Sekarang ini ada dua kelompok politik yang bermain: kelompok mahasiswa dan kelompok Ciganjur (Gus Dur, Megawati, Amien Rais, dan Sultan Hamengku Buwono X). Mereka bermain secara terpisah, meskipun sebenarnya keduanya saling memerlukan.
Para mahasiswa memainkan peran sebagai pendobrak untuk membuat terobosan politik. Mereka ibarat pasukan komando yang bertugas menghancurkan lini pertahanan pertama musuh, supaya pasukan teritorial bisa masuk dan membenahi wilayah yang baru diduduki. Kelompok Ciganjur adalah pasukan teritorialnya. Dengan dukungan masyarakat yang terorganisasi, mereka berpolitik untuk jangka panjang. Sedangkan mahasiswa dengan sengaja menolak organisasi formal.
Sebagai kekuatan pendobrak, mahasiswa berhasil menjalankan perannya dengan baik. Ada dua gelombang aksi mahasiswa. Yang pertama pada bulan Mei, dengan sasaran Soeharto turun. Klimaksnya, Suharto jatuh. "Pasukan teritorial" kemudian mulai bekerja membenahi lapangan: partai-partai baru didirikan, pers mulai mengkritik, dan sabagainya.
Gelombang kedua merupakan gerakan protes terhadap dilangsungkannya Sidang Istimewa MPR. Sasaran politiknya: Habibie mundur, dwifungsi ABRI hapus, Soeharto diadili. Klimaksnya: Semanggi berdarah, dengan korban yang lebih banyak. Sasaran ini tampaknya lebih sukar dicapai. Barangkali mahasiswa sekarang harus mempertimbangkan untuk berkoalisi. Dengan siapa?
Kelompok Ciganjur mungkin adalah jawabannya. Karena, kalau kedua kekuatan ini bisa bergabung, apa yang diinginkan mahasiswa mungkin bisa menjadi kenyataan. Apalagi kalau ada kelompok ABRI yang ikut mendukung.
Usaha mempersatukan mahasiswa dan kelompok Ciganjur terus dilakukan. Misalnya, begitu terjadi penembakan di kampus Atma Jaya, Ratna Sarumpaet segara bergerak menghubungi kelompok Ciganjur. Sayangnya usaha ini tidak membuahkan hasil. Ratna ditolak, baik oleh petugas yang menjaga Gus Dur maupun Megawati. Petugas Gus Dur mengatakan bahwa Ketua Pengurus Besar NU ini sedang kritis kesehatannya, tidak bisa diganggu dengan soal-soal politik, karena perlu istirahat total. (Ternyata ini tidak benar, karena pada malam itu Gus Dur membuat pernyataan politik menyesalkan penembakan mahasiswa.) Sedangkan petugas yang menjaga Mega mengatakan, "Mbak Mega sedang istirahat. Tidak bisa diganggu sampai beliau bangun sendiri." (Keterangan ini membuat Ratna berteriak, "Masa, calon presiden RI tidak bisa dibangunkan sementara rakyatnya sedang ditembaki?") Kegagalan yang terjadi di tingkat petugas ini menunjukkan bahwa dalam keadaan gawat para tokoh Ciganjur belum menyediakan sarana bagaimana mereka bisa dihubungi secara efektif. Sultan, yang juga dihubungi, tidak ada di tempat, sedangkan Amien Rais hanya mau datang kalau didampingi oleh salah satu tokoh Ciganjur yang lain. (Hal ini menunjukkan Amien belum bisa mengambil keputusan yang strategis dalam keadaan darurat.) Maka mahasiswa pun ditinggalkan lagi sendirian, dalam keadaan lelah dan sedang digebuki.
Tapi mereka belum menyerah. Dengan tenaga yang masih tersisa, puluhan ribu mahasiswa bergerak untuk menduduki Gedung MPR. Ada sebuah skenario yang diharapkan bisa terjadi: Kalau ada banyak mahasiswa yang menduduki gedung tersebut, mungkin keempat tokoh Ciganjur mau datang ke sana untuk menyatakan bahwa mereka mewakili rakyat dan menuntut Presiden Habibie mundur. Tapi, menjelang malam Minggu tanggal 14 November, makin jelas bahwa skenario ini tidak akan terjadi. Para tokoh Ciganjur tampaknya belum siap bergabung dengan para mahasiswa. Ada yang langsung menolak, ada yang memberikan syarat-syarat yang pada dasarnya mengatakan tidak. Akibatnya, para mahasiswa yang sudah terlalu lelah, dan sekarang dikecewakan, mulai pulang meninggalkan Gedung MPR yang belum mereka masuki itu.
Apa yang terjadi? Mengapa tokoh-tokoh Ciganjur tak bersedia datang?
Jawabnya, karena belum ada skenario bersama yang disepakati. Ketika pendobrakan terjadi, pasukan teritorial belum siap. Para mahasiswa tampaknya belum sadar akan keterbatasan peran mereka sebagai pendobrak. Mereka mengira bahwa mereka bisa juga membereskan hal-hal yang bersifat teritorial. Karena itu mereka tidak merasa perlu bekerja dengan kelompok Ciganjur yang lebih memiliki sarana organisasi yang lebih lengkap.
Meskipun belum ada skenario bersama yang disepakati, ini bukan hambatan bagi politisi profesional. Karena mereka seharusnya terampil untuk memanfaatkan kesempatan yang datang secara tiba-tiba dan tidak terduga. Politik tidak bisa dilakukan hanya dengan mengandalkan skenario yang jelas yang tinggal diikuti saja. Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa tokoh-tokoh kelompok Ciganjur bukanlah aktor politik yang profesional. Mereka telah gagal memanfaatkan momentum yang ditawarkan oleh sejarah. Mengapa?
Salah satu penjelasan adalah karena keempat tokoh kelompok Ciganjur memang tidak biasa dengan politik yang didasarkan pada pengerahan massa. Gus Dur, Mega, dan Sultan merupakan pemimpin yang mendapatkan peran tersebut melalui jalur "putra mahkota". Mereka bukan aktivis yang sudah biasa bekerja dengan massa. Sedangkan Amien Rais lebih merupakan seorang akademisi yang biasa bekerja sendiri melalui pemikiran-pemikirannya. Dalam menghadapi situasi ketika akan terjadi pertarungan kekuatan di lapangan, mereka cenderung menghindarkan diri dengan alasan supaya tidak terjadi "kekacauan sosial yang tidak terkendali". Sulit sekali bagi mereka untuk melihat peristiwa Semanggi berdarah sebagai peluang politik untuk memantapkan diri sebagai pemimpin rakyat yang mempunyai legitimasi.
Ketika sejarah memberikan para tokoh Ciganjur peluang untuk memimpin sebuah perubahan besar, mereka gagal menjawabnya dengan baik. Seperti yang dikatakan seorang pujangga, sejarah telah mengetuk pintu kamar kita, tapi sayangnya tidak ada orang yang sanggup menyambutnya. Kita tidak tahu kapan lagi dia akan kembali mengetuk. Pemimpin, di manakah gerangan kau?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini