Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepolisian sepatutnya menangani secara serius penganiayaan dua penyelidik Komisi Pembe-rantasan Korupsi di Hotel Borobudur, Jakarta, pada Sabtu dua pekan lalu. Tanpa sanksi hukum bagi para pelaku dan mereka yang memerintahkannya, tindakan barbar itu akan menjadi preseden buruk dalam upaya pemberantasan korupsi.
Penganiayaan itu diduga berkaitan dengan rapat anggaran Pemerintah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua, yang dipantau komisi antikorupsi. Dua petugas itu merupakan bagian dari tim yang memperoleh penugasan dari kantor mereka. Peserta rapat mencurigai kegiatan mereka, yang kemudian berujung pada pemukulan. Rilis pemerintah Papua menyebutkan dua petugas komisi antikorupsi itu dibawa ke Markas Kepolisian Daerah Metro Jaya untuk “memastikan kebenaran identitas mereka”.
Sikap aparat negara itu sungguh keterlaluan. Mereka semestinya tidak melakukan tindak kekerasan, apa pun alasannya. Apalagi dua orang korban itu kemudian membuka identitas mereka sebagai personel komisi antikorupsi yang sedang bertugas. Penganiayaan itu sama sekali tidak mencerminkan adab dalam bernegara. Mereka patut mendapat hukuman maksimal.
Kepolisian juga perlu menyelidiki keterlibatan manajemen hotel dalam kejahatan ini. Sebab, mereka diduga dengan segera menghapuskan rekaman kamera keamanan yang bisa menjadi alat bukti penganiayaan. Jika terbukti dengan sengaja menghilangkan rekaman, mereka bisa dikategorikan menghalang-halangi proses penegakan hukum.
Peristiwa itu sekaligus menunjukkan kelemahan sebagian petugas komisi antikorupsi dalam menjalankan operasi. Dua orang korban penganiayaan itu sebenarnya melakukan tugas pemantauan, antara lain, untuk mencari informasi dan data. Mereka mengamati rapat, sekaligus mendokumentasikannya. Operasi semacam ini lazimnya terhubung dengan tim lain. Artinya, standar pengamanan semestinya segera berlaku bila ada indikasi kebocoran atau kegiatan mereka terbongkar pihak lain. Peningkatan kompetensi dan standar pengamanan ini penting di tengah meningkatnya ancaman kepada lembaga tersebut.
Teror demi teror diarahkan ke komisi antikorupsi. Awal Januari lalu, rumah Ketua Agus Rahardjo dan Wakil Ketua Laode Muhammad Syarif dilempar bom molotov. Dua tahun lalu, dua orang berboncengan sepeda motor menyiram Novel Baswedan dengan air keras. Serangan yang hampir membutakan penyidik senior itu tak terungkap hingga kini. Ancaman politik juga datang silih berganti. Karena itu, petugas dengan risiko tinggi sudah sepatutnya meningkatkan kemampuannya. Standar pengamanan juga perlu dibuat maksimal.
Bagaimanapun derasnya serangan, KPK tahun lalu melakukan 30 operasi tangkap tangan, yang diklaim sebagai yang terbanyak sepanjang sejarah berdirinya lembaga itu. Sebagian tersangkanya kepala daerah, sebagian lainnya birokrat. Walau mendapat kritik tajam—misalnya, disebutkan, mandeknya pengusutan kasus kakap yang melibatkan petinggi negeri—pencapaian tahun lalu itu patut dihargai.
Pemimpin komisi antikorupsi semestinya tidak loyo menghadapi serangan terbaru. Mereka perlu memastikan kepolisian memproses secara benar kasus penganiayaan itu. Mereka sekaligus perlu berbenah, memperbaiki kelemahan pada standar operasi plus meningkatkan kemampuan semua personelnya. Penganiayaan terhadap dua penyelidik yang sedang bertugas di Hotel Borobudur seharusnya tidak menyurutkan mental rekan-rekan mereka di gedung KPK.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo