Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sebaiknya membatalkan niat membuat Undang-Undang Permusikan. Selain tidak urgen, proses penyusunan undang-undang ini bermasalah sejak awal.
Lihat saja naskah akademik Rancangan Undang-Undang Permusikan yang menjadi dasar penyusunan aturan itu. Penyusunnya mengutip makalah pelajar sekolah menengah kejuruan di sebuah blog sebagai salah satu landasan konsep. Tak ada satu pun kajian ilmiah yang dirujuk sebagai acuan.
Tak mengherankan jika banyak pasal dalam rancangan itu membuat kening berkerut. Yang paling sering dipersoalkan adalah “pasal karet” yang melarang musikus menciptakan lagu yang memprovokasi pertentangan antarkelompok dan antarsuku. Bagian lain melarang lagu yang membawa pengaruh negatif budaya asing. Pelanggaran atas aturan itu bisa dipidana. Ada kabar, pasal itu disalin mentah-mentah dari Undang-Undang Perfilman. Jika disahkan, pasal-pasal itu akan menjadi pintu masuk untuk memberangus karya seni.
Kelemahan rancangan undang-undang ini juga tecermin dalam pasal-pasal yang mengatur aspek komersial musik. Penyusun rancangan aturan ini tampak tak paham cara kerja pasar musik karena hanya mengakui distribusi musik oleh label rekaman atau penyedia konten musik digital. Padahal separuh industri musik Indonesia diisi label independen, yakni pemusik atau grup musik yang menerbitkan sendiri karyanya. Lagi-lagi, jika dibiarkan, industri musik kita bisa kolaps.
Yang lebih aneh, rancangan undang-undang ini juga berisi pasal yang mewajibkan uji kompetensi dan sertifikasi bagi musikus—syarat yang tak ada bandingannya di negara mana pun. Hal-hal teknis yang terlampau detail, seperti penetapan standar honor pelaku musik, juga kewajiban bagi restoran dan hotel memainkan musik tradisional, malah masuk naskah. Ini jelas mengada-ada.
Selain itu, banyak pasal dalam Rancangan Undang-Undang Permusikan sudah diatur lebih baik di undang-undang lain. Hak cipta musik, misalnya, sudah dengan detail diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1990 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam. Dengan begitu, Undang-Undang Permusikan hanya menambah garam di lautan.
Musik adalah produk kebudayaan. Mengaturnya secara rigid bisa membelenggu kreativitas para penggiat kesenian. Pemahaman itulah yang tidak ada di benak para anggota parlemen yang menggagas rencana peraturan tersebut. Itulah kenapa naskah Rancangan Undang-Undang Permusikan kontan menyulut penolakan ratusan seniman yang tergabung dalam Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan. Mereka menemukan total ada 18 pasal yang berpotensi membelenggu kebebasan mereka bermusik. Keresahan mereka dapat dipahami.
DPR seharusnya malu telah membiarkan naskah RUU Permusik-an lolos sampai ke uji publik. Berbagai kekurangan yang ada menunjukkan penyusunan rancangan ini asal-asalan. Karena itu, jangan-jangan tuduhan bahwa RUU Permusikan ini cuma ulah segelintir anggota parlemen dari kalangan musik ada benarnya.
Daripada buang-buang energi, para legislator di Senayan sebaiknya berfokus saja menuntaskan pembahasan sejumlah perundang-undangan penting. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, misalnya, tinggal menunggu persetujuan mayoritas anggota DPR. RUU Permusikan bisa menunggu sampai naskah akademiknya disempurnakan dan pasal-pasalnya direvisi agar tak terkesan hendak mematikan musik sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo