Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBAGAIMANA resolusi Kelompok Pakar Nama Geografis Perserikatan Bangsa-Bangsa, setiap negara perlu membakukan nama wilayah asing (eksonim) ke dalam bahasanya. Kita pun melakukan itu. Namun, dalam beberapa kasus, perumusan eksonim berbahasa Indonesia masih simpang siur. Padahal konsistensi merupakan kunci agar suatu bahasa mudah dipelajari. Makin sedikit perkecualian, makin kokoh bangunan suatu bahasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itu tampak, misalnya, pada eksonim berunsur huruf q. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V daring mengentri Irak (Iraq) dan Mozambik (Mozambique). Pada keduanya, bunyi dan ejaan q(ue) diubah menjadi k. Berbarengan dengan itu, KBBI mengakui Qatar. Mengapa bukan Katar? Apakah karena “katar” sudah mengemban makna lain, yakni “perahu layar”? Apabila benar begitu, konteks dan kapitalisasi huruf pertama pada nama diri (proper name) tampaknya tiada banyak berguna. Bahasa Indonesia pun sejak dulu akrab dengan konsep homonimi. Lagi pula tak ada konotasi negatif atas makna itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal serupa terjadi pada eksonim yang mengandung deret konsonan berhuruf h. KBBI menghilangkan h pada Afganistan, Etiopia, Kazakstan, Lituania, tapi mempertahankannya pada Bangladesh, Bhutan, Ghana, dan Lesotho. Kecuali Afganistan, eksonim-eksonim tersebut diserap dari bahasa sumber yang sama, yakni Inggris. Badan Bahasa tentu bisa bersembunyi di balik “sifat unik” nama diri. Namun terlalu banyak perkecualian justru membingungkan pengguna bahasa karena mengaburkan pola.
Sejak Ejaan yang Disempurnakan diresmikan (1972), kluster ch tidak berlaku lagi. Jadi Chile dan Chili kita eliminasi, tersisa Cile (mengikuti bunyi bahasa asal, bahasa Spanyol) dan Cili (mengikuti bunyi bahasa Inggris). Pertanyaannya: eksonim ini kita ambil langsung dari bahasa asalnya atau melalui bahasa Inggris? Dengan mengentrikan Cile, Badan Bahasa tampak berpihak pada bunyi bahasa asal. Namun, entah apa landasannya, dalam KBBI tersua pula Chili. KBBI justru mendua terhadap eksonim yang jelas-jelas ejaannya sudah mati pajak.
Untuk wilayah kepangeranan di tepi Sungai Rhein (atau Rein?), KBBI mengadopsi Liechtenstein mentah-mentah. Eksonim itu membuat patah-patah lidah orang Indonesia bila melafalkannya. Padahal Badan Bahasa cuma perlu menentukan mau menyerap dari bahasa mana. Inggris atau bahasa lokal, Jerman? Dalam bahasa Inggris, ch pada silabel lich- dilafalkan seperti huruf k. Dalam bahasa Jerman dibunyikan seperti huruf h. Dengan demikian, KBBI punya pilihan: Liktenstein atau Lihtenstein. Keduanya jelas “mengindonesia” berdasarkan ejaan dan lafal.
Eksonim berakhiran –land dalam bahasa Inggris lazim menjadi –landia dalam bahasa kita, misalnya Finlandia (Finland), Irlandia (Ireland), Islandia (Iceland), Polandia (Poland), Selandia Baru (New Zealand), dan Skotlandia (Scotland). Menariknya, pola ini ternyata tidak sampai menyentuh tetangga kita. Sehari-hari kita tetap menggunakan Thailand, sekalipun—cukup membuat saya tercenung—KBBI daring ataupun luring belum mengentri eksonim ini. Agar pola terjaga, ke depan, bagaimana kalau kita memadankannya jadi Tailandia (kebetulan dalam bahasa Spanyol juga begini), mencerabut bunyi h dan menanam unsur –ia? Sama halnya Somaliland, diadaptasi jadi Somalilandia.
Bagaimana dengan Greenland? Menggunakan eksonim ini mentah-mentah berarti memberhalakan bahasa Inggris tanpa juntrungan yang jelas. Kita bisa mengadaptasi ejaannya jadi Grinlandia. Namun kita juga pernah akrab dengan sebutan Tanah Hijau. Terjemahan itu sering terbaca—diapit oleh tanda kurung di bawah nama Greenland—pada sejumlah atlas. Lagi pula Naftali Kadmon (2006), pakar toponomastika berkebangsaan Israel, mengatakan bahwa eksonim yang cocok diterjemahkan adalah eksonim yang makna unsur-unsur leksikalnya bisa ditemukan dalam kamus umum—misalnya seperti Pantai Gading (Côte d'Ivoire). Lantas mana yang akan kita pilih? Lagi-lagi tentu konsensus masyarakatlah yang menjadi indikatornya.
Eksonim berunsur “new” dalam bahasa Inggris berubah menjadi “baru” dalam bahasa Indonesia. Untuk ini kita punya Kaledonia Baru dan Selandia Baru, bukan New Caledonia dan New Zealand. Namun, meskipun sama-sama berada dalam wilayah Oseania, perlakuan kita terhadap Papua New Guinea berbeda. Bukan menerjemahkannya, kita justru mengadaptasi ejaannya menjadi “nu”. Pengadaptasian ejaan “guinea” menjadi “gini” patut diapresiasi. Apabila bersungguh-sungguh soal konsistensi, kita seharusnya membakukannya sebagai Papua Gini Baru.
Uniknya, “gini” cuma berlaku bagi tetangga kita itu saja. Kita tetap mengadopsi Guinea (terentri dalam KBBI), Guinea-Bissau, dan Guinea Khatulistiwa. Apabila “gini” pada Papua Nugini bisa diterima masyarakat, mengapa tidak kita coba menerapkannya pada negara-negara di Afrika sana? Mencontoh peluluhan bunyi s pada Rusia (Russia), “bissau” bisa kita eja “bisau”; Gini-Bisau.
Terakhir, yang tidak kalah mengherankan, negara yang menjadi markas bagi enam badan khusus PBB belum terentri eksonimnya dalam KBBI daring ataupun luring. Bisa-bisanya negara sepenting itu luput dari “pengawasan” KBBI. Atau, jangan-jangan, sebagaimana kita, KBBI sendiri bingung mau membakukannya dengan s tunggal atau ganda. Swiss lebih lazim digunakan selama ini dan muncul dua kali dalam definisi lema “dadaisme” dan “saanen”. Namun apakah bahasa Indonesia mengakomodasi pembunyian s ganda?
Setelah terbang ke sana-kemari, menyambangi satu negara dan negara lain, tamasya kita perlu diakhiri. Waktunya pulang. Oleh-oleh pun, toh, sudah kita angkut: sejumput eksonim yang masih perlu dibenahi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo