Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPALA Staf Kepresidenan Moeldoko sesungguhnya sedang mengecilkan dan menghina dirinya sendiri ketika cawe-cawe urusan charger mobil listrik. Pembantu presiden yang semestinya mengurus hal-hal strategis itu diketahui menekan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral agar mengabulkan permintaan produsen mobil listrik asal Cina, Wuling Motors, supaya sistem pengisian ulang baterai kendaraan listrik mereka diadopsi ke dalam Standar Nasional Indonesia (SNI).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Permintaan itu disampaikannya setelah Kementerian Energi menerbitkan surat peringatan karena spesifikasi pengisi daya baterai mobil listrik Wuling tidak sesuai dengan SNI sehingga bisa merugikan dan membahayakan publik. Sudah seharusnya semua produsen kendaraan listrik, tanpa terkecuali, tunduk pada standar itu. Perlakuan khusus pada satu perusahaan bisa merugikan konsumen dan merusak iklim investasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sistem pengisian ulang baterai kendaraan listrik Wuling memang berbeda dibanding charger mobil listrik produsen lain. Umumnya pabrik mobil listrik memakai combined charging system 1 atau 2 (CCS1/CCS2). Wuling satu-satunya yang menggunakan charger GB/T.
Perusahaan itu mengklaim sistem pengisian ulang baterai mereka sudah mengikuti standar pabrik di Cina. Sedangkan Peraturan Menteri Energi Nomor 1 Tahun 2023 tentang infrastruktur listrik untuk kendaraan berbasis baterai mengadopsi standar global.
Moeldoko kemudian ikut campur. Kepala Staf Kepresidenan yang menjadi Ketua Umum Perkumpulan Industri Kendaraan Listrik Indonesia ini meminta Menteri Energi Arifin Tasrif mengakomodasi kepentingan Wuling. Sejumlah dokumen surat-menyurat menguatkan intervensi Moeldoko tersebut.
Semestinya Moeldoko memaksa Wuling patuh pada aturan yang dibuat Kementerian Energi. Sikapnya membela Wuling justru membuat mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia itu mudah dituduh membekingi perusahaan tersebut. Sebagai ketua perkumpulan industri, Moeldoko juga semestinya adil terhadap semua anggotanya.
Posisi sebagai Kepala Staf Kepresidenan sekaligus Ketua Umum Perkumpulan Industri Kendaraan Listrik Indonesia membuat Moeldoko terlibat konflik kepentingan. Moeldoko memang pendiri dan pemilik PT Mobil Anak Bangsa Indonesia, produsen mobil listrik. Jika ingin berbisnis, seharusnya ia mengundurkan diri sebagai pembantu presiden. Presiden Joko Widodo, anehnya, juga membiarkan anak buahnya menjalankan posisi rangkap tersebut.
Menteri Arifin Tasrif tak perlu gentar menghadapi intervensi Moeldoko. Sebagai regulator, ia selayaknya menjaga transparansi dan keadilan regulasi. Arifin harus mengabaikan surat Moeldoko dan berpihak kepada kepentingan publik.
Pemberian hak istimewa—apalagi jika ada imbalan—pada satu entitas bisnis akan menciptakan hubungan tidak sehat antara pihak swasta dan pemerintah. Praktik ini bisa membuat regulator disetir agar melayani kepentingan perusahaan—laku korupsi yang bisa merugikan negara dan konsumen.
Produk yang tidak memenuhi syarat SNI pun dapat merepotkan orang banyak. Dalam hal mobil listrik, konsumen Wuling akan repot karena harus memakai converter agar bisa mengisi ulang daya di stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) yang disediakan Perusahaan Listrik Negara dan swasta. Keamanan converter masih dipertanyakan.
Penyedia SPKLU juga bakal rugi bila sistem pengisian ulang baterai Wuling diadopsi ke dalam SNI. Sebab, jika permintaan Moeldoko dipenuhi, SPKLU wajib menyediakan stasiun khusus yang cocok dengan charger baterai Wuling. Pengusaha mesti mengeluarkan biaya lebih untuk investasi.
Regulasi yang menguntungkan satu pihak menjadi sinyal buruk bagi investor yang akan menanamkan duitnya di Indonesia. Padahal selama ini Presiden Jokowi selalu menggembar-gemborkan pentingnya investasi. Salah satu prasyarat menggaet investor adalah kejelasan aturan main, keadilan, dan transparansi.
Intervensi Moeldoko meminta perubahan standar sistem pengisian ulang listrik demi kepentingan Wuling jelas mengeruhkan iklim investasi itu. Cawe-cawe Moeldoko juga wujud lemahnya komitmen pemerintah menjaga tata kelola pemerintahan yang transparan, bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kepala Staf Urusan Wuling"