Bank Mandiri belum lagi lahir, namun kisahnya sudah berjilid-jilid. Jika bank ini akhirnya terbentuk juga? menurut rencana terakhir, Mei 1999?mungkin sekali ia akan merupakan proyek percontohan untuk merger yang terjadi antara empat bank BUMN (Bapindo, Bank Bumi Daya atau BBD, Bank Exim, dan Bank Dagang Negara alias BDN).
Mereka sakit parah. Beberapa di antaranya menunjukkan bagaimana celakanya main-main dengan uang mudah?gejala moral hazard itu. Sekadar contoh, US$ 500 juta uang BBD dan BDN terbenam dalam proyek mobil yang ditangani PT Timor Putra Nasional. Kita tahu gagalnya. Lalu Rp 1,3 triliun uang Bapindo ditelan proyek Golden Key milik Eddy Tansil?sebuah skandal nasional. Terakhir Bank Exim: ia merugi US$ 2,23 miliar dalam perdagangan valuta asing.
Sampai detik ini, upaya mengatasi kegagalan itu telah melalui empat tahap. Diawali dengan nama Bank Catur, kemudian berganti menjadi Bank Mandiri, lalu gagasan merger dilupakan dan pemerintah menunjuk Bank Exim untuk mengakuisisi ketiga bank lainnya. Gagasan ini gugur. Maka pemerintah kembali ke rencana merger, dan juga kembali mengandalkan Robby Djohan?setelah yang disebut terakhir ini sebentar duduk untuk membereskan keadaan Garuda Indonesia.
Agar bisa beroperasi secara sehat, Bank Mandiri memerlukan suntikan dana Rp 100 triliun. Ada 20 persen yang akan ditutup dengan injeksi tunai dari pemerintah. Sisanya dari obligasi. Rencana ini masuk akal, tapi ada juga suara yang mencurigai bahwa merger dipercepat?rencana semula dua tahun?dalam upaya menghapus kredit macet dari anak-anak mantan presiden Soeharto dan kroni-kroninya di empat bank BUMN tersebut. Diperkirakan, seluruh aset empat bank BUMN akan dialihkan ke AMU (Asset Management Unit), dan dalam proses itulah jejak kredit macet Keluarga Cendana akan terhapus begitu saja.
Dengan kata lain, debitur akan terbebas dari kewajiban melunasi utang. Padahal, kalau tanpa merger, mereka paling tidak harus berhadapan dengan pengadilan niaga. Namun adakah pilihan lain setelah nasi sudah menjadi bubur? Ada yang mengatakan, dan cukup masuk akal, agar bank yang sakit dibiarkan ambruk. Tetapi yang sakit adalah bank-bank publik, juga aset mereka adalah aset negara. Sementara itu, pemerintah cenderung untuk tidak mau drastis. Memang, bagi mereka yang melihat pasar sebagai cara peneyelaian terbaik, ini terlalu protektif. Tetapi sikap protektif tak perlu mencemaskan. Asal dengan batas waktu, batas pendanaan, dan ada pengawasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini