Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun dikhawatirkan, pemilu tahun depan bukannya memantapkan proses reformasi, tapi justru melanggengkan status quo. Bukannya pemilu yang proreformasi, tapi malah antireformasi. Kekhawatiran itu berpangkal pada seperangkat draf undang-undang partai politik, pemilu, dan susunan/kedudukan DPR/MPR yang sekarang sedang diperdebatkan.
Banyak kritik dilontarkan terhadap draf itu, terutama mempersoalkan sistem yang direncanakan untuk dipakai--sistem distrik yang disempurnakan--serta persyaratan berat yang diberlakukan pada partai untuk menjadi konstestan pemilu. Kedua hal tersebut dianggap hanya akan menguntungkan Golkar dan merugikan partai baru, apalagi yang relatif kecil.
Kekhawatiran lain dialamatkan kepada peluang yang diberikan ke pemerintah untuk berperan sebagai badan penyelenggara pemilu. Sedangkan kritik lain yang amat serius diarahkan kepada gagasan untuk memberikan porsi 55 kursi secara gratis kepada ABRI di DPR, atau 10 persen dari keseluruhan kursi--sebuah syarat minimal bagi setiap kontestan pemilu--kalau tidak ingin dipaksa merger.
Kritik dan kekhawatiran ini memang wajar. Di mata masyarakat pada umumnya, Golkar maupun ABRI masih merepresentasikan kepentingan status quo. Walaupun para pemukanya telah menyatakan dirinya reformis sejati, tidak bisa dimungkiri bahwa Golkar maupun ABRI adalah sasaran utama untuk direformasi. Karena itu, perangkat draf perundangan politik yang menguntungkan mereka wajar dicurigai sebagai instrumen untuk melanggengkan status quo.
Jadi, tidak aneh kalau banyak partai politik baru mempertanyakan dari mana landasan pemberian 55 dari 550 kursi DPR kepada ABRI. Kalau satu kursi nilainya rata-rata 400.000, itu berarti ABRI mempunyai 22 juta suara. Padahal anggota ABRI cuma sekitar 500.000 orang. Jadi satu orang anggota ABRI bernilai sama dengan 44 rakyat biasa. Ini tidak hanya melanggar sense of justice, tapi juga common sense kita. Ini bukannya urusan ringan, karena ke-55 wakil ABRI tersebut akan menjadi satu blok dalam pemilihan presiden kelak.
Mari kita lanjutkan argumen kita tentang bahaya pemilu yang antireformasi lewat hitung-hitungan sederhana. Menurut draf yang sedang diperdebatkan itu, MPR (lembaga yang akan memilih presiden pada akhir 1999) yang baru akan terdiri dari 700 kursi, termasuk 150 kursi non-DPR yang mencakup 81 utusan daerah dan 69 utusan golongan. Persoalannya, 81 utusan daerah tersebut kabarnya akan ditentukan oleh DPRD hasil pemilu 1997.
Sepintas lalu, hal ini tampak sebagai kemajuan, karena sebelum ini presidenlah yang mengangkat utusan daerah yang akan memilih presiden berikutnya (dalam praktek, presiden yang itu-itu juga). Tetapi DPRD hasil pemilu 1997, yang sarat dengan kecurangan, didominasi Golkar. Maka merekalah yang akan menentukan sebagian besar kalau tidak semua utusan daerah.
Anggaplah 81 kursi ada di tangan para pendukung status quo. Lalu dari mana 69 utusan golongan yang juga kelak akan turut memilih presiden baru? Apakah dari organisasi macam FSPSI (buruh), HKTI (tani), KNPI (pemuda), yang kita ketahui adalah hasil rekayasa politik masa lalu dan juga mencerminkan status quo?
Dengan latar ini, para pendukung status quo kemungkinan besar juga akan memperoleh 69 kursi dari utusan golongan. Ini berarti, praktis 50 kursi MPR yang non-DPR akan jatuh ke pihak pendukung status quo. Bila ditambah dengan 55 kursi ABRI, kekuatan status quo sudah memiliki 205 kursi di tangan mereka.
Untuk memilih presiden, diperlukan 351 kursi dari 700 kursi MPR. Alhasil, Golkar hanya perlu memenangkan 146 kursi dari 495 kursi DPR yang diperebutkan dalam Pemilu 1999 agar dapat memilih presiden yang diinginkannya. Golkar tak perlu lagi menang mutlak 70 persen--seperti pemilu lalu--karena ia hanya butuh sekitar 30 persen suara pemilih.
Tapi bukankah Golkar sudah "habis" dan ditinggalkan masyarakat? Tunggu dulu. Bagaimanapun, "mesin politik" Golkar sampai ke tingkat daerah dan lokal masih bisa dipergunakan. Adapun partai baru, jangankan punya "mesin politik" di daerah, dikenal pun belum. Apalagi kalau mau melakukan "politik uang" seperti yang selama ini dipraktekkan Golkar. Politik uang tentu tidak terpuji, tapi bisa sangat efektif di tengah kesulitan ekonomi yang dialami rakyat saat ini.
Jika dibuat perbandingan antara peluang pihak kekuatan pro-status quo dan peluang partai lain untuk memilih presiden, peluang yang disebut terakhir ini kecil sekali. Karena itu, dalam pemilihan presiden, partai lain seperti menjalankan mission impossible. Satu-satunya jalan adalah partai-partai proreformasi merapatkan barisan di belakang salah satu calon presiden.
Jika tidak, jangan heran kalau pemilu yang akan datang tidak menghasilkan badan perwakilan yang proreformasi. Pimpinan nasional yang akhirnya terpilih juga tak berwibawa dan tak dipercaya. Dan pemilu yang mahal itu gagal memenuhi harapan masyarakat.
*Bekerja sebagai Research Fellow, Asia Research Center, Murdoch
University, Australia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo