Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada sebuah sajak Chairil Anwar yang selalu diam-diam mengingatkan pembacanya akan Hari Paskah:
Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah
rubuh
patah
mendampar tanya: aku salah?
kulihat Tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah
terbayang terang di mata masa
bertukar rupa ini segera
mengatup luka
aku bersuka
Itu tubuh
mengucur darah
mengucur darah.
Sajak ini, “Isa”, tak ditulis seorang Kristen. Tak ada kata “salib” dan “penyaliban”, tak juga berbicara tentang dosa yang ditebus. Kata “tubuh” ditulis dengan “T”, tapi kita tak tahu adakah sajak ini berangkat dengan iman bahwa “Isa” adalah Tuhan.
Yang hadir dalam imajinasi kita adalah darah yang mengucur, luka pada tubuh, tubuh yang “rubuh” tak berdaya.
Kita hanya tertegun ketika muncul tanya: “aku salah?”.
Adegan kekerasan yang mengerikan itu agaknya membuat kita melihat ke diri sendiri—“aku berkaca dalam darah”—dan ragu: benarkah kita tak terlibat dalam dosa dan kesalahan ketika Tubuh itu menderita? Tak ada jawab. Adegan dengan cepat berpindah: “rupa” bertukar, cahaya jadi “terang”, dan “luka” yang mengucurkan darah itu “mengatup”. Dan rasa gembira datang….
Mungkin seorang Kristen akan melihat bahwa di sana yang tampak adalah kebangkitan kembali dari kematian, seperti dinujum: “Anak Manusia harus diserahkan ke tangan orang-orang berdosa dan disalibkan, dan akan bangkit pada hari yang ketiga.”
Tapi harus segera saya akui, saya tak menemukan latar theologi Kristen dalam sajak Chairil ini. Yang lebih terasa adalah pengungkapan empati dengan Tubuh yang dianiaya. Adegan penyaliban, bagi sajak ini, adalah kisah antarmanusia. Tuhan tak disebut-sebut.
Meskipun demikian, Chairil mengemukakan “Tubuh”—dari kesakitan yang sangat, dari darah yang mengucur—jadi sesuatu yang transendental. Di bagian tengah sajak, Tubuh yang berlumuran darah itu mampu memberi terang, “terbayang terang di mata masa”, dan seakan-akan membawa sebuah mukjizat: melahirkan diri yang baru, “bertukar rupa ini segera”.
Kita dipertemukan dengan kemampuan Isa melintasi apa yang terbatas. Horor dan kemurungan jadi sebuah harapan.
Dalam sebuah renungannya tentang penyaliban, G.K. Chesterton juga mengatakan, di saat itu, Yesus menerobos ketakutan kita sebagai manusia yang tak punya harapan, yang penuh dengan pesimisme. He passed in some superhuman manner through our human horror of pessimism.
Chesterton seorang sastrawan Katolik yang yakin. Dengan catatan: pengarang yang disebut “pangeran paradoks” ini akan bisa merisaukan para theolog umumnya ketika berbicara tentang kejadian dahsyat di bukit Golgotha itu: “Dunia terguncang dan matahari dihapus dari langit, bukan di saat penyaliban, melainkan di saat suara teriak dari tiang salib: teriak yang mengaku bahwa Tuhan telah ditinggalkan Tuhan.”
“Tuhan telah ditinggalkan Tuhan.” God was forsaken of God. Bagi sastrawan Inggris akhir abad ke-19 itu, agama Kristen adalah satu-satunya agama di mana Tuhan “seakan-akan sejenak jadi atheis”. Hanya iman kristiani yang merasa bahwa “Tuhan, untuk menjadi Tuhan sepenuhnya, harus jadi pembangkang dan sekaligus juga raja”.
Memang kita temukan sesuatu yang kontradiktif di sini. Tuhan, bagi Chesterton, sarat dengan ketakjelasan tentang diri-Nya dan ciptaan-Nya. “Tuhan bersabda… bahwa jika ada yang bagus tentang dunia… itu adalah kenyataan bahwa dunia tak dapat dijelaskan.” He insists on the inexplicableness of everything, kata Chesterton dalam pengantar Kitab Ayub, The Book of Job.
Kita tahu dari Alkitab bahwa Ayub disengsarakan Tuhan tanpa alasan apa pun: “Ayub mengajukan satu catatan pertanyaan; Tuhan menjawabnya [hanya] dengan seruan.” Dan kita ingat ade-gan di tiang penyaliban itu berakhir dengan pertanyaan. “…sekira-kira pukul tiga itu berserulah Yesus dengan suara yang nyaring, kata-Nya, ‘Eli, Eli, lama sabakhtani!’… Ya Tuhan-Ku, ya Tuhan-Ku, apakah sebabnya Engkau meninggalkan Aku?”
Ada terasa kepedihan di momen ini. Yesus tak menampilkan Tuhan yang di akhir narasi selalu menang; di sana yang hadir bukan Tuhan yang selalu benar dan selalu menghakimi. Yang hadir di momen itu, kata Slavoj Zizek dalam God in Pain, Tuhan yang “disakiti, yang menanggung beban penderitaan, dalam solidaritas dengan kesengsaraan manusia”.
Inilah Tuhan yang kini kita perlukan, kata Zizek—kita sebagai manusia yang penuh kontradiksi. Inilah Tuhan “yang sepenuhnya jadi manusia, teman seperjuangan di antara kita, disalibkan bersama dua orang yang terusir dari masyarakat”. “Penderitaan Tuhan,” tulis Zizek pula, “mengandung arti bahwa sejarah manusia bukan cuma sebuah teater bayangan, melainkan tempat perjuangan yang nyata, di mana Yang Mutlak sendiri terlibat, di mana nasibnya ditetapkan.”
kulihat Tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah
Kita tahu, kekejaman berulang kali terjadi…. Tapi manusia tak bersendiri; Tuhan ada di dalam dan di antara kita. “Aku bersuka,” kata sajak Chairil. Dan kita diingatkan Chesterton: Tuhan menerobos horor pesimisme yang merundung sejarah manusia.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo