Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG detektif adalah seorang manusia modern. Ia hidup di masa ketika dunia tak lagi terpukau sihir, di zaman Entzauberung der Welt, kata Max Weber, ketika kepercayaan kepada yang magis surut dan dewa dan para jin kehilangan peran, ketika bencana alam dan pembunuhan tak diperlakukan sebagai “misteri”, melainkan “problem” untuk dipecahkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi itu juga sebabnya cerita detektif (atau laporan jurnalistik pembunuhan Brigadir Y) mengasyikkan. Seorang detektif bermula dari tak tahu. Ia mengatasi ketaktahuan itu bukan dengan datang ke dukun—hal-hal yang baginya hanya dipercayai manusia pra-modern. Dalam Anjing Setan (The Hound of the Baskervilles) karya termasyhur Sir Arthur Conan Doyle, detektif Sherlock Holmes mengalahkan takhayul dengan penelaahan yang rasional; tanpa simsalabim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang detektif mulai bekerja dengan bertanya. “Siapa yang melakukannya?”; “Siapa yang membunuh?”; “Apa motifnya?”. Ia pun menyidik. Menyidik, baginya, adalah menyorot sesuatu yang spesifik dan sekaligus menganalisis tokoh, korban, motif, kejadian. Analisis membuahkan detail. Sang detektif cermat akan hal-hal yang sepintas tampak sepele—bercak darah di baju, bentuk luka tembak, abu rokok di meja, bekas lumpur di kaki—seraya bekerja setapak demi setapak.
Sejak Edgar Allan Poe menulis cerita “The Murders in the Rue Morgue” di tahun 1841—dan dianggap sebagai pemula jenis bacaan ini—bekerja setapak demi setapak adalah ikhtiar tekun seorang pemikir empiris yang rasional, mirip ilmuwan. Poe menyebutnya ratiocination.
Tokohnya, Auguste Dupin, memecahkan teka-teki terbunuhnya Nyonya L’Espanaye dan putrinya, Nona Camille L’Espanaye, di sebuah rumah bertingkat empat di Rue (“jalan”) Morgue di Paris.
Dupin mengunjungi sendiri tempat kejadian. Di rumah orang kaya itu segala berantakan, tapi tak ada barang yang hilang. Ada sejumput rambut di tangan korban (ternyata bukan rambut manusia) dan ada jejak jari yang ganjil yang mencekik Nona L’Espanaye. Setelah membaca berita ada seekor orang utan yang lepas dari kurungan, Dupin menyimpulkan: pelaku kekejaman yang brutal itu si hewan dari Indonesia (“East Indies”) yang baru dibawa dengan kapal ke Paris.
Dupin tak bekerja dengan berkeringat. Yang ada padanya bukan otot, mesin, dan senjata, melainkan yang oleh Poe disebut “higher powers of the reflective intellect”, kemampuan tingkat tinggi kecerdasan berpikir.
Pola yang sama kita lihat dalam Hercule Poirot, detektif ulung rekaan Agatha Christie. “Orang tak hanya menggunakan otot,” ujar Poirot. “Aku tak perlu membungkuk untuk mengukur jejak kaki dan memungut puntung rokok, atau memeriksa rumput yang bengkok. Cukup bagiku duduk di kursi dan berpikir.”
Pernyataan Poirot dalam Five Little Pigs yang terbit di tahun 1942 ini memperlihatkan keyakinan—atau keangkuhan?—dunia modern yang diwakili para detektif: rasio atau intelek adalah sarana utama di dunia, mengatasi pancaindra. Sang penyidik seakan-akan bekerja tanpa tubuh. Deskripsi Agatha Christie tentang Poirot menampakkan detektif lajang setengah baya ini bukan satu energi fisik. Ia tutupi badannya dengan pakaian rapi. Kata sahabatnya, Hasting (dengan agak berlebihan), sebutir debu yang menempel di kulit Poirot akan lebih menyakitinya ketimbang segores luka. Detektif tersohor ini bepergian ke segala penjuru sembari seakan-akan mengurung tubuhnya sendiri. Ia enggan meng-alam-i. Artinya ia seakan-akan tak menyentuh alam. Ia benci laut, karena ia gampang mabuk. “It is this villainous sea that troubles me!” katanya suatu ketika.
Dari sisi ini sikap Poirot bisa dilihat sebagai kelanjutan semboyan Descartes ketika modernitas mulai menguat di Eropa abad ke-17: “aku berpikir” adalah awal segalanya. Cogito ergo sum. Poirot mengklaim dengan hanya sejumput kecil sel-sel otaknya, “little grey cells”, ia sanggup memecahkan kasus-kasus besar.
Kita pun teringat Sherlock Holmes, detektif ulung ciptaan Sir Arthur Conan Doyle. Dalam A Study in Scarlet yang pertama kali terbit pada 1887, Holmes berkata: “Dari setetes air, seorang pakar logika dapat menyimpulkan kemungkinan adanya sebuah lautan Atlantik atau sebuah jeram Niagara, tanpa pernah melihat atau mendengar samudra dan air terjun itu.”
Bagi Holmes pada mulanya adalah “data”, bukan benda konkret. Dari data ia membangun theori dan mengkonstruksi cerita. “Data, data, data! Aku tak bisa bikin bata tanpa lumpur!” katanya (dalam film Sherlock Holmes 3, Holmes, diperankan Robert Downey Jr., mengucapkan kalimat itu sambil duduk di kamarnya, memegang satu alat semprot laboratorium).
Ia mirip komputer. Dokter Watson, sahabat setianya, memang menggambarkan Holmes sebagai “mesin hitung”, a calculating machine. Pada saat yang sama penyendiri yang piawai dalam ilmu kimia dan anatomi ini tak akrab dengan manusia yang rumit seperti dalam sastra dan politik. Kisah-kisah Sherlock Holmes meninggalkan kesan yang membekas tentang proses pemecahan problem yang mendebarkan—sementara kita lupa akan tubuh yang dirusak pembunuhan, teror, dan rasa sakit dalam tragedi yang disebut “kriminalitas”.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo