petikan itu bisa kita lihat sebagai retorika sang mualif untuk meyakinkan pembacanya tentang pentingnya menggunakan bahasa dengan baik, apalagi bagi raja, menteri, dan penyelenggara kerajaan. Ia juga mengusulkan nama yang diberikan untuk “...seorang bangsa raja atau bukan daripada bangsa raja…” yang “...terlalu bijaksana pada mengarang perkataan lagi pandita ia kepada segala ilmu, maka hendaklah dinamakan dia Pangeran Darmasastra.”
Abdullah al-Misri meninggalkan lima karya yang dia tulis dalam aksara Jawi dan Latin. Monique Zaini-Lajoubert, penyelenggara alih aksara, menelaah dan mengumpulkannya dalam Karya Lengkap Abdullah bin Muhammad al-Misri (École française d’Extrême-Orient dan Komunitas Bambu, 2008). Monique Zaini-Lajoubert menyebut karya Abdullah al-Misri orisinal dan menarik. Karya-karya itu menandai pengaruh awal sastra Eropa dalam kesusastraan Melayu. “...buah tulisannya sudah memperlihatkan berbagai tanda dari periode modern meskipun masih tergolong dalam kategori hikayat atau cerita sastra lama,” ujarnya.
Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi (1796-1854) dianggap sebagai pembaru sastra dan bahasa Melayu dengan karya pertamanya, Syair Singapura Terbakar (1830). Menurut Monique Zaini-Lajoubert, Abdullah al-Misri sudah mendahului Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi karena karyanya telah terbit pada 1810.
Kesadaran dalam diri Abdullah al-Misri akan bahasa yang ringkas yang mengandung muatan makna yang padat dibawa olehnya dari nas-nas berbahasa Arab yang tentu sangat dia kuasai, yang menjadi rujukan utamanya sebagai penulis dari komunitas Arab di Betawi kala itu.
Bisa kita yakini bahwa pengaruhnya sebagai pengarang cukup luas. Pengarang, penulis, ulama, dan pedagang ini pernah berada di berbagai tempat di Nusantara, seperti Bali, Kutai, Parepare, dan Pontianak. Ia lahir di Palembang. Ia juga banyak bekerja dengan penguasa kolonial. Di berbagai tempat itu, ia diterima oleh raja-raja setempat dan meninggalkan karya tulisnya.
Bahasa yang dipakai Abdullah al-Misri belumlah sepadat yang dia idealkan, tapi ia sudah menambahkan unsur-unsur baru pada sejarah bahasa dan kesusastraan berbahasa Melayu. Bahasanya terasa sudah berkembang jauh dari karya Tun Sri Lanang, Sulalatus Salatin (1612)—yang terasa lebih arkais—bahkan lebih maju dibanding Tuhfat al-Nafis, yang ditulis Raja Ali Haji jauh lebih kemudian, menjelang akhir abad ke-19. Tentu saja kesimpulan saya ini harus dikaji lebih jauh.
Saya kira sumbangannya yang penting adalah keyakinannya (dan tantangannya) kepada para pengarang berbahasa Melayu kala itu untuk menggali potensi bahasa yang dia percayai juga bisa menjadi alat ucap bermutu tinggi. Itu bukan pekerjaan mudah dan masih terbuka sebagai tantangan.
Hikayat terkutip bisa dijadikan contoh metaforis oleh kita sebagai pemakai bahasa bagaimana bekerja dengan bahasa kita kini. Supaya bisa menghasilkan nas yang padat, kita harus bak seorang raja memerintahkan tujuh juru tulis, secara berlapis, memadatkan surat dari tiga belas baris menjadi tiga baris. Tanpa mengaburkan makna, bahkan sebaliknya: bertambah-tambah.
Karena itu, saya rasa penting diusulkan: lembaga-lembaga resmi mempekerjakan ahli bahasa—tak perlu sampai tujuh orang—agar berbagai kesalahan mendasar berbahasa pada teks-teks resmi lembaga resmi tak lagi terjadi. Jika Sultan Iskandar Zulkarnain saja begitu peduli terhadap bahasa dalam surat-surat resminya, kenapa kita penjunjung bahasa persatuan ini tak melakukan hal yang sama?
*) Penyair, juru sunting di situs www.haripuisi.com
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo