Dalam demokrasi ada sistem dua partai atau sistem multipartai. Di negara totaliter ada partai tunggal: partai negara. Dalam negara otoriter: ada partai yang "satu setengah". Inilah yang terjadi di bawah kendali Orde Baru dan Soeharto: Golongan Karya (Golkar) itu?seraya malu-malu?sebenarnya partai negara juga, penguasa tunggal. Tapi sekaligus ada dua partai lain yang ibarat satelit, atau cuma jadi pemantas, atau tak lebih berarti dari separuh partai saja.
Semestinya, dengan tidak adanya lagi penguasa tunggal Soeharto, Golkar juga ikut buyar dengan sendirinya karena ideologi Golkar sebenarnya cuma melayani kekuasaan otoriter semata. Tetapi ternyata Golkar belum mau mati dan juga?agak berlainan dengan kerakap di atas batu?tidak enggan untuk hidup terus.
Golkar, dengan mengaku sudah mereformasi diri, menganggap sudah lepas dari kesalahan lama. Meminta maaf kepada masyarakat pun dia tak mau. Tetapi, selain dari dosanya, memang sementara ini modalnya masih yang terbesar dibandingkan dengan semua partai lainnya. Berguna tidaknya kelebihan itu akan terbukti dalam pemilihan umum yang akan datang. Harus diingat, Golkar sebetulnya cuma ahli dalam menumpang pada kekuasaan, dan belum berpengalaman menarik sendiri dukungan sukarela. Jadi, kalau pemilih tidak terpaksa lagi menusuk tanda gambar beringin, perolehan suara pasti anjlok. Belum lagi dihitung anggota yang keluar untuk mendirikan atau bergabung dengan partai lainnya.
Di antara yang keluar ialah Jenderal (pensiun) Edi Sudradjat dan kawan-kawan, untuk membentuk Partai Keadilan dan Persatuan. Partai yang juga dimotori tokoh seperti Siswono dan Hayono Isman ini tersendat-sendat lahirnya. Maklum, para pemimpinnya belum terbiasa berjiwa bebas, dan potensinya pun masih disangsikan. Langkahnya berubah-ubah. Dimulai dari kegagalan mengambil alih kepemimpinan Golkar sendiri, lalu berbelok sebentar jadi gerakan moral, dan sekadar berfungsi menyusun platform politik bagi yang membutuhkannya (siapa?), akhirnya baru memutuskan menjadi partai di luar Golkar.
Pengaruh negatif partai para pecundang Akbar Tandjung ini barangkali tidak parah benar. Golkar mungkin lebih terganggu dengan dilarangnya pegawai negeri jadi anggota, ditariknya dukungan ABRI, atau oleh berita bahwa Menteri Adi Sasono hendak menyiapkan saluran politik sendiri. Bagaimanapun, cukup jelas tanda-tanda pohon beringin rimbun itu bisa jadi puso sebentar lagi. Kalau tak percaya, cobalah lihat hasilnya andaikata Golkar juga diharuskan?supaya adil terhadap partai yang baru?untuk membuat registrasi ulang anggotanya sebelum ikut pemilihan umum. Mau?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini