Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Nama yang Mengancam

Nama dipahami sebagai sebutan yang membedakan sesuatu dari sesuatu yang lain.

19 Maret 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Penamaan adalah proses berbahasa yang unik.

  • Nama dipahami sebagai sebutan yang membedakan sesuatu dari sesuatu yang lain.

  • Kekuatan kata pada nama terus diberdayakan dalam berbagai masa.

PENAMAAN adalah proses berbahasa yang unik. Ucapan Juliet: What’s in a name? dalam The Tragedy of Romeo and Juliet tak pernah berhenti dikutip, meskipun berbagai asumsi dan data menunjukkan hal sebaliknya, yaitu pentingnya sebuah nama. Nama dipahami sebagai sebutan yang membedakan sesuatu dari sesuatu yang lain, sebagaimana kisah Tuhan mengajari Nabi Adam tentang beragam benda melalui berbagai nama. Wittgenstein mempertanyakan kaitan nama dan obyek: “bisakah kita memahami dua nama tanpa mengetahui apakah mereka menunjuk obyek yang sama atau dua obyek berbeda”. Sang filsuf hendak menegaskan kekuatan konstitutif pada nama. Sementara itu, Foucault menengarai penamaan sebagai tindakan institutif: memberi identitas pada seseorang, sekaligus memaksakan identitas itu dengan mengungkapkannya kepada publik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penamaan juga tidak nirpolitis. Spencer dalam penelusuran penamaan di Turki (1961) menemukan fenomena menyusutnya nama-nama berbau Arab yang berganti nama-nama asli Turki saat revolusi terjadi. Hal lain yang terkait dengan kepolitisan adalah penamaan yang melawan kelaziman. Lazimnya nama-nama tokoh besar digunakan sebagai nama tempat publik setelah tokoh yang bersangkutan meninggal. Kini berbeda, nama tokoh yang masih hidup seperti nama presiden kita, Joko Widodo, dan Pangeran Mohamed bin Zayed digunakan sebagai nama tempat publik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam masyarakat Jawa, penamaan tidak kalah kompleks. Penamaan berkaitan dengan fenomena fisiologis dan kosmologis. Menurut Hadiwidjana (1968: 131), seseorang memilih nama yang mudah diucapkan dan tidak mengejutkan, sehingga tidak aneh jika nama-nama orang zaman dulu pendek, bahkan cukup satu kata, dan sederhana. Ketika seseorang memberi nama pada seorang anak, ia berharap anak itu akan dilindungi (slamet) dari semua kejahatan, dapat bersenang-senang dan menarik hidup, menjadi baik, jujur, suka membantu dan mengabdi, serta memenuhi tugas dan misi yang diberikan oleh Tuhan. Nama menjadi doa pelindung.

Nama tertentu dianggap hanya cocok atau boleh digunakan oleh kalangan tertentu. Sebaliknya, nama yang lain hanya cocok atau boleh digunakan oleh kalangan yang lain. Kecocokan dan ketidakcocokan ini menyebabkan lazim terjadi pergantian nama. Ketika kecil, Sukarno diberi nama Kusno Sosrodihardjo. Nama itu dianggap sebagai salah satu sebab Sukarno kecil sakit-sakitan, sehingga perlu berganti menjadi Sukarno.

Nama juga memiliki kekuatan gaib yang dapat memberikan sugesti tertentu. Bukanlah suatu kebetulan jika dalam sejarah Indonesia, para perunding dalam berbagai perundingan diperhadapkan melalui kesamaan inisial nama. Dalam Perundingan Linggarjati, Sjahrir berhadapan di meja perundingan dengan Schermerhorn. Untuk menghadapi Amir Sjarifuddin dalam Perundingan Renville, Belanda mengutus Abdulkadir Widjojoatmodjo. Dalam Perundingan Roem-Roijen, Mohammad Roem menjadi ketua delegasi Indonesia berhadapan dengan Herman van Roijen. Kesamaan itu setidaknya memberikan kekuatan awal yang setara sebelum beradu kekuatan dalam perundingan.

Kekuatan kata pada nama terus diberdayakan dalam berbagai masa. Tengoklah nama-nama organisasi yang terdaftar di Kementerian Dalam Negeri, Anda akan tersua dengan beragam nama yang unik, dari yang lucu hingga yang “mengancam”. Ketika KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) terlihat kekuatannya, muncullah nama sejenis dari sekadar Kelompok Pencinta Kaos hingga Komisi Pengawasan Korupsi. Ada nama yang berasosiasi dengan kelengkapan aparat, seperti Barisan Rukun Tetangga (Baret), Komunitas Pemuda Peduli Lampung (Koppel), Barisan Rakyat Anti Korupsi (Barak), Komunitas Makassar Bersih (Kombes). Ada juga nama yang berasosiasi dengan senjata, seperti Koalisi Pemantau Korupsi (Kapak), Komunitas Taruna Peduli Lingkungan (Ktapel), Monitor Anggaran Negara dan Daerah Dana Alokasi Umum/Khusus (Mandau), Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat), Barisan Muda Solidaritas Kebangsaan (Basoka), Barisan Relawan Cinta Tanah Air (Baretta). Ada juga nama yang berasosiasi dengan aktivitas kekerasan, seperti Gerakan Rakyat Evaluasi Berantas Korupsi (Gerebek), Delegasi Inti Gerakan Aliansi Masyarakat Peduli Aspirasi Rakyat (Digampar), Tegakkan Bangsa (Tebas), Badan Rakyat Anti Narkoba Tawuran dan HIV AIDS (Brantas), Generasi Muda Peduli Untuk Rakyat (Gempur).

Pemilihan nama itu tentu tidak acak dan tidak tanpa sebab. Pemilik nama sadar betul akan citra yang akan ditampilkan dan kekuatan yang hendak dimunculkan lewat nama yang dipilihnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus