Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANDAIKAN ada pemilihan "Tujuh Negeri Teraneh di Dunia", Indonesia bisa masuk nominasi. Bahkan, karena disertai keajaiban yang diwariskan "bapak bangsa", predikat Indonesia bisa menjadi "Negeri Aneh bin Ajaib"—artinya negeri yang anaknya aneh bapaknya ajaib.
Coba telisik contoh ini. Indonesia adalah negara kepulauan dengan nyiur melambai-lambai. Itu ada dalam berbagai lagu. Bahkan ada lagu yang lebih populer: "Nenek moyangku orang pelaut…." Pencipta lagu tak salah. Luas lautan negeri ini mencapai 3 juta kilometer persegi, atau kalau mau detail 3.257.483 kilometer persegi. Sedangkan luas daratan hanya 1,9 juta kilometer persegi. Daratan itu pun sudah termasuk "daratan berair" seperti danau, situ, bendungan, dan sungai. Tapi kenapa, untuk mengkonsumsi ikan saja, Indonesia harus mengimpor ikan?
Aneh, apakah ikan-ikan itu tak mau tinggal di laut Indonesia? Ajaib kalau ikan itu paham yang mana lautan Indonesia dan yang mana lautan Cina, Malaysia, atau Vietnam. Pastilah ikan-ikan itu tetap tinggal di laut wilayah Indonesia, tak terpengaruh isu politik yang ada di darat. Cuma, mereka—ikan-ikan itu—diambil nelayan dari negeri jiran. Cara mengambilnya pun dengan alat yang canggih dan kapal yang modern. Menurut penuturan pejabat di Kementerian Kelautan dan Perikanan, nelayan asing itu sangat tamak, sampai menebar jaring ke dasar laut, yang membuat terumbu karang pun jadi rusak.
Jelas itu pencurian. Pelakunya wajib ditangkap dan dihukum. Namun yang terjadi—ini masih keluhan pejabat Kementerian Kelautan—banyak yang tidak dihukum alias dibebaskan, bahkan didenda juga tidak. Paling hanya ikannya yang disita. Lalu, keluhan yang paling klasik, polisi perairan dan TNI Angkatan Laut yang biasa mondar-mandir di laut tidak bisa menjaga laut kita yang demikian luas, apalagi peralatannya mulai usang.
Pencurian itu membuat negara rugi US$ 10-23 juta atau Rp 90-200 miliar per tahun. Menurut Ida Kusuma, Sekretaris Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, kerugian ini meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun. Data Kementerian menyebutkan, selama 2005-2011, sebanyak 1.162 kapal penangkap ikan asing ditangkap di perairan Indonesia.
Kenapa harus mengimpor, meski dibatasi hanya jenis ikan-ikan subtropis? Mengapa tak mengurangi saja konsumsi ikan? Nah, ini ada cerita lain. Pemerintah, lewat Kementerian Kelautan, "telanjur" membuat program "Gemar Makan Ikan". Program ini dicanangkan Menteri Fadel Muhammad pada pertengahan 2010. Pemerintah mencatat tingkat konsumsi ikan nasional hanya 30,47 kilogram per kapita. Angka itu masih lebih rendah dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura, yang tingkat konsumsinya masing-masing 55,4 kilogram dan 37,9 kilogram per kapita. Padahal luas laut dan potensi Indonesia jauh lebih besar dibandingkan dengan kedua negara itu.
Kampanye "Gemar Makan Ikan" pun diusung dan Kementerian Kelautan menganggarkan dana Rp 10 miliar untuk memasarkan ikan ke pelosok desa. Diharapkan, pada 2014, peningkatan konsumsi rata-rata nasional mencapai 38 kilogram per kapita.
Lalu di situlah anehnya. Program "Gemar Makan Ikan" dicanangkan, tapi program menangkap ikan di laut tidak didukung alat memadai, apalagi ditingkatkan. Pencuri-pencuri ikan tetap saja gentayangan tak tersentuh aparat keamanan kita di laut. Semestinya hal ini juga dijadikan program, ketimbang harus mengimpor ikan (apa pun jenisnya) hanya untuk memenuhi target konsumsi.
Inilah ironi negeri bahari. Rakyatnya tak suka makan ikan, tapi begitu diajak melalui kampanye makan ikan, eh, beli ikannya dari negeri lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo